Share

BAB 2 "FOTO JOROK"

Mataku terbelalak. Tidak hanya berkunang-kunang tapi juga berkaca-kaca. Apa-apaan ini? Aku menjerit sekencang mungkin di dalam hati. Tanganku sampai bergetar hebat dan hampir saja ponsel Mas Ricky terjatuh.

Gambar seronok dan juga … vulgar, bahkan porno! Ada foto Tanti sedang … telanjang. Bahkan dalam bentuk close up! Aku tak mampu bernapas lagi. Sesak! Semua terlalu menyesakkan! Dadaku berat, seperti ada batu karang yang menahan untuk bernapas.

Ya, Tuhan! Tolong aku! Inikah yang dinamakan kondisi shock? Rasa mual perlahan merayap di dalam perut. Mengacak-acak dan mengaduk-aduk seisi lambung, membuatku ingin muntah!

Aku ingin menangis, tetapi air mata tidak mau keluar sama sekali! Mataku tetap saja kering tanpa setetes air mata pun. Kenapa aku tidak bisa menangis?

Tangan masih saja bergetar, dengan telapak tangan yang makin dingin. Mata mendelik, tak berkedip, menatap layar. Menatap wanita seksi dengan buah dada besar dan montok, sedang berpose menantang.

Bajingan! Brengsek! Pelacur! Makiku dalam hati. Mengutuk setiap napas Tanti agar menjadi balasan terberat untuk ini semua. Siapa yang mengambil foto ini? Kapan diambilnya?

Dengan cepat aku pencet tulisan detail di pojok kanan bawah. Meski jijik karena di bagian kanan bawah terpampang selangkangan Tanti, aku terpaksa menekannya.

Terlihat angka keterangan bahwa foto ini diambil tiga tahun lalu, dan tersimpan dengan rapi di memory card Mas Ricky. Berapa kali pun ganti ponsel, gambar-gambar ini akan selalu terbawa.

Foto yang diambil tiga tahun lalu, sedikit melegakan. Aku belum mengenal Mas Ricky pada waktu itu. Paling tidak, ini tidak termasuk perselingkuhan, bukan? Meski tetap saja aku tidak terima dia masih menyimpan foto jorok mantannya.

Kulirik Mas Ricky. Ia masih tertidur lelap dan mengorok.

Huh! Enak sekali kamu tidur nyenyak begitu sementara aku mau pingsan begini, Mas! Umpatku dalam hati.

Masih terus menggerutu dan mengumpat, jariku semakin lincah scrolling. Ada puluhan gambar di sana. Aku selalu menekan ikon detail, untuk melihat tanggal pengambilan foto.

Hah? Tidak hanya foto, ternyata ada juga folder berisi video! Gustiiii! Aku menangis hanya di dalam hati. Bagaimana ini? Aku buka atau tidak? Kalau kubuka, siapkah aku melihat segalanya?

Serba salah, demikian perasaanku. Dibuka, takut aku trauma. Tidak dibuka, tentu penasaran! Aku harus bagaimana? Aduh, aku bingung!

Tiba-tiba Mas Ricky berhenti mengorok dan badannya bergerak-gerak. Aku terkesiap. Secepat kilat jempol beratraksi, mengembalikan ponsel pada posisi layar semula dan menutup aplikasi media.

Aku taruh ponsel di tempat semula dan kembali ke dalam selimut. Cepat-cepat kututup mata dan pura-pura terlelap.

“Cha, Cha?” panggil Mas Ricky perlahan. Bibirnya menyentuh pundakku.

Aku diam saja, kan sedang pura-pura tidur.

“Anissa, Sayang,” ulang Mas Ricky kembali memanggil. Kini tangannya memeluk dari belakang, langsung menangkup buah dadaku.

Ya, kami masih tidur tanpa busana sampai saat ini. Aku mau teriak karena merasakan tangannya di dadaku. Belum siap batinku menerima sentuhan ini. Tidak setelah apa yang aku lihat barusan di ponselnya.

“Cha, Cha, Cha, Cha, Cha!” Mas Ricky terus memanggil dengan nama panggilanku. Ia suka menggoda dengan melakukan ini kalau aku sedang pura-pura cuek dan merajuk.

Aku membuka mata perlahan. Berakting gaya bangun tidur. Mulut pun kubuat menguap dua kali sambil meregangkan badan.

“Iya, Mas? Kenapa?” tanyaku pura-pura polos. Padahal, aku tahu ia ingin bercinta. Mungkin habis mimpi dikelilingi tujuh bidadari pakai rok mini, sehingga waktu bangun Mas Ricky langsung ingin bercinta.

“Kangen, Sayang. ML, yuk?” ajaknya sesuai perkiraanku. Tangannya langsung melakukan serangan fajar di antara dua pahaku.

“Hmm, aku lagi nggak enak badan, Mas,” tolakku menampilkan wajah memelas. Kurapatkan kakiku, menjepit jemarinya agar tidak bisa bergerak lagi menekan-nekan titik sensitif pembangkit gairahku.

Mas Ricky terkejut. Ini pertama kalinya aku menolak berhubungan badan setelah menikah. Biasanya, meski sedang flu berat sekalipun, aku akan setia meladeni kebutuhan batinnya.

“Eh, kok? Tumben? Kamu kenapa?” tanya suamiku dengan mata menyelidik.

“Nggak tau juga. Rasanya mual aja ini sekarang,” jawabku menyindir. Meski aku yakin dia tidak tahu aku sedang menyindir.

“Hmm, masuk angin mungkin, ya?”

Aku mengangkat pundak. Terserah Mas Ricky saja mau menganggap aku sakit apa.

