LOGIN
“Om Kayden enak banget. Aku jadi ketagihan.”
Amelia menjilat ujung jarinya dengan manja. Wajahnya berseri penuh kenakalan. Kayden hanya menatap datar. Lalu menyentil keras dahinya. “Tangannya biasa aja, bisa nggak? Kalau mau lagi, ya ambil,” omelnya. Sarapannya kali ini sedikit ramai, karena adanya Amelia yang menginap semalam. Kayden Ferdinand. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan, mapan dan mempesona. Tidak sedikit wanita yang menginginkannya. Tapi tak satupun berhasil menarik perhatiannya. Dan terkadang, Amelia pun jahil menggoda duda anak satu itu. Hanya sekedar candaan. “Hehe. Aku muji, loh. Dessert buatan Om kan selalu enak,” ucap Amelia. Lidahnya pandai berkelit. “Ya lagian. Tingkah sama omonganmu bikin salah paham tau! Nggak bosen-bosen ya godain Papa aku,” celetuk seseorang di sampingnya. Dia adalah Karina, Putri semata wayang Kayden yang sebaya dengan Amelia. Sejak kecil, Amelia sering datang bermain ke rumahnya. Makan bersama dan menginap. Walau sempat terpisah saat remaja. Hubungan mereka masih sangat baik sampai sekarang. Amelia tersenyum nakal. Menangkup wajahnya dengan satu tangan. Sambil mengedipkan sebelah mata pada Kayden. “Duda ganteng kayak Om Kayden, rugi banget kalau nggak digodain,” katanya dengan centil. Kayden mendengus. Sambil memutar bola matanya. Malas menanggapi. “Cepat beresin makan kalian. Piringnya mau dicuci,” ujarnya datar. Kemudian bangkit. Membawa piring kotornya. Begitu Kayden pergi, Karina menyenggol bahu Amelia. “Hayo, Papa marah tuh,” bisiknya. “Nggak, Karina. Papa kamu cuma malu karena terpesona sama kecantikanku,” balas Amelia sambil menyibak rambutnya penuh percaya diri. Seketika Karina menepuk jidat. “Astaga. Dosa apa aku punya sahabat kayak gini,” gerutunya. Sangat jengkel mendengar ocehan Amelia. Karina akhirnya berdiri, menyodorkan piring kotor padanya. “Beresin sana. Aku mau mandi.” Lalu pergi lebih dulu ke kamarnya. Amelia hanya terkekeh puas, tanpa rasa malu. Namun dia tetap tahu diri. Amelia segera membereskan piring kotor di meja makan. Kemudian membawanya ke dapur. Di sana, Kayden tengah sibuk mencuci piring. “Om, aku mau bikin kopi boleh?” tanya Amelia sambil memberikan piring kotor yang dia bawa. “Buat sendiri. Gulanya di lemari atas,” sahut Kayden singkat. Tanpa mengalihkan pandangan. Amelia mengangguk. Mulai membuat kopi seperti di rumahnya sendiri. Dan saat membuka lemari bagian atas, Amelia terpaksa berjinjit. Toples gula yang dia cari sangat jauh di dalam sana. Ujung jarinya sulit menjangkau. Kayden di sampingnya menyadari hal itu. Dan langsung mematikan keran. Berjalan menghampirinya. “Kalau nggak bisa tuh minta tolong.” Amelia menoleh ke sumber suara. Dan saat berbalik, nyaris bertabrakan dengannya. Tak menyangka Kayden sudah ada di belakangnya. Jarak mereka sangat dekat. Sehingga Amelia bisa mencium aroma parfum samar di pakaiannya. Tubuh Amelia membeku. Sambil diam-diam menelan ludah. “Om tinggi banget ya kalau dari deket. Muka aku cuma sejajar dada, nih,” katanya asal ceplos. Tanpa sadar, tangannya menekan-nekan dada bidang Kayden. Kayden hanya mendengus kecil. Lalu mengambil toples gula itu dan meletakkannya di atas kepala Amelia. “Kamu yang terlalu pendek, bocah,” ejeknya. Amelia mendelik tajam. “Aku udah dewasa tau!” balasnya tidak terima. “Jadi udah legal dinikahin.” Wajahnya langsung berubah menjadi senyuman usil. Kayden mengernyit, urat lehernya menegang. Hendak berbicara, suara bel di depan pintu menyela obrolan. Akhirnya Kayden mundur. Berbalik dan melangkah pergi. Amelia hanya cekikikan. Mencoba menggoda Kayden yang berwajah datar itu menjadi hiburan tersendiri untuknya. Namun, Amelia merasa penasaran pada tamu yang datang sepagi ini. Diam-diam, dia mengikuti Kayden. Di pintu depan, terlihat seorang wanita dewasa dengan pakaian cukup seksi. Sebelumnya, Amelia pernah melihatnya beberapa kali datang. Tapi sepertinya Kayden tidak menyambut