Share

Menikah Dengan Bocah
Menikah Dengan Bocah
Author: Ina Qirana

Bab 1

MENIKAH DENGAN BO-CAH 1

"Mas, mau sekarang apa besok?" tanya Gia sambil membuka k*ncing b4ju sebelah atas.

Seketika aku menegak ludah, Anggia yang baru satu hari ini menjadi istriku kenapa begitu agresif? padahal usianya baru dua puluh tahun

Gadis itu dijodohkan denganku oleh orang tua kami, padahal usiaku sudah tiga puluh lima tahun, tentu sangatlah jauh perbedaannya.

Dan yang membuatku heran gadis itu mau-mau saja padahal aku tak maksa untuk menerima lamaranku, katanya ia dinikahkan karena tak memiliki biaya untuk sekolah.

"Ja-jangan dulu dong sabar."

"Yakin Mas bisa sabar?" 

Kurang ajar sekali bo,cah itu malah membuka kancing bajunya yang barisan kedua, alhasil gunung kembarnya sedikit menyembul terlihat oleh mataku.

"Aku capek, Gia, besok aja ya." Aku merebahkan diri dengan malas.

"Alaah, baru gitu aja capek, percaya sama Eneng capeknya nanti pasti ilang kalau udah dicoba." 

Buset dia maksa.

Jujur, bukan aku tak n*fsu melihatnya. Namun, di mataku masih terbayang Delia, mantan kekasihku.

"Emang kamu siap? malam pertama itu katanya sakit kok kamu ngebet gini, jangan-jangan udah pernah, hayoo." Aku menujuk wajahnya sambil menyeringai.

"Dih, sotoy banget sih, Eneng tuh cuma jalankan kewajiban, lagian kita udah satu jam diem-dieman di kamar, Mas mau aku jadi lumutan?" jawabnya tengil.

"Mana ada orang lumutan, ngadi-ngadi bilang aja kebelet, ayo ngaku udah pernah berapa kali begituan?" tanyaku sambil bercanda.

"Belum pernah, Mas, makanya coba dulu masih ori apa engga, kalau udah jebol aku siap dipulangin ke Emak." Lalu ia terkekeh.

"Ah males besok aja." Aku pun tidur dengan telungkup.

Bukan menghindar, lebih tepatnya menahan gejolak yang mulai panas, bisa berabe kalau ia tahu burung perkututku sudah on time.

Mau menyentuhnya pun rasanya canggung, aku berasa psikop*t yang menc*buli gadis di bawah umur, tapi kalau lama-lama dianggurin sayang juga, duh serba salah!

"Beneran besok ya? awas kalau besok aku masih dianggurin juga, nanti aku laporin sama Mama." 

Dih bocah ngancam, kaya berani aja ngadu ke mertua.

Satu jam kemudian terdengar suara dengkuran, rupanya tuh bocah sudah pules, syukurlah aku bisa leluasa mainin hape, kepo juga dengan Delia, seperti apa kabar perempuan itu setelah aku menikah dengan perempuan lain.

Ah sial! Rupanya pernikahanku tak berpengaruh apa-apa pada perasaannya, buktinya ia malah buat status mesra dengan suaminya.

Bisa dikatakan selama lima tahun aku menjaga jodoh orang, lima tahun pacaran denganku tapi Delia nikahnya sama orang lain, kan ngenes!

****

"Alaan!"

Alaan!"

Aku menggeliat kala mendengar suara cempreng memanggil-manggil, itu pasti mama. Oh Tuhan entah ada masalah apa lagi hingga sepagi ini aku harus mendengar ocehannya.

"Baru bangun kamu ya?! Ga salat subuh?!" 

Mama sudah masuk ke dalam kamar, berdiri berkacak pinggang lengkap dengan spatula kayu bertengger di tangan kanannya.

"Salat kok, terus tidur lagi, emang ngapa? pagi-pagi udah teriak, berisik!" Aku menutup wajah menggunakannya selimut dan mencoba kembali terpejam.

Namun, mama malah menarik selimutku sekuat tenaga.

"Astaghfirullah, Alaan!" pekik mama dengan mata membulat.

Aku berdecak kesal. "Apaan lagi sih?"

"Kamu ngapain pakai kolor warna pink hah?!" 

Aku langsung menundukkan wajah, baru teringat jika pakaian Gia memang disimpan satu lemari dengan pakaianku, ini pasti salah mataku karena mengantuk.

"Ketuker, Ma." Aku cengengesan.

"Heuh dasar!" Mama menghampiri lalu duduk di kasur bersamaku.

"Beneran kamu nuduh Gia ga suci lagi?!" tanya mama, suaranya memang pelan tapi tetap saja menyeramkan.

"Ah kata siapa?" Aku mencoba mengelak.

"Ya kata Gia lah kata siapa lagi. Semalam kamu ga mau menyentuhnya karena curiga 'kan kalau dia udah ga suci?!" Mama menatapku seperti seorang penyidik.

"Becanda itu mah, Gia aja yang baper," jawabku sambil nyengir.