“Ya, sudah. Tunggu di sini,” pesannya tiba-tiba turun dari ranjang lalu memakai celana pendek dan kaos.

“Mau kemana, Mas?” tanyaku heran.

“Dapur. Bikinin kamu teh panas. Tunggu, ya. Jangan tidur dulu. Aku nggak mau kamu sakit. Besok Sabtu kan kita mau jalan-jalan ke gunung.”

Ambyar hatiku! Sesaat tadi aku membencinya setengah mati. Kini aku merasa terharu dengan perhatiannya. Bisa-bisanya dia rela turun kasur jam dua pagi seperti ini hanya untuk membuatkan aku teh panas.

Mas Ricky kemudian berjalan menuju lemari. Ia mengambilkan celana dalam dan baby doll lalu kembali mendekat.

“Pake baju aja, ya. Kamu lagi masuk angin. Nanti tambah masuk angin kalau nggak pake baju,” perintahnya lembut.

Aku menatap nanar. Perhatian ini sungguh … apa namanya? Aku tidak tahu! Langka? Iya, langka!

“Ayo, angkat tangan,” ucapnya lagi.

Aku menurut saja. Aku angkat tanganku, lalu dia memasangkan baby doll di bagian atas tubuh.

“Aku pakein juga, ya?” tanya Mas Ricky meminta ijin untuk memakaikan aku celana dalam.

Aku hanya diam dan mengangguk. Ia tarik tubuhku sampai berdiri. Mas Ricky berjongkok di depan kakiku.

“Angkat kaki kananmu, Cha,” perintahnya lagi sambil tersenyum menatapku. “Sekarang kaki kiri.”

Tepat sebelum ia menarik celana dalam untuk menutupi sempurna kewanitaanku, ia mengecupnya lembut. Iya, dia kecup area di bawah pusarku. 

“Sudah, Mas. Celana pendeknya aku pakai sendiri aja!” sergahku merasa risih, mengambil celana baby doll dari tangannya.

“Eits, tidak boleh! Kemarin aku sakit, kamu merawat aku. Sekarang kamu sakit, aku yang merawatmu. Ayo, angkat lagi kakimu!” tolaknya melempar senyum hangat.

Apa-apaan ini? Makhluk macam apa sebenarnya Mas Ricky? Kenapa dia bisa begitu perhatian padaku, tetapi juga menyebar perhatian pada yang lain?

“Udah, kamu tiduran dulu. Bentar ya, aku buatin teh panasnya.” Mas Ricky langsung keluar kamar menuju dapur.

Kami tinggal di rumah yang kecil. Hanya tipe 36 saja. Aku bisa mendengar suaranya sedang membuat teh di dapur.

Mataku berkaca-kaca. Ada perasaan bersalah karena sudah mengumpatnya di dalam hati, sementara dia begitu perhatian seperti ini.

Namun, ada juga sebagian hatiku yang masih tidak terima ia menyimpan foto-foto tersebut. Akan tetapi, tidak mungkin juga aku tanyakan perihal foto itu sekarang, bukan? Di saat ia sedang sangat perhatian seperti ini.

Aku semakin bingung! Tolong aku! Apa yang harus aku lakukan?

***

“Terus gimana akhirnya?” Mata Mbak Lelly memicing, penasaran dengan akhir cerita semalam.

Dia adalah teman satu kantorku. Kami bekerja di sebuah dealer mobil buatan Korea sebagai sales counter. Mbak Lelly sudah menikah lima tahun lebih dulu daripada aku. Nasehat-nasehatnya sering membantuku melewati banyak masalah.

“Aku diam aja, Mbak. Bingung aku, tuh. Cuman, gila banget! Duh, foto-foto si Tanti itu menjijikkan banget!” ratapku menggosok mata dengan kedua jari tangan.

“Jijik gimana?” Mbak Lelly semakin penasaran.

“Ya gitu itu! Tau nggak, sih, Mbak? Ada, loh, foto dia di atas kasur, nggak pake baju, terus kakinya dibuka gitu! Amit-amit! Mual aku, Mbak!”

“Hah? Jadi kayak pameran gitu? Pameran itunya?” pekik Mbak Lelly menolak untuk percaya.

“Iya! Makanya itu! Bayangin gimana aku nggak mau jerit-jerit semalam!” sahutku memijit kening yang mendadak terasa pening.

“Dih, Cha! Kamu liat itunya si Tanti berarti?” Mbak Lelly mendelik lalu menutup mulut dengan tangannya sendiri.

Mendadak, perutku kembali terasa diaduk-aduk. Mual mendera, tidak bisa tertahankan.

“Aku mau muntah!” jeritku berlari ke kamar mandi.

Apa aku ini kualat kepada Mas Ricky karena semalam pura-pura mual saat diajak bercinta? Sejak tadi pagi sampai sekarang menjelang siang, sudah tiga kali aku mau muntah sungguhan.

Anehnya, tidak ada yang bisa aku keluarkan. Sarapan tadi pagi masih bersarang di lambung. Hanya rasa mual saja yang terus mendera.

Selesai mencoba untuk muntah, aku berkaca di wastafel. Wajahku terlihat sangat pucat. Padahal, make up yang aku pakai cukup tebal.

“Cha, kapan kamu terakhir datang bulan?” tanya Mbak Lelly begitu aku kembali duduk di meja counter.

Aku terdiam, berusaha mengingat terakhir kali aku kedatangan tamu. Duh, kenapa aku jadi lupa?

“Aku nggak inget, Mbak. Kayaknya udah dua bulan ini, sih. Kenapa?”

Mbak Lelly tersenyum geli. “Udah, sana ke apotek seberang kantor. Beli test pack. Kayaknya aku mau punya keponakan, nih!”

Apa????

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status