kedatangannya. “Udah berapa kali aku bilang. Jangan kesini lagi, Anya. Apa kamu nggak paham maksudnya?!” desis Kayden terlihat kesal. Wanita bernama Anya itu malah menyodorkan paperbag yang dia bawa. “Jangan marah. Aku cuma mau kasih kamu oleh-oleh. Lagian kamu juga masih single, kan? Kita bisa saling kenal dulu,” bujuknya. Amelia mengintip dari balik tembok. ‘Wah. Bebal banget ya tuh Tante-tante,’ pikirnya. Tidak sadar dirinya pun begitu. Seketika otak jahil Amelia berjalan. Sebuah ide untuk menolong Kayden muncul di kepalanya. Dengan langkah percaya diri, Amelia mendekat lalu tiba-tiba merangkul lengan Kayden. “Ada siapa, Mas? Kok nggak diajak masuk?” Sontak Kayden menoleh dengan sebelah alis terangkat. Terlihat keheranan. Sementara Anya, langsung mendelik tajam padanya. “Kamu siapa? Kenapa ada di rumah Mas Kayden?” Amelia tersenyum lebar, berlagak seperti Nyonya rumah. “Saya Istrinya. Memang kamu siapa?” ucapnya dengan angkuh. Anya langsung melotot kaget. Menutup mulutnya tak percaya. Lalu menoleh pada Kayden. “K-kayden. Dia bener Istri kamu?” tanyanya memastikan. Kayden hendak menjawab. Namun Amelia tak memberinya kesempatan. “Ya bener, dong. Kamu mau godain Suamiku ya? Pergi sana! Dasar pelakor!” usirnya dengan garang. Merasa kesal dan malu, Anya akhirnya pergi dengan perasaan kecewa. Amelia dan Kayden pun kembali masuk ke rumah. Begitu pintu tertutup, Amelia tidak bisa menahan tawanya. “Lucu banget. Mulai sekarang dia nggak bakal gangguin Om lagi. Nggak usah berterima kasih—“ Namun tawa itu mendadak terhenti ketika Kayden tiba-tiba menarik tangan Amelia. Kemudian menyudutkannya ke balik pintu. Mengungkung di antara kedua tangan. Tatapan Kayden begitu dalam. Matanya menyipit tajam. “Kamu ini bener-bener nakal ya, Amelia,” desisnya. Nafasnya sedikit tersendat. Seolah menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya.“Amelia,” teriak Kayden.Ternyata, pria itu menyadari keberadaan Amelia di balik pohon. Dengan cepat Kayden menghampirinya.Amelia terlihat panik.‘Kenapa dia bisa tau, sih?’ geramnya dalam hati.Kemudian berlari menjauh. Tapi Kayden berhasil mengejar dan menangkapnya dengan cepat.“Mau kabur ke mana kamu Amelia?”Amelia hanya diam tak menjawab. Langsung memalingkan wajah. Tak berani menatapnya.Kayden mendengus pelan.“Kamu harus bertanggung jawab. Kamu kira aku laki-laki pemuas, yang ditinggal setelah—”Belum selesai berbicara, Amelia tiba-tiba membungkamnya.“Jangan keras-keras. Kalau ada yang denger gimana?” bisiknya.Dengan tatapan gelisah, menatap sekitar. Untung saja tak ada yang mendengarnya.Kayden menjauhkan tangan Amelia. Lalu menggenggamnya erat.“Kalau gitu sini ikut. Jangan kabur-kaburan,” ajaknya.Sambil menarik Amelia pergi. Masuk ke mobilnya.Mau tak mau Amelia menurut saja.Setelah duduk di kursi penumpang. Amelia menatap jendela. Masih enggan menatap pria itu.“Ada
“Enggak usah bawa-bawa orang tua, Ratina,” desis Amelia.Ratina terdiam sejenak, kaget oleh tamparan itu. Dia tak sempat mengelak.Teman di sampingnya mendengus marah.“Heh, Amel! Beraninya nam—”Namun Amelia tak memberinya kesempatan.“Minggir! Nggak usah ikut campur,” katanya tegas.Lalu mendorongnya menjauh. Matanya kembali menatap Ratina.“Aku kira setelah Karina lulus, kita bisa jadi teman ngobrol. Ternyata kamu cuma teman munafik,” geram Amelia.Senyum sinis muncul di bibirnya. Sambil melipat kedua tangan dengan tatapan merendahkan.“Bangga kamu punya orang tua kaya? Tapi akhirnya tetap telat masuk kuliah kayak aku. Artinya kamu gagal terus waktu tes masuk, kan?”Ratina seketika melotot marah mendengarnya. Namun tak bisa menyangkal kata-kata itu.“Jangan main-main sama aku, Amel. Papa aku Manajer di perusahaan besar,” balasnya.Dengan menaikkan dagunya seolah balik menantang. Menonjolkan keunggulannya.Amelia mendengus jengkel. Tapi dia juga lelah jika terus melayani orang yang
