Udara hangat dari uap mandi masih terasa menyelimuti kulit Calla ketika ia keluar dari kamar mandi. Rambut merahnya masih basah sebagian, menjuntai lembut hingga menempel di leher dan bahu. Ia mengenakan piyama satin polos berwarna biru muda, berbeda dari motif tengkorak kesukaannya yang biasa ia pakai. Malam ini entah kenapa ia ingin tampil sederhana, bahkan sedikit anggun. Knox sudah menunggu di kamarnya. Pria itu duduk santai di kursi lengan dekat jendela besar, tubuh tegapnya masih terbalut kaus hitam tipis yang menonjolkan lekuk halus ototnya. Sebagai model profesional, Knox memiliki tubuh yang ramping dan tinggi, berbeda dengan Dylan yang tubuhnya lebih besar dengan otot-otot masif serta kokoh menghias tubuhnya. Lampu meja yang redup memantulkan sorot biru mata Knox yang lebih gelap dari Calla. Mata yang tampak lebih dalam, lebih teduh dari biasanya. Di meja kecil di samping tempat tidur, terletak segelas susu coklat hangat yang masih mengepulkan uap tipis.
Sementara itu di lantai bawah, Dylan berjalan melewati ruang utama dengan langkah panjang. Eleanor berusaha mengejar, namun tatapan dingin pria itu cukup untuk menghentikannya. “Dylan, tunggu~” “Aku tidak sedang ingin berbincang,” potongnya singkat. "Tapi aku pun tidak akan melupakan janji yang telah kubuat. Jadi sampai jumpa besok untuk makan siang, Eleanor." Eleanor terdiam, menatap punggung Dylan yang semakin jauh, hingga akhirnya menghilang di lorong gelap Mansion. Dan di sudut lain, Marissa berdiri seraya menyaksikan semua itu dengan mata hijaunya yang berkilau penuh misteri. “Akhirnya… benang kusut ini mulai membentuk polanya sendiri,” gumannya lirih, seakan menyimpan rencana lain yang belum terungkap. *** Marissa menyandarkan tubuhnya ke sofa panjang di kamarnya dengan elegan. Senyumnya samar, nyaris tak terlihat jelas oleh siapapun, namun ada kilatan puas yang memancar dari matanya. Semua berjalan bahkan lebih baik dari apa yang sudah ia bayangkan semula. I
Tatapan Calla membelalak. Spontan tubuhnya menegang, dan dengan cepat ia meronta untuk turun dari gendongan Dylan seraya menahan rasa sakit di bokong yang masih memar."Tolong turunkan aku, Dylan," bisik Calla pelan. Dylan menunduk sejenak, matanya menelisik wajah Calla. Namun tanpa protes, ia pun akhirnya perlahan menurunkan gadis itu. Calla hampir terpeleset karena tubuhnya masih lemas, tapi ia cepat-cepat menopang diri lalu bergegas menghampiri Knox. “Knox… aku tidak apa-apa,” ujarnya cepat, meski wajahnya masih pucat. Knox menatapnya dengan sorot mata sulit ditebak. “Benarkah?” tanyanya dalam nada suara yang sarat dengan emosi yang ditahan. Calla menggigit bibir, lalu menjelaskan dengan terbata, “Aku… terpeleset dan jatuh ke kolam kecil. Itu sebabnya aku basah kuyup dan belakang tubuhku lumayan sakit. Dylan kebetulan ada di sana, jadi dia menolongku.” Ia menekankan kalimat terakhir dengan nada bersungguh-sungguh, seakan ingin memastikan agar Knox percaya bahwa tak ada
Udara malam merambat dingin, sementara langkah Dylan terdengar tegas di jalan setapak. Calla yang masih berada dalam gendongannya berusaha menahan rasa gelisahnya, dan akhirnya ia pun memutuskan untuk bersuara. “Di mana Eleanor?” tanya Calla pelan. Tatapannya tertuju pada sisi samping figur wajah Dylan yang sama menawannya dengan sisi depan. “Dia masih di rumah kaca,” jawab Dylan singkat dalam nada datar, seolah itu bukan sesuatu yang cukup penting. Kening Calla pun berkerut, memikirkan jarak antara rumah kaca dan taman labirin yang cukup jauh. “Lalu… kenapa kamu bisa ada di sini?” Dylan hanya menoleh sekilas dengan sorot dari bola mata kelabunya, namun cukup untuk membuat Calla merasa seolah terhimpit oleh keheningan. “Aku sedang menerima telepon penting. Lalu tanpa sadar, langkahku malah terbawa ke sini.” Calla mengembuskan napas pelan, lalu menunduk. “Kamu tidak seharusnya meninggalkan Eleanor sendirian.” Langkah Dylan tidak berhenti, namun Calla bisa merasakan de
Namun langkahnya berhenti di depan pintu masuk labirin yang menjulang misterius diterangi cahaya lampu samar. Calla menelan ludah, lalu berteriak, “Knox! Tolong jangan bercanda, ayo keluar!” Tapi sayangnya, yang menjawab hanyalah angin malam yang berhembus dingin serta gema dari suaranya sendiri. Lalu tiba-tiba Calla mendengar suara lain dari arah belakangnya. Gadis itu pun cepat-cepat menoleh, karena mengira Knox-lah yang menghampirinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” ucap sebuah suara tenang, seiring dengan kemunculan sosok tinggi maskulin dengan aura dingin mendominasi. Dylan berdiri beberapa meter di belakangnya. Kedua tangannya diselipkan ke dalam saku, wajahnya yang tampan terlihat tenang tapi tajam menatap Calla. “Aku… aku mencari Knox,” jawab Calla seraya mengerjap panik. Alis coklat lebat Dylan pun seketika terangkat. “Mencari? Jadi kamu kehilangan dia? Memangnya kalian sedang bermain petak umpet seperti anak kecil?” Sindiran itu membuat Calla makin murung.
Malam itu udara terasa lembut, angin membawa aroma bunga yang memenuhi taman Mansion. Calla berjalan bergandengan tangan dengan Knox di jalan setapak yang diterangi lampu-lampu taman. Jemarinya digenggam hangat, tapi pikirannya terus bercabang ke arah yang lain. Untuk menutupi kegelisahannya, Calla mulai berceloteh tentang bunga-bunga yang tumbuh di Mansion. “Itu Camellia merah, konon simbol cinta yang setia,” katanya sambil menunjuk semak rimbun di sisi jalan. “Dan yang di sebelah sana… lily putih. Katanya lambang kesucian. Taman ini terlalu luas, kadang aku sendiri masih bingung.” Knox tidak banyak bicara, hanya mengangguk sambil memperhatikan wajah Calla yang bersinar saat bercerita. Pandangannya lebih banyak terfokus pada gadis itu daripada bunga-bunga yang ia tunjukkan. Ketika akhirnya mereka tiba di sebuah gazebo mungil nan artistik, Knox tiba-tiba saja berhenti. Gazebo itu diterangi cahaya lampu kuning lembut, menjadikan suasana temaram begitu romantis. Tan