Riki pulang ke rumah setelah mhagrib. Dengan adanya Mazaya di rumah, dia menjadi tidak bersemangat untuk pulang cepat. Gadis itu bagaikan sebuah teror dalam hidupnya, sangat berbahaya dan harus selalu dihindari.
Sebenarnya pekerjaannya sudah selesai sejak pukul tiga sore. Untuk menghabiskan waktu di kantor, Riki mencari kesibukan lain, membantu rekan yang lain menyelesaikan sketsa yang sudah ditagih perusahaan.
Baru saja pintu dibuka, Mazaya sudah tersenyum manis padanya. Perempuan ini yang dihindarinya, tapi malah duduk manis menunggu di meja makan seperti istri sungguhan.
Dia terlihat istimewa malam ini, wajah terpoles make up, rambut di tata dan mengenakan gaun malam yang terbuka. Riki tak habis pikir dengan wanita yang satu itu. Apa lagi rencananya kali ini, senyum itu jelas saja kelihatan dibuat-buat, wanita itu dari awal jahat, dan akan tetap jahat sampai akhir.
Riki mendengus tak peduli, yang di butuhkannya sekarang adalah mandi, sholat isya dan tidur. Menghadapi teror wanita itu hanya akan membuatnya mati muda.
Baru saja dia beranjak melangkah ke kamarnya, tangannya ditahan oleh Mazaya. Riki memandang wanita licik itu dengan datar, Mazaya malah tersenyum lebar, apa rahangnya tidak sakit dengan senyum pura-pura itu?
"Apa kau masih marah kepadaku? Setelah kita berdamai?"
Riki diam saja, meneliti setiap ekspresi wanita di depannya. Perasaannya, dia tak pernah menyetujui untuk berteman dengan Mazaya, karena sedikit pun Mazaya tak pernah merasa bersalah atas segala perbuatannya di masa lalu.
"Aku sudah mempersiapkan makan malam kecil untuk kita, karena setelah kupikir, ada baiknya kita merayakan lembar baru kita sebagai seorang teman."
Riki sebenarnya sangat malas berurusan dengan Mazaya, tapi dia terpaksa menurut saat Mazaya menggandeng tangannya menuju meja makan, mempersiapkan diri untuk kejutan dari wanita itu.
"Duduklah! aku yang memasak semua ini, setidaknya hargai kerja kerasku," katanya tersenyum kembali. Riki tak tahan dengan kepura-puraan ini, dia menulis di kertas dan menunjukkannya pada Mazaya
"Apa kau menaruh racun di makanan ini? dan ini adalah perayaan kematianku beberapa saat lagi?"
Mazaya terlihat agak kesal tapi mencoba menguasai dirinya dengan memasang senyum di wajahnya. Dengan sekali teguk, jus yang ada di depan Riki diminumnya sampai habis.
"Kalau ini beracun, aku takkan meminum jus jerukmu," katanya meyakinkan Riki.
Riki masih diam, mengawasi gerak- gerik Mazaya.
"Ayolah! kau terlalu cepat berburuk sangka, ini ... minumlah! kau pasti haus."
Mazaya memberikan jus jeruk yang ada di depannya, menyodorkan gelas itu tepat di mulut Riki.
Riki memandang jus itu dan wajah Mazaya bergantian. Walaupun ragu, tangannya tetap meraih gelas itu dan meminumnya sampai habis.
Tampak jelas kegirangan dari wajah Mazaya, dengan lambat dia mengambil nasi dan sedikit lauk untuk mengulur waktu.
Beberapa detik kemudian Mazaya mulai melihat obat itu bereaksi, Riki melonggarkan dasinya dan membuka kancing kemejanya. Dia mengambil beberapa lembar tisu, untuk mengusap keringatnya, pasti pria itu merasakan kepanasan sekarang.
Mazaya tersenyum licik, kali ini dia menjamin usahanya pasti berhasil.
Riki buru-buru bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke kamarnya sambil membuka kemejanya tak sabaran. Lalu ia meneguk air mineral yang berada di meja komputernya sampai tandas.
Diam-diam Mazaya mengikutinya, ikut menyelinap masuk ke dalam kamar Riki. Duduk manis di meja kerja laki-laki itu.
Riki tampak resah, nafasnya memburu, dia memejamkan matanya, menahan sesuatu yang tak bisa di deskripsikan rasa itu apa. Yang jelas, seluruh tubuhnya menjadi sensitif.
Mazaya melihat itu, dia harus segera bertindak. Didekatinya suaminya itu, sampai tak ada jarak, dia mengerahkan seluruh pesonanya malam ini untuk menjebak Riki.
"Ada apa? Apa kau sakit?" Mazaya sengaja menyentuh kening Riki, laki- laki itu mengatupkan rahangnya dengan keras, matanya gelap dan berkilat, tapi dia berusaha mengendalikan akal sehatnya dengan menyingkirkan tangan Mazaya dengan kasar.
