Share

Bab 7

Suara pintu terdengar dibuka dari luar, duh gawat, Gia malah masuk ke kamar, padahal aku belum selesai bicara, Delia juga malah sibuk menangis bukan cepat bicara, dasar perempuan.

 

"Lan, kamu marah sama siapa?" Ternyata mama yang masuk, malah tambah berabe kalau begini, matanya bisa mengeluarkan cahaya jika tahu aku telponan dengan Delia.

 

"Emm ... Ini, Ma, temen kantorku, Mama keluar dulu aku lagi nelpon."

 

"Emang temen kantormu ada yang namanya Dadang?" Mama menatap layar ponsel dan wajahku bergantian, entah kenapa perempuan satu ini bawaannya curiga terus.

 

"Ya ada lah, Ma, udah sana sana keluar, ganggu aja ah.",

 

"Oh berani kamu ya ngusir Mama, minta dikutuk hah?!"

 

Aku menggaruk kepala yang tak gatal, menghadapi emak emak emang serba salah.

 

"Ya udah kutuk aja, Ma, kutuk jadi orang kaya!"

 

Mama hanya mendelik sambil mencebikkan mulutnya lalu keluar dan menutup pintu kamarku, tetapi entah kenapa perasaanku mengatakan jika mama belum pergi dan menguping pembicaraanku.

 

Sengaja aku berdiri dibalik pintu tanpa bicara cukup lama, lalu kubuka pintu dengan satu kali hentakan.

 

"Eh copot! Copot!" 

 

Mama hampir saja tersungkur kalau tidak kutahan, benar saja dia menguping dibalik pintu, untung dia mamaku kalau bukan sudah aku karungin.

 

"Mama ngapain sih? Nguping Alan?"

 

"Ah engga, siapa yang nguping, ini lagi liatin pintu kamarmu, udah pada dimakan rayap itu, harus diganti jelek nggak enak dilihat, udah ah Mama mau ke dapur."

 

Perempuan yang sudah mengandungku itu akhirnya pergi, lalu bergegas kembali masuk ke dalam kamar, ternyata Delia sudah mematikan panggilannya, karena rasa penasaran melanda kembali kutelepon perempuan itu, ada rasa bahagia ketika dia mengangkatnya.

 

"Halo, Lan, Ibu kamu marah ya?"

 

"Ahh, Ibuku udah biasa marah marah, Del, jadi gimana? Lanjutin ya ceritanya aku penasaran, walaupun kita cuma masa lalu tapi apa aku salah kalau mau mengetahui sebenarnya?"

 

"Iya, Lan, boleh."

 

"Jadi gimana? Apa malam itu kamu begituan sama dia?"

 

Sakit sekali menanyakan hal itu, tapi bagaimana lagi dari pada mati penasaran lebih baik kutanyakan.

 

"Aku nggak tahu, Lan, yang kutahu pas sadar pakaianku udah lepas semua."

 

"Aneh banget sih, masa pakai lepas semua tapi nggak bisa ngerasain enaknya," sahutku karena memang tak masuk akal.

 

"Aku sih curiga dia memang jebak aku, secara ada temenku yang bilang kalau dia menyukaiku dari dulu secara diam diam."

 

Aku langsung meninju kasur, ingin sekali mengh4jar suaminya Delia itu, berani beraninya dia merebut kekasihku, kalau dia tak melakukan itu mungkin sekarang kami sudah menikah dan bahagia, hidup normal tanpa merasa canggung pada istri sendiri, dasar lelaki k4mpr3t!

 

"Terus, kamu bahagia nikah sama dia?"

 

Ah, jangan sampai Delia mengatakan iya, bisa makin remuk hatiku ini, bagaimana pun juga aku belum merelakan dia sepenuhnya walaupun kami sudah sama sama menikah.

 

"Entahlah, Lan, kebahagiaan aku cuma kamu." Dia terdengar menangis terisak, ya Tuhan tragis sekali kisah cinta kami.

 

Maafin aku, Gi, kalau kamu tahu aku telponan dengan mantan pasti kamu cemberut lagi kayak tadi, segala gerobak somay mau dibeli.

 

"Harusnya waktu itu kamu cerita sama aku, Del, bukan langsung maen nikah aja sama tuh laki."

