MasukSejak bertemu Kenzie kemarin, tekadnya untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar “standar” semakin menyala.
Dan malam ini, ia akhirnya tahu bagaimana cara membalas mantan kekasihnya itu, yaitu dengan menggoda Ayah Kenzie. Untuk melancarkan rencananya, Raya membuka laptop inventaris kantor. Mengetik nama di mesin pencari, Ares Mahardika. Ratusan hasil muncul. Artikel bisnis, wawancara, foto-foto di acara gala, bahkan gosip di kolom selebritis. Ia mulai membacanya satu per satu. "Ares Mahardika, CEO Mahardika Group yang Misterius dan Menawan" "Playboy Kelas Atas? Ares Mahardika Tertangkap Kamera Bersama Model dan Artis Terkenal" "Pernikahan Ares Mahardika dan Lulu Anggraini Telah Usai?" Raya berhenti di artikel terakhir. Jari-jarinya mengklik link itu. "Sumber dekat keluarga mengungkapkan bahwa pernikahan CEO Mahardika Group, Ares Mahardika, dengan aktris terkenal Lulu Anggraini sudah tidak harmonis sejak beberapa tahun lalu. Meskipun mereka masih terlihat bersama di acara-acara publik, rumor mengatakan sebenarnya mereka sudah bercerai. Dugaan itu diperkuat dengan Ares sering terlihat dengan wanita cantik yang berbeda-beda setiap bulannya, sementara Lulu fokus pada kariernya yang kembali bersinar." Raya membaca lebih lanjut. Ada foto-foto Ares di berbagai acara, selalu dengan wanita cantik yang berbeda-beda di sampingnya. Model, aktris, pengusaha muda. Wanita-wanita yang glamor dan percaya diri. Ditatapnya foto-foto itu dengan seksama. Semua wanita itu punya satu kesamaan, mereka cantik, seksi, dan menggoda. Lalu, pandangannya beralih pada bayangan wajahnya sendiri di layar laptop. Tidak bisa dipungkiri, wajahnya memang cantik. Tapi penampilannya terlalu polos. Terlalu sopan. dan terlalu 'aman'. Kemeja dikancing rapi sampai leher. Rok selutut yang longgar. Rambut kuncir kuda sederhana. Makeup minimal, hanya sun screen, bedak dan lipstik nude menghiasi wajahnya. Dan itu bukan penampilan yang akan membuat pria seperti Ares Mahardika menoleh. Usai mencari informasi, ia menutup laptop dan meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi banking dan memeriksa saldo rekening. Gaji pertamanya baru masuk seminggu lalu. Jumlahnya cukup besar, jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Ares membayar sekretarisnya dengan sangat royal. Raya tersenyum tipis. Uang itu akan ia gunakan dengan baik. *** Keesokan harinya, alih-alih langsung ke kantor, Raya memilih pergi ke salah satu mall besar di Jakarta. Ia sudah melakukan riset semalam, toko mana yang menjual pakaian berkelas tapi dengan budget terjangkau. Di depan etalase sebuah butik yang menjual pakaian kerja untuk wanita profesional. Raya memperhatikan manekin di etalase mengenakan kemeja satin merah dengan kancing terbuka di bagian atas, dipadukan dengan rok pensil hitam yang ketat dan heels hitam tinggi. Elegan. Profesional. Tapi juga menggoda. "Selamat pagi, Mba. Ada yang bisa saya bantu?" seorang sales promotion girl menyapa dengan ramah. "Ya," jawab Raya sambil menunjuk manekin di etalase. "Saya mau coba yang ini. Dan saya butuh beberapa set pakaian kerja yang lebih stylist." SPG itu tersenyum lebar. "Tentu! Silakan ikut saya." Satu jam kemudian, Raya keluar dari butik dengan empat shopping bag besar. Kemeja, atasan dengan potongan yang lebih fitted, beberapa dengan kancing yang bisa dibuka sedikit di bagian dada. Rok-rok pensil yang membentuk lekuk tubuh. Blazer yang pas di pinggang. Dan sepatu heels, tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk membuat kakinya terlihat lebih jenjang. Tapi Raya belum selesai. Ia pun pergi ke salon langganan para wanita karier di Jakarta, salon yang harganya membuat dompetnya menjerit, tapi ia tidak peduli. "Saya ingin mengubah penampilan," kata Raya pada hair stylist yang menanganinya. "Sesuatu yang lebih mature. Lebih berani dan percaya diri." Hair stylist itu tersenyum. "Baik, laksanakan." Tiga jam kemudian, Raya menatap pantulannya di cermin salon dengan mulut terbuka. Rambutnya yang tadinya panjang sepinggang kini dipotong berlayer dengan poni samping yang membuatnya terlihat lebih elegan. Warnanya diberi highlight subtle, cokelat keemasan yang membuat wajahnya terlihat lebih fresh. Makeup artist salon juga mengajarinya cara makeup yang lebih bold, dengan eyeliner yang tajam, bibir dengan warna yang lebih berani, dan contouring yang membuat tulang pipinya lebih menonjol. Raya menatap tampilannya di cermin