Masuk“Biasa aja kali matanya. Aku cuma nanya,” ujar Amelia sambil menyeruput kopinya.
Karina mendengus pelan. “Lagian, hampir tiap hari kamu centilin Papa.” Ameila hanya menaikkan kedua bahu. “Semua cowok ganteng aku centilin,” sahutnya santai. Karina memutar bola matanya sebal. Namun tetap menjawab. “Papa nggak punya pacar. Dia tuh nggak terlalu tertarik buat nikah lagi kayaknya. Dipaksa sama Nenek juga selalu nolak.” Amelia mengangguk paham “Oh .... ” Tapi dalam hati, pikirannya melayang. ‘Kalau gitu kenapa dia anggap serius candaan aku tadi?’ Amelia sendiri masih tidak menyangka. Pria dingin seperti Kayden selalu acuh tak acuh pada godaanya selama ini. Kini malah balik membalasnya. “Eh, btw. Sekarang kamu beneran mau pulang kampung? Ikut aku aja ke pesta si Ratina, ya?” celetuk Karina. Amelia mempertimbangkannya sejenak. “Gimana ya. Tapi aku juga tanya Ayah sih. Bentar aku tanyain dulu.” Amelia segera mengambil ponselnya dan menelepon Ayahnya, Alan. Panggilan bersambung. Tak lama, Alan akhirnya menjawab. “Kenapa?! Mau uang lagi?” Suara Alan terdengar seperti bentakan. Amelia merapatkan bibir. Berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Mengabaikan nada ketus itu, seolah sudah terbiasa. “Aku libur semester di kampus. Jadi mau pulang kampung. Ayah lagi di rumah kan?” “Ck. Mau apa sih? Udah di situ aja. Bikin repot di sini juga. Ayah sibuk kirim barang!” balas Alan kasar. Amelia terdiam sejenak. Tapi dia menyadari tatapan di sampingnya. Karina tengah memperhatikan dengan raut wajah penasaran. Akhirnya, sudut bibir Amelia terangkat. Mempertahankan senyuman. “Oh, lagi kirim barang ke luar kota ya? Ya udah nggak apa-apa. Lain kali aja aku pulang,” katanya santai. Dan panggilan pun berakhir. Karina mendekat. Matanya berbinar penuh harap. “Jadi? Ikut aku ke pesta, kan?” tanyanya. Amelia menoleh, lalu mengangguk setuju. Karina tersenyum lebar. “Yeay! Gitu, dong! Nanti kita berangkat dari sini saja,” soraknya. “Eh, tapi aku nggak punya gaun. Sekarang pada kecil kayaknya. Udah lama nggak pergi ke pesta-pesta,” lanjut Amelia. Baru teringat. “Nggak apa-apa. Pake punyaku,” ujar Karina percaya diri. Namun, Amelia menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapannya berhenti di bagian dada Karina yang, cukup berbeda dari miliknya. “Bagian dadanya bakal sesak, nggak?” tanyanya asal ceplos. Karina langsung mendelik tajam. “Ngeledek lagi! Udah bagus aku pinjemin!” Langsung melempar bantal ke wajah Amelia. Melampiaskan kekesalannya. Amelia tertawa puas sambil menangkisnya. Suaranya terdengar ringan dan ceria. Menutupi getir yang sempat menyelimuti dadanya beberapa menit lalu. Inilah alasan Amelia lebih suka menghabiskan waktu di rumah Karina. Di rumahnya sendiri tidak ada yang memberinya kehangatan. Alan membenci Amelia, atas apa yang terjadi di masa lalu. Di kala perdebatan mereka, Amelia teringat akan sesuatu. “Pesta si Ratina malem, kan? Memang Papa kamu bakal izinin?” Karina tersenyum penuh percaya diri. “Nanti siang Papa mau ke rumah Nenek. Aku dipaksa ikut. Tapi alesan aja masuk kerja.” Amelia hanya menggelengkan kepalanya. Sambil terkekeh pelan. Langit mulai kelam, lampu-lampu rumah dinyalakan satu per satu. Amelia dan Karina telah siap dengan gaun mereka. Tampil cantik dengan polesan make up tipis. Karena tidak adanya Kayden sejak siang, mereka leluasa pergi ke pesta. Jika tahu, mungkin dia tak akan mengizinkan sama sekali. Mereka juga butuh sesuatu untuk mengalihkan kejenuhan sehari-hari. Amelia, sebagai mahasiswa yang baru masuk tahun terakhir, akan ada banyak tugas yang menumpuk. Dia juga harus mempersiapkan diri sebelum PKL nanti. Berbeda dengan Karina. Yang sudah lulus tahun lalu dan menjadi Dokter magang di salah satu rumah sakit. Suasana pesta semakin cukup ramai saat menjelang larut malam. Musik DJ bertambah