"Becandanya ga lucu, Alan! Dengar ya, Mama itu udah tua dan pengalaman, jadi bisa membedakan mana gadis yang masih perawan dan engga, kamu jangan bod*h ya jadi laki!"

"Dari pada si Delia itu ya mending Gia, dia terhormat, pergaulannya ga sebebas mantanmu itu, dan yang paling Mama suka dia itu ga punya mantan!"

Mama nyerocos sepanjang rel kereta di dekat telinga, lama-lama panas juga, entah kapan ia berhenti bicara.

"Coba Si Delia, dari bentuk wajahnya aja Mama yakin dia udah ga per4wan, untung dia ga jadi nikah sama kamu, kalau jadi kamu rugi!" ujar mama lagi dengan mata mendelik.

Ah mama tak tahu saja jika aku yang membobol keg4disan Delia, eh!

"Pokoknya malam ini jalankan tugasmu sebagai suami, kalau kamu masih juga anggurin Gia, lihat aja Mama coret kamu dari daftar warisan," gerutu mama.

"Iya iya, itu urusan Alan, Mama ga usah ikut campur, pokoknya Mama tahu Gia udah ngandung cucu aja," jawabku mencoba menghalau ocehannya

Mama keluar aku kembali tarik selimut, ternyata bocah itu tak main-main, dia beneran mengadu pada mama, kukira gadis desa sepertinya tipe orang pendiam ternyata aku salah, dia sebelas dua belas dengan mama.

Aku menyibak jendela, ternyata pagi ini diguyur hujan pantas saja cuaca terasa dingin, mana kipas angin di depan sana menyala.

Ponselku bergetar sejak tadi, rupanya banyak pesan masuk dari teman-teman kantor.

[Penganten baru diguyur hujan nih, mantap broo, abis berapa ronde]

[Gimana ga mantep nikahnya sama abegeh]

[Beruntung banget jadi elu, Lan, dapet yang unyu-unyu]

Ah sial, grup kantor semua isi pesannya mengejekku, mereka tak tahu saja aku belum menyentuh bocah itu sama sekali, bukan tak napsu tapi tak tega. Mama sih malah jodohkan aku sama bocah.

"Alaan!"

"Alaan!"

Lengkingan suara mama terdengar lagi.

"Iya!'

"Genteng yang di dapur bocor, lu naek sana ke atap, benerin!" 

Aku berdecak kesal, sedang enak-enakan tidur malah disuruh manjat genteng, padahal barusan nyuruh manjat Gia, ehh.

"Iya bentar lagi nelpon orang kantor ini!" Aku terpaksa bohong karena malas, nanti juga ujung-ujungnya mama yang naek ke genteng benerin sendiri.

Rasa penasaranku tak mau berhenti untuk mengorek informasi tentang Delia, mantanku itu entah kini sedang apa dengan suaminya.

Tuhan, yang berat itu bukan rindu tapi move on.

'Sendirian hanya ditemani hujan'

Seperti itu caption unggahan Delia lengkap dengan Poto latar belakang kamar jendelanya yang menghadap keluar, rintik hujan itu jelas tertangkap di kamera.

Jemariku gatal sekali ingin menulis komentar, berulang kali aku mengetik lalu menghapusnya lagi, hingga akhirnya ga jadi.

Sudah satu jam berada di kamar dan waktunya aku keluar menemui mama, dari pada mengingat Delia bikin sakit hati saja.

"Ma, gentengnya udah dibenerin?" tanyaku sambil nyomot bakwan.

"Udah!" jawab mama membentak.

"Mama yang naek?" tanyaku dengan mulut penuh.

"Yang benerin genteng itu Gia, istri kamu, Alan, kebangetan kamu ya, disuruh benerin genteng malah diem aja di kamar kayak ayam mau beranak," cerocos mama.

Aku melirik Gia yang sedang asyik makan gorengan dengan cabe hijau, ia tersenyum padaku meski sedang merasa kepedasan.

"Beneran, Gi?"

"Iya, Mas, aku yang benerin."

Ya Tuhan aku malu bukan main.

****

Aku mencoba mengatur napas saat melihat Gia masuk kamar mengenakan dres putih menerawang, lekukan tubuhnya terlihat indah dipandang.

Gia tersenyum sambil mendekat ke arahku, membuat dadaku kian bertalu-talu.

"Mas," sapanya sambil tersenyum.

Aku mendekatkan tubuh padanya, sekarang ada aroma parfum yang menguar mungkin ini pemberian dari mama, soalnya kalau malam kemarin aromanya lain lagi.

"Mas tunggu." Gia menahan wajahku menggunakan telapak tangannya.

"Kenapa sih?" tanyaku risih, kemarin ngebet banget sekarang jual mahal.

"Kita ga bisa lakuin itu sekarang."

Rahangku mengeras seketika, entahlah bocah ini maunya apa, atau jangan-jangan benar ia sudah pernah dij4mah pria hingga kepercayaan dirinya telah hilang.

"Kenapa emangnya?" tanyaku jengkel.

"Aku ... aku ...."

"Kenapaaa?!" tanyaku lagi dengan nada sedikit penekanan.

"Kayaknya keluar haid deh, Mas."

"Kampret!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status