itu. Senyumnya begitu lebar, dia puas akan hasilnya. Ini adalah Naraya baru. Naraya yang akan memainkan permainan berbahaya demi membuktikan kalau hidupnya tidak membosankan dan jauh dari kata standar. "Sempurna," bisik Raya pada pantulannya sendiri. Usai merubah penampilan, Raya sengaja datang saat jam makan siang sudah hampir berakhir, ketika sebagian besar karyawan sudah kembali ke meja mereka. Ia melangkah keluar dari lift di lantai tiga puluh dengan kepala tegak dan langkah percaya diri. Heels-nya mengetuk lantai marmer dengan ritme yang pasti. Sari yang sedang berjalan menuju ruangannya berhenti, menatap Raya dengan mata membulat. "Na... Naraya?!" panggilnya hampir tak percaya. Raya tersenyum dengan lebih percaya diri dari biasanya. "Ya, Mbak. Ada apa?" "Wow... kamu terlihat berbeda!" Sari mendekat, matanya menyapu Raya dari atas ke bawah dengan kagum. "Rambutmu, makeup-mu. Astaga, kamu cantik sekali!" "Terima kasih, mba," jawab Raya sambil menyibak rambutnya dengan gesture yang ia pelajari dari model-model di I*******m. "Aku hanya ingin sedikit mengubah penampilan." "Sedikit? Ini sih perubahan total!" Sari tertawa kecil. "Mr. Ares pasti—" "Naraya." Suara berat itu memotong kalimat Sari. Mereka berdua menoleh. Ares berdiri di ambang pintu ruangannya, Tatapan matanya menyapu Raya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapan yang intens dan menilai. Ekspresinya sulit dibaca, membuat udara di sekitarnya terasa panas. Untuk sesaat, Raya melihat sesuatu berkilat di mata Ares. Terkejut atau Ketertarikan? Namun sesaat kemudian, Ares kembali pada ekspresi dinginnya. "Kamu terlambat," katanya datar. "Maaf, Pak," Raya sedikit membungkuk—gerakan kecil yang tanpa sengaja memperlihatkan lekuk halus di leher dan sedikit belahan di dada. "Tadi saya ada keperluan mendadak." Tatapan Ares sempat turun sejenak ke leher dan dada Raya, sebelum kembali ke wajahnya. "Jangan terulang lagi. Saya ada meeting jam dua. Siapkan dokumennya," katanya sebelum berbalik masuk ke ruangannya. "Baik, Pak." Sari menghela napas panjang. "Dia terlihat terganggu." "Terganggu?" Raya menatap Sari dengan alis terangkat. "Maksudku, aku sudah bekerja dengan Mr. Ares selama lima tahun," Sari berbisik sambil mendekat. "Dan tadi pertama kalinya aku melihatnya menatap seseorang lebih dari dua detik. Biasanya dia bahkan tidak peduli dengan penampilan karyawannya." Raya hanya tersenyum samar. Ada rasa puas di dadanya. Kecil, tapi nyata. Usahanya tak sia-sia. "Mungkin dia cuma terkejut dengan perubahanku yang terlalu mendadak," kata Raya ringan, sambil berjalan menuju meja kerjanya. Tapi di dalam hatinya Raya tahu, langkah pertamanya berhasil. Ia sudah membuat Ares menoleh dua kali. Dan ini baru permulaan.Brandon, seperti biasa, menjadi orang pertama yang berhasil menguasai rasa kagetnya. Ia langsung mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, seperti sedang ditodong polisi. "Aduh... sumpah, Res. Maaf! Kita nggak tahu kamu lagi..." Brandon tampak mencari-cari kata yang tepat, matanya bergulir kiri–kanan. "euh... sibuk." Ia menyeringai canggung, mencoba menutupi rasa kagetnya dengan tawa kecil yang dipaksakan. Geri di sampingnya langsung menggaruk kepala, tertawa kering. "Serius, kita kira kamu sendirian. Harusnya kita ketuk pintu kayak orang ngeronda." Kevin dan Fattah saling pandang, lalu mengangguk sopan pada Raya yang terlihat malu setengah mati. Mereka menahan senyum geli. Tapi Bella? Wanita itu justru berdiri kaku dengan wajah yang mulai memerah, bukan karena merasa bersalah, tapi kesal yang jelas terpancar dari matanya. Di sampingnya, Maura—yang semua orang tahu adalah simpanan Kevin—menganga tanpa berusaha menutup mulutnya. Tatapannya bolak-balik antara Ares dan Raya, seolah ba
Tok. Tok. "Masuk," suara Ares terdengar datar sekaligus tegas dari dalam. Pintu perlahan dibuka, menampilkan Raya yang melangkah masuk dengan berkas di tangannya. Ares tengah berdiri di depan meja, melepas jasnya dan menggantungnya di kursi. Ia langsung berbalik menatap kekasihnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, membuatnya tampak jauh lebih kasual tapi tetap berwibawa, dan jauh lebih berbahaya bagi ketenangan Raya. "Kok lama," ujar Ares sambil merapikan lengan kemejanya. "Kurirnya telat?" Raya menutup pintu dengan hati-hati, berusaha menjaga profesionalisme yang tersisa. "Maaf, Pak. Tadi Sisca sama Dina ngajak ngobrol sebentar." Alis Ares terangkat pelan. Ia dapat membaca dari wajah Raya, kalau mereka bukan mengobrol obrolan biasa. "Ngobrol apa?" Raya melangkah beberapa langkah mendekat. Napasnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena beban informasi yang baru saja ia terima. "Soal Mbak Sari." Ares terdiam. Sorot matanya berubah tegas, nyaris dingin. Ia telah men