‘Kenapa aku bisa ada di sini?! Apa ini kamarnya?’Amelia menunduk, melihat ke balik selimut. Tubuhnya pun dalam kondisi telanjang bulat.Dalam kepalanya mulai berpikir. Berusaha mengingat-ingat.Seketika memori tentang kejadian tadi malam terlintas di kepalanya.Dari awal hingga akhir. Sampai saat dirinya merayu Kayden. Dan berakhir di tempat tidur.Amelia langsung menutup wajahnya.Rasa malu yang begitu dalam menyelimutinya. Membuat Amelia ingin tenggelam ke perut bumi. ‘Aku pasti sudah gila,’ geramnya dalam hati.Tak ingin membuang waktu di sini, Amelia segera turun dari tempat tidur.Namun pinggangnya terasa berdenyut dan pegal. Permainan Kayden semalam sangat ganasAmelia memaksakan diri untuk bergerak diam-diam. Berusaha tak membuat suara agar tak membangunkan Kayden.Dengan gerakan cepat, Amelia mengenakan gaun merah muda yang tergeletak di lantai.Meraih tas kecilnya, dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu.Sebelum pergi, masih memastikan Kayden masih tertidur. Kemudian menu
“Dari mana kamu dapet gaun itu, Amel?”Tatapan Kayden menyapu tubuh Amelia dari ujung kepala hingga kaki. Terpaku pada gaun berwarna merah muda yang membalut tubuhnya.Amelia menunduk. Lalu mengangkat sedikit ujung gaunnya.“Hm. Ini dikasih Karina. Gaun dia nggak ada yang pas bagian sini.”Tak sengaja, atau mungkin sengaja. Amelia menyentuh lekuk dadanya yang terlihat lebih berisi dalam balutan gaun itu.“Kebetulan ada gaun punya Mamanya, hehe,” lanjutnya.Dengan mata berkedip-kedip. Sambil cengengesan genit.Kayden mengernyit. Langsung Memalingkan wajah. Jakun di lehernya naik turun.“Kamu tunggu dulu di sini. Nanti aku anter kamu pulang.”Tanpa menunggu jawaban, Kayden berbalik lalu mengambil tubuh Karina yang sudah tertidur di sandaran Amelia. Menidurkan di kamarnya.Sementara Amelia, dalam kondisi sadar dan tak sadar. Kemudian melangkah ke sofa ruang tamu. Duduk bersandar.“Nyari cowok kaya Om Kay susah banget. Kalau dia sepuluh tahun lebih muda, udah aku terkam kayaknya,” gumamny
“Biasa aja kali matanya. Aku cuma nanya,” ujar Amelia sambil menyeruput kopinya.Karina mendengus pelan.“Lagian, hampir tiap hari kamu centilin Papa.”Ameila hanya menaikkan kedua bahu.“Semua cowok ganteng aku centilin,” sahutnya santai.Karina memutar bola matanya sebal. Namun tetap menjawab.“Papa nggak punya pacar. Dia tuh nggak terlalu tertarik buat nikah lagi kayaknya. Dipaksa sama Nenek juga selalu nolak.”Amelia mengangguk paham “Oh .... ”Tapi dalam hati, pikirannya melayang.‘Kalau gitu kenapa dia anggap serius candaan aku tadi?’Amelia sendiri masih tidak menyangka. Pria dingin seperti Kayden selalu acuh tak acuh pada godaanya selama ini. Kini malah balik membalasnya.“Eh, btw. Sekarang kamu beneran mau pulang kampung? Ikut aku aja ke pesta si Ratina, ya?” celetuk Karina.Amelia mempertimbangkannya sejenak.“Gimana ya. Tapi aku juga tanya Ayah sih. Bentar aku tanyain dulu.”Amelia segera mengambil ponselnya dan menelepon Ayahnya, Alan.Panggilan bersambung. Tak lama, Alan
“N-nakal? Aku cuma bantuin Om ngusir cewek nyebelin itu, kok.”Amelia tertawa kecil, canggung. Dia seolah berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.Namun Kayden hanya terdiam. Masih dengan wajah datarnya.“Ngaku-ngaku jadi Istriku? Oke. Kalau gitu, lakukan tugas kamu sebagai Istri.”Kayden mencondongkan tubuh. Nafasnya hangat membuat bulu kuduk Amelia meremang. Tangan besarnya menyentuh pinggang ramping Amelia. Mengusap perlahan seolah menguji batas.Amelia terbelalak. “Om kenapa kayak gini?”Suaranya bergetar, antara takut dan bingung. Amelia berusaha mendorong dada kekar di depannya.Tapi tubuh Kayden malah semakin mendekat. Hingga Amelia bisa merasakan tubuh kekar yang menghimpitnya."Selama ini kamu suka godain aku. Sekarang dibales, kenapa takut. Hm?" tanya Kayden.Seketika Amelia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tampan dan mempesona ada di depan matanya.Namun akal sehatnya masih mengingatkan bahwa hal ini adalah perbuatan yang tidak benar."Om. Aku—""A







