LOGIN“N-nakal? Aku cuma bantuin Om ngusir cewek nyebelin itu, kok.”
Amelia tertawa kecil, canggung. Dia seolah berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang. Namun Kayden hanya terdiam. Masih dengan wajah datarnya. “Ngaku-ngaku jadi Istriku? Oke. Kalau gitu, lakukan tugas kamu sebagai Istri.” Kayden mencondongkan tubuh. Nafasnya hangat membuat bulu kuduk Amelia meremang. Tangan besarnya menyentuh pinggang ramping Amelia. Mengusap perlahan seolah menguji batas. Amelia terbelalak. “Om kenapa kayak gini?” Suaranya bergetar, antara takut dan bingung. Amelia berusaha mendorong dada kekar di depannya. Tapi tubuh Kayden malah semakin mendekat. Hingga Amelia bisa merasakan tubuh kekar yang menghimpitnya. "Selama ini kamu suka godain aku. Sekarang dibales, kenapa takut. Hm?" tanya Kayden. Seketika Amelia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tampan dan mempesona ada di depan matanya. Namun akal sehatnya masih mengingatkan bahwa hal ini adalah perbuatan yang tidak benar. "Om. Aku—" "Amel!" Suara Karina dari belakang memecah ketegangan di antara mereka. Amelia tersentak. Rasa panik menyelimuti dirinya. Seketika ia mendorong Kayden sekuat tenaga. Hingga akhirnya berhasil terlepas. Tepat di saat yang sama, Karina muncul. Berjalan menghampiri sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. “Kalian ngapain di situ?” tanyanya heran. Amelia memaksakan senyuman. “Tadi ada tamu. Tapi sekarang udah pergi, sih,” jawabnya cepat, berusaha terdengar santai. Karina menyipitkan mata, lalu hanya mengangguk singkat. Terlihat tidak peduli. “Kamu nggak mandi, Mel?” Amelia langsung mengangguk. “O-oh iya. Aku mandi dulu ya, pinjem handuk!” Kemudian mengambil handuk dari tangan Karina begitu saja. dia berjalan secepat mungkin, dengan kepala menunduk, menutupi wajahnya yang memanas. “Si kupret, main rebut aja,” gerutu Karina kesal. Sedangkan Kayden, masih diam di tempat dengan wajah datar seperti biasa. Namun tatapannya begitu lekat, mengikuti ke mana Amelia pergi. Di kamar mandi, Amelia mulai melepas pakaiannya untuk membersihkan diri. Wajahnya masih merah merona karena perkataan dan tindakan Kayden sebelumnya. Tetapi memilih untuk mengabaikannya. Usai membasahi tubuh dengan air, Amelia menekan botol sabun. Tapi tidak ada yang keluar. Dan saat diperiksa, ternyata sudah habis. Amelia celingukan. Tidak ada sabun lain. ‘Yah. Kayaknya stok sabun di laci wastafel luar deh,’ pikirnya. Amelia menghela napas malas. Lalu membungkus tubuhnya dengan handuk. Saat melangkah keluar diam-diam, Amelia mengira penghuni lain ada di kamarnya. Baru melangkah keluar, sosok pria berdiri di depan wastafel. “O-om Kay!” seru Amelia tersentak. Kayden sedang mengambil pasta gigi dari laci. Dia menoleh. Dan seketika pandangan mereka bertemu. Untuk sepersekian detik, waktu seolah berhenti. Tatapan Kayden turun perlahan. Kedua alisnya sedikit terangkat. Di balik hoodie kebesaran yang biasa Amelia pakai, kini terbentang pemandangan yang tak pernah Kayden bayangkan. Kulit putih yang lembut. Lekuk tubuh muda dan berisi. Seketika jakun di leher Kayden naik turun. Bersusah payah menelan ludah. ‘Iya. Dia bukan anak kecil lagi,’ gumam Kayden dalam hati. Amelia langsung menyilangkan kedua lengan di depan dada. Lalu berbalik hendak masuk ke kamar mandi lagi. Tapi terhenti saat Kayden menahan bahunya yang basah. “Kamu kenapa keluar?” Amelia menoleh singkat. Tak berani menatap matanya. “A-aku mau ambil sabun,” jawabnya terbata-bata. Tatapan Kayden tidak bisa berpaling dan kembali bertanya. “Mau yang batang atau yang cair?” “Yang batang aja,” sahut Amelia cepat. Kayden membuka laci dan mengambil sabun itu. Kayden tersenyum tipis. “Ternyata kamu suka yang keras-keras