Suasana lobby gedung Mahardika Group siang ini cukup ramai—karyawan berlalu-lalang, beberapa tamu menunggu di sofa, suara obrolan, langkah sepatu, dan dering telepon bercampur jadi satu. Raya berdiri di area terbuka dekat pintu masuk, tempat orang datang–pergi secara konstan. Mata Raya fokus pada lift kaca di sisi kanan lobby, lalu bergeser pada pintu putar kaca besar. Ia sedang menunggu kurir lapangan yang seharusnya tiba lima menit lalu, membawa berkas penting yang Ares butuhkan sebelum rapat sore. Ia mengecek ponsel lagi. Chat terakhir bertuliskan Kurir: On the way, Mbak. Lima menit lagi. "Raya!" Suara yang terlalu lantang itu membuatnya menoleh cepat. Ia langsung melihat Sisca dan Dina datang terburu-buru, seperti dua reporter yang menemukan bahan gosip bernilai miliaran rupiah. Bahkan dari jauh saja ekspresi keduanya sudah seperti ingin meledakan informasi yang ditahannya. Raya tersenyum ramah. "Hai... dari mana?" Sisca mendekat seperti agen rahasia yang takut disadap. Be
Raya segera menghampiri Ares begitu melihat Ratih masuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Pria itu masih duduk di sofa kecil ruang tamu, satu tangan memijat keningnya seperti baru saja melewati ujian berat. Mendengar langkah kaki Raya, Ares membuka mata. Senyumnya langsung mengembang sempurna, hangat dan lega. Tangannya terulur, meminta Raya mendekat. "Sini," ucapnya pelan dan lembut. Raya mendekat, duduk di samping Ares. Wajahnya terlihat khawatir. Kekasihnya langsung meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil membelai pipi Raya dengan tangan satunya. "Sayang," bisiknya pelan, seolah kata itu adalah mantra yang menenangkan. Raya refleks menegakkan bahu, antara tersipu dan khawatir. "Kenapa mukanya kaya tegang banget?" Raya menatap wajah Ares, dipenuhi rasa penasaran bercampur cemas. "Ibu tanya apa aja? Kamu gak apa-apa kan?" Ares menahan tawa kecil, menggelengkan kepala "Rahasia. Cuma bahasan antara calon menantu dan ibu mertua,” ujarnya, Raya mengangkat alis. "Serius?"
Keesokan harinya, Ratih sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit ditemani Raya dan Dio. Anita yang mengantar mereka sampai rumah, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun perjalanan pulang itu terasa hening. Ratih tampak banyak berpikir, menatap keluar jendela sambil sesekali melirik Raya. Sesampainya di rumah, Ratih langsung masuk kamar untuk beristirahat. Fisiknya sudah pulih, tapi jelas pikirannya penuh beban. Sore hari, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Raya yang membuka pintu langsung terbelalak. Ares berdiri di depannua, mengenakan kaos putih polos dengan celana chino. Wajahnya serius tapi sopan. "Ares?" bisik Raya kaget. "Kok bisa disini? Bukannya—" "Aku gak bisa ninggalin kamu sendirian disini, jadi aku gak jadi pulang ke Jakarta." "Tapi gimana kamu bisa tahu rumahku? Mau apa kesini?" Ares tersenyum kecil. "Mudah sekali mendapatkan alamat karyawanmu sendiri, sayang." Tangan Ares terulur mengusap pipi kekasihnya. Padahal baru semalam saja mereka tak bertemu tapi Ares s
Di salah satu kamar suite hotel bintang lima di Ares berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Surabaya dengan lampu-lampu yang berkelip di kejauhan. Tangannya terkepal di saku celana, rahangnya mengeras. Ia urung pulang ke Jakarta seperti yang dikatakannya pada Raya. Hati dan pikirannya mengatakan ia harus tetap berada di Surabaya. Berjaga-jaga kalau Raya membutuhkannya, atau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dan ternyata instingnya benar. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan laporan pelaku penyebaran foto dan video Raya. David duduk beberapa meter dibelakangnya tengah membuka laptop, melihat berbagai bukti digital yang telah dikumpulkan selama beberapa hari terakhir. "Tuan," panggil David. "Semuanya sudah terkonfirmasi. Pelakunya memang Sari." Ares tak berbalik, hanya mengangguk pelan, wajahnya begitu dingin. "Selama ini dia memang menguntit Nona Raya," lanjut David sambil membaca laporan di layar. "Hampir seluruh kegiatan Nona di kantor, saat gathering, bahkan