"Ya ampun! kau berkeringat." Mazaya tak menyerah, dia semakin mendekati Riki, dia tau obat itu sudah bereaksi maksimal dan menyiksa pria itu.
Mazaya mengusap keringat yang mengalir di pelipis Riki, menikmati detik-detik siksaan berat dan dia sangat senang menyiksa Riki. Dia ingin menunjukkan bahwa laki-laki itu sangat lemah.
Riki semakin memprihatinkan, dia mulai mencakar dirinya sendiri, untuk melampiaskan sesuatu yang tidak dipahaminya.
Mazaya menarik tangan Riki dan berbisik lirih ditelinganya, "aku akan menolongmu."
Mazaya bertindak lebih dulu, mencium pria itu tanpa pikir panjang.
Awalnya Riki diam, akhirnya dia membalas tak sabaran. Seiringan dengan bunyi gaun Mazaya yang di koyak secara paksa.Mazaya hanya bertindak pasif saat semuanya terjadi, dia menangis menahan sakit sambil mencengkram sisi tempat tidur. Sesuatu yang sudah dijaga selama dua puluh delapan tahun hidupnya robek sudah, tak akan bisa dikembalikan lagi, diberikannya kepada orang yang paling di bencinya demi nyawanya.
Entah berapa lama, awalnya Mazaya merasa sakit, tapi lama kelamaan dia mulai hanyut, Mazaya sesaat melupakan kebenciannya. Ini pengalaman pertama baginya, dan dia yakin pengalaman pertama juga bagi suaminya, setidaknya mereka melakukannya secara sah.
Mazaya hanyut dengan pesona Riki, laki-laki itu tetap melaksanakan tugasnya, rambutnya sudah basah karena keringat, menetes ke lehernya dan terus turun ke dada bidangnya.
Sejenak Mazaya melupakan kebenciannya, Riki luar biasa tampan malam ini, dan dia ... tak bisa di jabarkan bagaimana rasa semua ini.
Mazaya melepaskan suaranya, air mata terus mengalir di sudut matanya, air mata hanyut bercampur dengan air mata kemarahan dengan dirinya sendiri. Bukankah dia sudah hina?
Semua terus berlanjut, yang jelas mereka berhenti jam tiga dini hari. Meninggalkan rasa lelah yang teramat sangat bagi ke duanya.
Riki terkapar dan langsung tertidur pulas di samping Mazaya, wanita itu masih terjaga, dengan tubuh yang terasa remuk.
Air mata sudah mengering di sudut matanya. Dia berharap, benih yang di muntahkan Riki langsung tumbuh di rahimnya, sehingga dia tak perlu lagi melakukannya dengan si Bisu itu.
Cukup! Merendahkan dirinya bagaikan wanita jalang, tapi ini demi nyawanya. Demi hidupnya.
Riki mencium kening Mazaya berkali kali, setelah ' beribadah ' sepanjang malam, istrinya itu terkapar kelelahan dan tak berdaya. Mazaya meminta dia yang memimpin permainan itu untuk malam ini, bahkan Riki tidak menyangka istri malu malunya bisa se agresif itu.Riki mengusap sisa peluh di leher Mazaya, layaknya penganten baru lainnya, mereka menghabiskan waktu memadu kasih di tempat tidur. Riki sekarang dihadapkan dengan pilihan yang cukup membingungkan, dulu dia menyangka adalah anak terbuang yang tidak diinginkan, tapi kenyataannya dia adalah anak seorang pengusaha yang memiliki kerajaan bisnis diberbagai negara. Ayahnya begitu berharap dia memboyong istrinya ke Singapura, mencoba mengurus salah satu perusahaan di sana.Riki hanya pria sederhana, yang tidak menyukai sesuatu yang berlebihan, dia menikmati tinggal di sini, rumah sederhana yang cukup luas, rumah pak Amin bukan rumah mewah, tidak ada kolam renang atau fasilitas mewah lainnya, lokasinya pun jauh dari hiruk pikuk kota, ru
Mazaya memuaskan hatinya memandang wajah tampan yang terlelap di sampingnya. Dia sungguh tidak percaya, perjuangannya untuk mendapatkan Riki membuahkan hasil.Mazaya tak pernah sebahagia ini, dengan pelan Mazaya menyentuh wajah Riki dengan jarinya, kenapa ada manusia setampan ini, dan manusia tampan itu adalah suaminya sendiri.Mazaya meletakkan kepalanya di dada Riki, menghitung detak jantung yang berbunyi teratur, mengecup pipi yang mulai ditumbuhi bakal jenggot."Hai." Riki membuka matanya, menatap wajah cantik Mazaya, mengelus pipi halus yang merona merah."Hai," jawab Mazaya, mereka saling tatap, Mazaya lebih dulu menundukkan wajahnya, dia merasa malu. "Ini masih pukul empat pagi." Riki melirik jam di atas meja, suaranya serak."Iya, kita baru tidur satu jam," jawab Mazaya.Riki tersenyum, tadi Mazaya bangun karena Rafael merengek haus."Masih ada waktu tidur sebelum subuh." Mazaya menarik selimut menutupi tubuh Riki."Enak saja disuruh tidur."Riki membalikkan posisi, Mazaya ha