kencang. Ditemani minuman beralkohol. Menikmati masa muda. Termasuk Amelia. Namun kesenangannya terganggu ketika ponsel dalam tas kecilnya berdering. Amelia terpaksa menjauh dari kebisingan. “Halo?!” Kemudian terdengar suara berat seorang pria. “Karina nggak angkat telepon. Kamu tau nggak dia dimana? Ini udah larut malem.” Amelia menatap layar ponselnya sejenak. Untuk memastikan. Wajahnya sudah sedikit memerah karena alkohol. “Oh, Om Kay. Kita lagi di pesta.” "Pesta?!" desis Kayden kesal. "Pulang sekarang atau aku seret kalian dari situ.” Namun Amelia malah cekikikan mendengar ancaman itu. “Ih takut .... Mau dong diseret ke ranjang,” jawabnya. Dia benar-benar sudah mabuk. “Amelia!” Kayden sedikit membentak. Membuat Amelia terdiam. “Iya, iya. Ini pulang kok. Ish, dasar duda nyebelin,” gerutunya. Saat mabuk, Amelia jadi sangat berani. “Kamu bilang apa?!” desis Kayden. Tanpa pikir panjang. Amelia langsung menutup panggilan. Takut mendengar omelan lagi. Meski perkataan Amelia sedikit melantur. Dia berusaha tetap sadar untuk memesan taksi online di ponselnya. Kemudian mengajak Karina pergi sebelum Kayden menyeretnya. Mereka pulang dalam kondisi mabuk. Amelia berjalan lesu menggandeng Karina. Karena terus bersandar padanya sambil terkantuk-kantuk. “Kalian baru pulang jam segini?” tanya Kayden. Menunggu di ruang tamu dengan wajah garang. Amelia menoleh. Matanya yang masih berkabut alkohol berusaha fokus. Senyum lebar merekah di bibirnya. “Eh. Om Kay ganteng. Aku udah bawa Karina pulang nih," ujarnya sedikit usil. Namun Kayden malah terdiam sejenak. Tatapannya tertuju pada penampilan Amelia. Terlihat sedikit familier. ‘Itu. Gaun Melisa?’ pikirnya teringat.“Amelia,” teriak Kayden.Ternyata, pria itu menyadari keberadaan Amelia di balik pohon. Dengan cepat Kayden menghampirinya.Amelia terlihat panik.‘Kenapa dia bisa tau, sih?’ geramnya dalam hati.Kemudian berlari menjauh. Tapi Kayden berhasil mengejar dan menangkapnya dengan cepat.“Mau kabur ke mana kamu Amelia?”Amelia hanya diam tak menjawab. Langsung memalingkan wajah. Tak berani menatapnya.Kayden mendengus pelan.“Kamu harus bertanggung jawab. Kamu kira aku laki-laki pemuas, yang ditinggal setelah—”Belum selesai berbicara, Amelia tiba-tiba membungkamnya.“Jangan keras-keras. Kalau ada yang denger gimana?” bisiknya.Dengan tatapan gelisah, menatap sekitar. Untung saja tak ada yang mendengarnya.Kayden menjauhkan tangan Amelia. Lalu menggenggamnya erat.“Kalau gitu sini ikut. Jangan kabur-kaburan,” ajaknya.Sambil menarik Amelia pergi. Masuk ke mobilnya.Mau tak mau Amelia menurut saja.Setelah duduk di kursi penumpang. Amelia menatap jendela. Masih enggan menatap pria itu.“Ada
“Enggak usah bawa-bawa orang tua, Ratina,” desis Amelia.Ratina terdiam sejenak, kaget oleh tamparan itu. Dia tak sempat mengelak.Teman di sampingnya mendengus marah.“Heh, Amel! Beraninya nam—”Namun Amelia tak memberinya kesempatan.“Minggir! Nggak usah ikut campur,” katanya tegas.Lalu mendorongnya menjauh. Matanya kembali menatap Ratina.“Aku kira setelah Karina lulus, kita bisa jadi teman ngobrol. Ternyata kamu cuma teman munafik,” geram Amelia.Senyum sinis muncul di bibirnya. Sambil melipat kedua tangan dengan tatapan merendahkan.“Bangga kamu punya orang tua kaya? Tapi akhirnya tetap telat masuk kuliah kayak aku. Artinya kamu gagal terus waktu tes masuk, kan?”Ratina seketika melotot marah mendengarnya. Namun tak bisa menyangkal kata-kata itu.“Jangan main-main sama aku, Amel. Papa aku Manajer di perusahaan besar,” balasnya.Dengan menaikkan dagunya seolah balik menantang. Menonjolkan keunggulannya.Amelia mendengus jengkel. Tapi dia juga lelah jika terus melayani orang yang