 

Gemas juga pada Delia, kenapa kelakuannya sudah seperti artis sinetron FTV, setidaknya jika dia cerita mungkin akan ada solusi lain.

 

"Ya gimana lagi, Lan, aku juga panik, keluargaku dalam tekanan dan ketakutan, mungkin kamu bakal Nerima, tapi gimana sama keluarga kamu, pastinya mereka nggak akan mau nerima, percuma juga aku ngomong, Lan." Dia menjelaskan sambil terisak.

 

Tapi benar juga apa katanya, ibu pasti akan marah marah satu Minggu kalau sampai aku dan Delia menikah setelah kasus penggerebekan itu terjadi, Tuhan, apa mungkin jalannya harus seperti ini? Delia bukan jodohku tapi Gia lah yang akan jadi jodohku, tetapi kenapa rasanya sulit sekali berdamai dengan keadaan ini.

 

"Ya sudah, Del, jangan nangis aku jadi ikutan sedih."

 

Tidak ada jalan lain selain ikhlas pada takdir masing masing, lagi pula Gia tidak terlalu buruk untuk jadi istriku, apalagi dia masih per4wan, banyak sekali nilai plus dari dirinya, mungkin aku akan belajar mencintai Gia seperti aku mencintai Delia.

 

"Aku ... Aku ...."

 

"Aku kenapa, Del?"

 

Perempuan itu ragu ragu mengatakan sesuatu.

 

"Aku masih cinta sama kamu, Lan ...." Isakan perempuan itu terdengar pilu, andai bisa kupeluk mungkin sudah kupeluk raganya itu seerat mungkin.

 

"Ya gimana lagi, Del, sekarang kita udah punya pasangan masing masing, cinta kita udah nggak berguna lagi."

 

Aku pun rasanya ingin menangis, tetapi ya sudahlah, ditangisi pun tidak akan mengembalikan keadaan.

 

"Lan, apa kamu cinta sama istrimu itu?"

 

Duh pertanyaan yang sulit.

 

"Kamu kok nanya gitu sih, Del, udahlah nggak usah ditanya kalau soal itu."

 

"Apa kamu bahagia dengan rumah tanggamu sekarang, Lan?"

 

Aku hanya bisa mondar mandir tanpa berkata kata, mau bilang bahagia kenyataannya hatiku belum sebahagia itu.

 

"Aku nggak tahu, Del, cuma menjalani takdir aja, semoga aja kita bahagia walau pun tanpa hidup bersama, Del, sudah ya nggak usah nangis, mending kamu masak gih buat suamimu."

 

Dia terdengar terkekeh walau isakannya masih ada.

 

"Aku pengennya masakin kamu, Lan?"

 

Dia makin ngaco saja, walau pun aku sempat patah hati karenanya tetapi masih bisa berpikir waras.

 

"Lan, aku masih cinta sama kamu, bagaimana kalau kita menjalani hubungan lagi diam diam di belakang? Kalau pun ketahuan aku nggak peduli toh aku nggak cinta sama dia, ku mau kan?"

 

Eh buset, setan apa yang merasuki Delia, kenapa dia bicara seperti itu? Padahal aku sudah niat mau tobat?

 

"Del, kamu jangan gitu ah, kamu mau nanti kita viral di tok tok gara gara selingkuh?"

 

"Viral kan kalau ketahuan, Lan, ya jangan sampai ketahuan dong."

 

Waduh, nih perempuan makin nekat juga.

 

"Enggak tahu ah, Del, aku nggak mau macem macem, sudah dulu ya, assalamualaikum."

 

Kumatikan panggilan meski pun Delia masih ingin bicara, kalau terus diladeni serem juga.

 

Perutku teras lapar lagi, aku pun keluar kamar. Namun, berapa terkejutnya saat ada seseorang yang berdiri di depan pintu kamarku, dia adalah Gia, matanya menatapku penuh kecewa, setelah itu dia melenggang pergi meninggalkanku, Ya Tuhan, apa dia mendengar percakapanku tadi dengan Delia? Duh sepertinya iya.

 

Aku pun berjalan mengikutinya.

 

"Gi, kamu marah lagi?"

 

"Engga!" Jawabnya dengan tegas, dia pun mengambil air minum sampai segelas penuh lalu meneguknya sampai habis.

Ya dia memang marah. Tapi, kenapa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status