Kenapa manusia diperintahkan menikah? Karena pernikahan menjadikan yang haram menjadi halal, menikah mengubah dosa menjadi pahala. Manusia akan mendapat dosa jika berhubungan badan sebelum menikah, tapi akan mendapatkan pahala seperti melaksanakan Qurban jika melakukannya setelah menikah.Tidak ada yang lebih indah dari pahala menikah, setiap bulu yang tumbuh dari ujung rambut sampai ujung kaki, pahalanya dihitung seperti beribadah selama satu tahun.Shalat berjamaah berjalan dengan khusuk, Riki melafazkan ayat dengan sepenuh hati, menghayati setiap kalimat kalimat yang merupakan doa dan ucapan syukur.Riki melafaskan doa yang dia amini oleh Mazaya, air matanya berurai, rasanya selama ini dia sangat lalai. Wajah ayahnya terbayang dimata, andaikan dulu dia sempat meminta maaf, tentu dia tidak akan semenyesal ini.Menikah dengan Riki adalah sebuah anugrah yang paling besar dalam hidupnya, jatuh bangun mengejar cintanya, menghinakan diri dihadapannya, berjuang dan hampir mati untuk melah
Riki hanya mendengar dengan tenang, saat semua keterangan yang diucapkan oleh ayahnya serasa hanya seperti mimpi."Rumah kita ada di Singapura, aku dan ibumu ke sini sesekali untuk memastikan keadaan perusahaan berjalan stabil.""Reynold, kau memiliki satu adik perempuan yang sekarang ayah percayakan memimpin perusahaan yang berada di Jepang, sedangkan dua perusahaan yang ada di Singapura di awasi olehku dan dibantu oleh bibimu."Riki diam saja, dia merasa biasa saja dengan semua cerita itu. Yang di inginkannya sekarang cepat pulang, bertemu Mazaya dan melakukan anatomi tubuh lagi. Riki sangat tidak konsentrasi."Rey ...." "Ya?""Kau anak laki-laki satu-satunya yang kami harapkan memimpin bisnis besar keluarga kita, kita memiliki perusahaan dibidang properti dan perhotelan yang tersebar di beberapa negara di Asia, aku sudah semakin tua ... kau harus mempersiapkan dirimu."Riki mengangguk, setelah percakapan selesai dia bergegas pergi, sekarang sudah lebih dari pukul tujuh malam, Maza
Riki mengelus pipi mulus yang sedang tidur nyenyak di sampingnya,mengusap bibir merekah seperti kuncup mawar yang sedang tumbuh, mengecupnya sekilas, dia tak percaya bahwa yang ada dipelukannya ini adalah Mazaya, selama ini yang paling dibencinya.Mata cantik itu terbuka perlahan."He, pencuri." Mazaya tersenyum manis."Aku ketahuan." Riki tersenyum."Kau harus buat pengakuan.""Oh ya? Apa yang harus kuakui." Jari Riki membelai pangkal leher Mazaya."Bahwa kau sangat mencintaiku." Mazaya menenggelamkan jari lentiknya di rambut hitam Riki."Apa imbalannya untukku." Mata Riki mengedip nakal."Imbalannya?" Mazaya berfikir, dengan sigap dia membalikkan posisi, Riki terkurung di bawahnya. "Apa yang kau inginkan?" Riki kembali membalikkan posisi, Mazaya yang terperangkap di bawahnya, terkikik."Maaf Tuan pemaksa, kau harus bersabar beberapa hari lagi."Riki langsung terkulai lesu, dia menjatuhkan wajahnya di lekukan leher Mazaya sambil berkata frustasi, "aku hampir mati karena menahannya.
Riki kembali pulang jam satu dini hari, banyak pelajaran hidup yang didapatkannya dari Celin, dia tak menduga, wanita cantik yang menyerupai laki-laki itu begitu kuat, bahkan sedikit pun tidak menangisi hidupnya yang menyedihkan.Dia punya pandangan sendiri tentang hidup, bahwa manusia hanya perlu menjalaninya tanpa memikirkan, waktu tidak akan pernah menunggu, kesedihan akan berlalu seiring berjalannya waktu, andaikan Riki bisa mempraktekkan segampang itu, pasti semua akan lebih mudah.Satu hal yang selalu dijadikan mantra bagi Riki, saat Celin mengucapkan bahwa Tuhan maha adil, tidak akan membuat manusia menderita selamanya, hidup itu seperti menempuh ujian semester, jika gagal di ujian pertama maka akan di uji lagi, masih saja gagal maka akan di remedial sampai mendapat nilai KKM atau nilai terendah yang sudah ditetapkan, masing-masing manusia punya porsinya untuk bahagia.Dalam percakapan tadi, Riki hanya bertindak sebagai pendengar, walaupun Celin meminum alkohol cukup banyak, ta