‘Kenapa aku bisa ada di sini?! Apa ini kamarnya?’Amelia menunduk, melihat ke balik selimut. Tubuhnya pun dalam kondisi telanjang bulat.Dalam kepalanya mulai berpikir. Berusaha mengingat-ingat.Seketika memori tentang kejadian tadi malam terlintas di kepalanya.Dari awal hingga akhir. Sampai saat dirinya merayu Kayden. Dan berakhir di tempat tidur.Amelia langsung menutup wajahnya.Rasa malu yang begitu dalam menyelimutinya. Membuat Amelia ingin tenggelam ke perut bumi. ‘Aku pasti sudah gila,’ geramnya dalam hati.Tak ingin membuang waktu di sini, Amelia segera turun dari tempat tidur.Namun pinggangnya terasa berdenyut dan pegal. Permainan Kayden semalam sangat ganasAmelia memaksakan diri untuk bergerak diam-diam. Berusaha tak membuat suara agar tak membangunkan Kayden.Dengan gerakan cepat, Amelia mengenakan gaun merah muda yang tergeletak di lantai.Meraih tas kecilnya, dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu.Sebelum pergi, masih memastikan Kayden masih tertidur. Kemudian menu
“Dari mana kamu dapet gaun itu, Amel?”Tatapan Kayden menyapu tubuh Amelia dari ujung kepala hingga kaki. Terpaku pada gaun berwarna merah muda yang membalut tubuhnya.Amelia menunduk. Lalu mengangkat sedikit ujung gaunnya.“Hm. Ini dikasih Karina. Gaun dia nggak ada yang pas bagian sini.”Tak sengaja, atau mungkin sengaja. Amelia menyentuh lekuk dadanya yang terlihat lebih berisi dalam balutan gaun itu.“Kebetulan ada gaun punya Mamanya, hehe,” lanjutnya.Dengan mata berkedip-kedip. Sambil cengengesan genit.Kayden mengernyit. Langsung Memalingkan wajah. Jakun di lehernya naik turun.“Kamu tunggu dulu di sini. Nanti aku anter kamu pulang.”Tanpa menunggu jawaban, Kayden berbalik lalu mengambil tubuh Karina yang sudah tertidur di sandaran Amelia. Menidurkan di kamarnya.Sementara Amelia, dalam kondisi sadar dan tak sadar. Kemudian melangkah ke sofa ruang tamu. Duduk bersandar.“Nyari cowok kaya Om Kay susah banget. Kalau dia sepuluh tahun lebih muda, udah aku terkam kayaknya,” gumamny
“Biasa aja kali matanya. Aku cuma nanya,” ujar Amelia sambil menyeruput kopinya.Karina mendengus pelan.“Lagian, hampir tiap hari kamu centilin Papa.”Ameila hanya menaikkan kedua bahu.“Semua cowok ganteng aku centilin,” sahutnya santai.Karina memutar bola matanya sebal. Namun tetap menjawab.“Papa nggak punya pacar. Dia tuh nggak terlalu tertarik buat nikah lagi kayaknya. Dipaksa sama Nenek juga selalu nolak.”Amelia mengangguk paham “Oh .... ”Tapi dalam hati, pikirannya melayang.‘Kalau gitu kenapa dia anggap serius candaan aku tadi?’Amelia sendiri masih tidak menyangka. Pria dingin seperti Kayden selalu acuh tak acuh pada godaanya selama ini. Kini malah balik membalasnya.“Eh, btw. Sekarang kamu beneran mau pulang kampung? Ikut aku aja ke pesta si Ratina, ya?” celetuk Karina.Amelia mempertimbangkannya sejenak.“Gimana ya. Tapi aku juga tanya Ayah sih. Bentar aku tanyain dulu.”Amelia segera mengambil ponselnya dan menelepon Ayahnya, Alan.Panggilan bersambung. Tak lama, Alan
“N-nakal? Aku cuma bantuin Om ngusir cewek nyebelin itu, kok.”Amelia tertawa kecil, canggung. Dia seolah berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.Namun Kayden hanya terdiam. Masih dengan wajah datarnya.“Ngaku-ngaku jadi Istriku? Oke. Kalau gitu, lakukan tugas kamu sebagai Istri.”Kayden mencondongkan tubuh. Nafasnya hangat membuat bulu kuduk Amelia meremang. Tangan besarnya menyentuh pinggang ramping Amelia. Mengusap perlahan seolah menguji batas.Amelia terbelalak. “Om kenapa kayak gini?”Suaranya bergetar, antara takut dan bingung. Amelia berusaha mendorong dada kekar di depannya.Tapi tubuh Kayden malah semakin mendekat. Hingga Amelia bisa merasakan tubuh kekar yang menghimpitnya."Selama ini kamu suka godain aku. Sekarang dibales, kenapa takut. Hm?" tanya Kayden.Seketika Amelia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tampan dan mempesona ada di depan matanya.Namun akal sehatnya masih mengingatkan bahwa hal ini adalah perbuatan yang tidak benar."Om. Aku—""A