ya?” Sambil menyodorkan sabun batang, diusapkan lembut ke punggung mulus Amelia yang masih membelakanginya. Sentuhan dingin dari sabun padat itu membuat Amelia tersentak. Tubuhnya otomatis menegang. “Om!” desisnya. Amelia segera merebut sabun itu dan masuk ke kamar mandi lagi. Menutup pintu dengan cepat. Amelia berjongkok sambil menutup wajahnya yang memanas. ‘Dia mau balas dendam jailin aku atau gimana sih? Bikin orang jantungan aja,’ batinnya menggerutu. Usai membersihkan diri, Amelia keluar mengenakan pakaian yang awalnya dia pakai. Tapi kali ini celingukan. Memastikan bahwa tidak ada siapapun di luar. Begitu situasi aman, Amelia segera pergi ke kamar Karina. Di sana, Karina sedang berbaring di kasur sambil bermain ponsel. Di sampingnya ada sekotak camilan. “Mel, Papa ngasih kopi tuh,” katanya tanpa menoleh. Amelia mengernyit. “Hah?” “Katanya kamu bikin kopi tapi ketinggalan di dapur.” Setelah mendengar hal itu, barulah Amelia mengangguk paham. “Oh iya, lupa.” Amelia tertawa kecil. Berusaha bersikap seperti biasa. Kemudian duduk di sofa. Yang mana di depannya terdapat secang kopi yang Karina sebutkan. Saat disentuh, masih hangat dan panas. Seketika debaran di jantungnya semakin cepat. Entah kenapa, telinganya sedikit memerah. “Karina. Papa kamu, sebenernya punya pacar nggak, sih?” tanyanya tiba-tiba. Karina langsung menoleh. Sebelah alisnya terangkat dengan mata menyipit tajam. “Kenapa? Mau daftar jadi Mama tiriku?”“Amelia,” teriak Kayden.Ternyata, pria itu menyadari keberadaan Amelia di balik pohon. Dengan cepat Kayden menghampirinya.Amelia terlihat panik.‘Kenapa dia bisa tau, sih?’ geramnya dalam hati.Kemudian berlari menjauh. Tapi Kayden berhasil mengejar dan menangkapnya dengan cepat.“Mau kabur ke mana kamu Amelia?”Amelia hanya diam tak menjawab. Langsung memalingkan wajah. Tak berani menatapnya.Kayden mendengus pelan.“Kamu harus bertanggung jawab. Kamu kira aku laki-laki pemuas, yang ditinggal setelah—”Belum selesai berbicara, Amelia tiba-tiba membungkamnya.“Jangan keras-keras. Kalau ada yang denger gimana?” bisiknya.Dengan tatapan gelisah, menatap sekitar. Untung saja tak ada yang mendengarnya.Kayden menjauhkan tangan Amelia. Lalu menggenggamnya erat.“Kalau gitu sini ikut. Jangan kabur-kaburan,” ajaknya.Sambil menarik Amelia pergi. Masuk ke mobilnya.Mau tak mau Amelia menurut saja.Setelah duduk di kursi penumpang. Amelia menatap jendela. Masih enggan menatap pria itu.“Ada
“Enggak usah bawa-bawa orang tua, Ratina,” desis Amelia.Ratina terdiam sejenak, kaget oleh tamparan itu. Dia tak sempat mengelak.Teman di sampingnya mendengus marah.“Heh, Amel! Beraninya nam—”Namun Amelia tak memberinya kesempatan.“Minggir! Nggak usah ikut campur,” katanya tegas.Lalu mendorongnya menjauh. Matanya kembali menatap Ratina.“Aku kira setelah Karina lulus, kita bisa jadi teman ngobrol. Ternyata kamu cuma teman munafik,” geram Amelia.Senyum sinis muncul di bibirnya. Sambil melipat kedua tangan dengan tatapan merendahkan.“Bangga kamu punya orang tua kaya? Tapi akhirnya tetap telat masuk kuliah kayak aku. Artinya kamu gagal terus waktu tes masuk, kan?”Ratina seketika melotot marah mendengarnya. Namun tak bisa menyangkal kata-kata itu.“Jangan main-main sama aku, Amel. Papa aku Manajer di perusahaan besar,” balasnya.Dengan menaikkan dagunya seolah balik menantang. Menonjolkan keunggulannya.Amelia mendengus jengkel. Tapi dia juga lelah jika terus melayani orang yang
