Share

Bab 6

MENIKAH DENGAN BOCAH 6

 

 

Sepanjang motor melaju Gia duduk begitu jauh dari tubuhku, padahal tadi pas mau berangkat dia langsung nempel kayak perangko, sekarang aku tak ubahnya seperti tukang ojek.

 

 

"Mas aja gih yang ke dalam," ujar Gia saat melepas helm.

 

 

"Kamu marah? yang tadi itu bukan siapa-siapa aku, Gi." Aku terpaksa merayunya dulu.

 

 

Entahlah aku risih saja melihatnya cemberut begitu, aku lebih suka Gia yang periang dan ceria.

 

 

"Mantan kamu?" tanya Gia tanpa menoleh ke arahku.

 

 

"Iya."

 

 

Gia terlihat menghela napas.

 

 

"Kayaknya perempuan itu masih cinta sama Mas." Wajah Gia langsung tak bergairah.

 

 

Sejujurnya bukan hanya dia, tapi aku pun sama masih mencintainya, hanya saja aku lebih memilih dewasa dan menerima kenyataan.

 

 

"Dia udah punya suami."

 

 

Seketika senyum Gia mengembang.

 

 

"Oh udah nikah, kirain janda." Gia terkekeh.

 

 

"Dih." Aku langsung melongo, secepat itu mood Gia kembali?

 

 

"Ya udah yuk masuk, aku pilihin kamu baju ya, tadi Mama ngasih duit," bisikku ke dekat telinganya.

 

 

Wajah Gia makin cerah.

 

 

Aku mengerlingkan mata, mau perempuan kota atau desa matanya langsung melek kalau lihat duit.

 

 

"Ya ampun, baik banget mama mertuaku itu, semoga panjang umur dan sehat selalu." Gia berdoa.

 

 

"Aamiin."

 

 

Gadis itu seperti kalap ketika memilih baju, ini mau itu mau, mana setiap yang ia tunjuk harganya selangit, bisa-bisa tabunganku kebobolan ini.

 

 

"Mas aku boleh beliin baju buat adik sama kakakku ga?" tanya Gia.

 

 

Aku menelan Saliva, bajunya sendiri saja begitu banyak, lah ini malah mau membelikan saudaranya.

 

 

"Bo-boleh." Aku garuk-garuk kepala.

 

 

"Thank you." Gia tersenyum manis.

 

 

 

*

 

 

"Waah banyak banget belanjaannya, Gi?" tanya mama dengan mata terpukau.

 

 

Aku mendelik ke arahnya, duit pemberian mama tak seberapa, terpaksa tabunganku yang dikuras.

 

 

"Gia juga beliin ini buat Mama." Gia menyerahkan satu kresek putih.

 

 

"Apaan ini, Gi?" tanya mama sambil melihat isi kresek itu.

 

 

"Gamis, Ma, dipake ya."

 

 

Aku masuk ke dalam meninggalkan dua wanita yang sedang dimabuk belanjaan itu, aku sungguh masih penasaran, sebenarnya apa alasan Delia menikah dengan orang lain?

 

 

Terlebih dahulu celingukan ke luar, di rasa aman aku langsung menelpon nomor Delia yang kini kuberi nama Dadang.

 

 

"Halo."

 

 

Suara lembut yang dulu selalu kurindukan terdengar di ujung sana.

 

 

"Aku ganggu ga?" tanyaku agak sungkan.

 

 

"Engga, kamu kenapa nelpon? kangen sama aku?" tanya Delia.

 

 

Nada suaranya sedikit manja.

 

 

"Aku masih penasaran, Del, sebenarnya kamu ninggalin aku nikah karena alasan apa?"

 

 

Pertanyaan ini akhirnya berani aku lontarkan setelah sekian bulan, dahulu aku memang tak memiliki keberanian, jangankan bertanya melihat dan mendengar kabarnya pun aku tak kuasa.

 

 

"Kamu beneran mau tahu? tapi jangan marah ya, dan jangan percaya sama aku," jawabnya membuatku heran.

 

 

"Ya udah cepet katakan," ujarku sedikit tak sabar.

 

 

Takut saja Gia atau mama masuk ke kamar.

 

 

"Kamu ingat malam ketika temenku ulang tahun dan aku sendiri pergi ke pesta itu?"

 

 

Memoriku berputar pada kejadian beberapa bulan silam, benar memang waktu itu Delia pernah mengajakku ke sebuah pesta. Namun, aku menolak karena sedang tak enak badan.

 

 

"Iya inget, emang ada apa?"

 

 

Aku semakin dilanda penasaran.

 

 

"Malam itu aku minum terlalui banyak, Lan." Delia terisak.

 

 

Dadaku mulai berdegup kencang, sebenarnya ada apa dengan Delia?

 

 

"Ya terus?" 

 

 

Kudengar Delia berusaha meredam tangisannya.

 

 

"Aku mabuk berat, terus diantar seorang lelaki, dan lelaki itu yang sekarang nikahin aku, Lan." Gia menangis di sebrang sana.

 

 

Tetapi aku belum puas dengan semua ceritanya.

 

 

"Kamu diapain sama dia, Del? kamu diperk*sa?" tanyaku dengan suara agak kencang

 

 

Seketika aku membekap mulut sendiri karena takut mama dan Gia mendengar.

 

 

"Ga tahu, Lan, tiba-tiba aja pas tengah malam aku digrebek warga di sebuah rumah sama lelaki itu." Delia terisak.

 

 

Badanku seketika lemas, pantas saja baik Delia atau pun kedua orang tuanya tak ada yang berani bicara ataupun meminta maaf padaku selaku pacar Delia.

 

 

Mungkin Om Haris dan Tante Candra malu dengan kelakuan anaknya.

 

 

 

"Digrebek? digrebek di mana, Del? kamu kok tega sih sama aku?" hampir saja aku menangis kalau tak malu.

 

 

Bukan menjawab Delia malah menangis sesenggukan.

 

 

"Di sebuah rumah, Lan, dia bawa aku ke rumahnya," jawab Delia sambil terisak.

 

 

Tubuhku bergetar, darahku terasa panas setelah mengetahui hal sebenarnya, ini bukan pengkhianatan tapi bisa jadi Delia dijebak.

 

 

"Waktu itu mama sama papa aku terpaksa menikahkan kami, demi nama baik keluarga, karena papa merasa malu kalau aku dinikahkan sama kamu, Lan," lanjut Delia dengan suara tersedu-sedu.

 

 

Kepalan tanganku meninju kasur beberapa kali, andai waktu itu Delia dan keluarganya bicara yang sebenarnya, tentu aku akan berpikir ulang untuk meninggalkannya.

 

 

"Sekarang aku tanya, kamu sama laki-laki itu melakukan itu atau engga hah?!" tanyaku dengan sedikit teriak.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status