‘Kenapa aku bisa ada di sini?! Apa ini kamarnya?’Amelia menunduk, melihat ke balik selimut. Tubuhnya pun dalam kondisi telanjang bulat.Dalam kepalanya mulai berpikir. Berusaha mengingat-ingat.Seketika memori tentang kejadian tadi malam terlintas di kepalanya.Dari awal hingga akhir. Sampai saat dirinya merayu Kayden. Dan berakhir di tempat tidur.Amelia langsung menutup wajahnya.Rasa malu yang begitu dalam menyelimutinya. Membuat Amelia ingin tenggelam ke perut bumi. ‘Aku pasti sudah gila,’ geramnya dalam hati.Tak ingin membuang waktu di sini, Amelia segera turun dari tempat tidur.Namun pinggangnya terasa berdenyut dan pegal. Permainan Kayden semalam sangat ganasAmelia memaksakan diri untuk bergerak diam-diam. Berusaha tak membuat suara agar tak membangunkan Kayden.Dengan gerakan cepat, Amelia mengenakan gaun merah muda yang tergeletak di lantai.Meraih tas kecilnya, dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu.Sebelum pergi, masih memastikan Kayden masih tertidur. Kemudian menu
“Dari mana kamu dapet gaun itu, Amel?”Tatapan Kayden menyapu tubuh Amelia dari ujung kepala hingga kaki. Terpaku pada gaun berwarna merah muda yang membalut tubuhnya.Amelia menunduk. Lalu mengangkat sedikit ujung gaunnya.“Hm. Ini dikasih Karina. Gaun dia nggak ada yang pas bagian sini.”Tak sengaja, atau mungkin sengaja. Amelia menyentuh lekuk dadanya yang terlihat lebih berisi dalam balutan gaun itu.“Kebetulan ada gaun punya Mamanya, hehe,” lanjutnya.Dengan mata berkedip-kedip. Sambil cengengesan genit.Kayden mengernyit. Langsung Memalingkan wajah. Jakun di lehernya naik turun.“Kamu tunggu dulu di sini. Nanti aku anter kamu pulang.”Tanpa menunggu jawaban, Kayden berbalik lalu mengambil tubuh Karina yang sudah tertidur di sandaran Amelia. Menidurkan di kamarnya.Sementara Amelia, dalam kondisi sadar dan tak sadar. Kemudian melangkah ke sofa ruang tamu. Duduk bersandar.“Nyari cowok kaya Om Kay susah banget. Kalau dia sepuluh tahun lebih muda, udah aku terkam kayaknya,” gumamny
“Biasa aja kali matanya. Aku cuma nanya,” ujar Amelia sambil menyeruput kopinya.Karina mendengus pelan.“Lagian, hampir tiap hari kamu centilin Papa.”Ameila hanya menaikkan kedua bahu.“Semua cowok ganteng aku centilin,” sahutnya santai.Karina memutar bola matanya sebal. Namun tetap menjawab.“Papa nggak punya pacar. Dia tuh nggak terlalu tertarik buat nikah lagi kayaknya. Dipaksa sama Nenek juga selalu nolak.”Amelia mengangguk paham “Oh .... ”Tapi dalam hati, pikirannya melayang.‘Kalau gitu kenapa dia anggap serius candaan aku tadi?’Amelia sendiri masih tidak menyangka. Pria dingin seperti Kayden selalu acuh tak acuh pada godaanya selama ini. Kini malah balik membalasnya.“Eh, btw. Sekarang kamu beneran mau pulang kampung? Ikut aku aja ke pesta si Ratina, ya?” celetuk Karina.Amelia mempertimbangkannya sejenak.“Gimana ya. Tapi aku juga tanya Ayah sih. Bentar aku tanyain dulu.”Amelia segera mengambil ponselnya dan menelepon Ayahnya, Alan.Panggilan bersambung. Tak lama, Alan
“N-nakal? Aku cuma bantuin Om ngusir cewek nyebelin itu, kok.”Amelia tertawa kecil, canggung. Dia seolah berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.Namun Kayden hanya terdiam. Masih dengan wajah datarnya.“Ngaku-ngaku jadi Istriku? Oke. Kalau gitu, lakukan tugas kamu sebagai Istri.”Kayden mencondongkan tubuh. Nafasnya hangat membuat bulu kuduk Amelia meremang. Tangan besarnya menyentuh pinggang ramping Amelia. Mengusap perlahan seolah menguji batas.Amelia terbelalak. “Om kenapa kayak gini?”Suaranya bergetar, antara takut dan bingung. Amelia berusaha mendorong dada kekar di depannya.Tapi tubuh Kayden malah semakin mendekat. Hingga Amelia bisa merasakan tubuh kekar yang menghimpitnya."Selama ini kamu suka godain aku. Sekarang dibales, kenapa takut. Hm?" tanya Kayden.Seketika Amelia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tampan dan mempesona ada di depan matanya.Namun akal sehatnya masih mengingatkan bahwa hal ini adalah perbuatan yang tidak benar."Om. Aku—""A







