Share

Menikah Dengan Majikan
Menikah Dengan Majikan
Author: Chew vha

Satu

Author: Chew vha
last update Last Updated: 2022-06-08 16:02:16

"Kamu yakin majikan kamu suka sama perempuan?" tanya Murni padaku. 

Aku berpikir sejenak, benar juga kata Murni. Semenjak bekerja di rumah mas Brian, aku sama sekali tidak pernah melihat dia bersama wanita. Wajah tampan, tapi tidak punya pacar itu mustahil. Kecuali kalau mas Brian ... ah, masa iya dia menyukai sesama jenis.

"Oi, Fit." Murni mengguncangkan tubuhku.

"Eh, apa Mur?"

"Itu kayanya mobil majikan kamu udah pulang."

Aku melongok ke luar jendela rumah majikan Murni. Hah, iya, bener itu mas Brian sudah pulang. Tumben dia pulang cepat, biasanya sore atau malam. Aku bergegas pamit, lalu mempercepat langkah untuk cepat sampai di rumah mas Brian.

Napas ini masih tersengal-sengal saat memasuki halaman besar rumah majikanku. Astaga, pasti dia mengomel lagi seperti kemarin sore. 

"Mas," ujarku.

"Dari mana kamu?" tanyanya sambil melempar jas dan dasinya padaku.

"Rumah Murni, Mas." Aku menjawab sekenanya karena sibuk mengambil jas dan dasi yang dia lempar tadi.

Sejujurnya suka kesel dengan sikap semena-mena mas Brian. Apa dia tidak punya perasaan sampai tega memperlakukan aku seenak dirinya. Sadar, sih, aku memang pembantu. 

"Kok, udah pulang, sih, Mas?"

"Kenapa? Nggak boleh?"

Wajah pria di hadapanku bagaikan macan yang akan mengamuk. Bener juga, bebas saja jika memang mas Brian mau jam berapa saja. Itu hak dia.

Aku hanya bisa tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih ini. 

"Kemarin kata kepala satpam, kamu pergi sama Beben? Ke mana?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

"Ke pasar, Mas. Stok bahan makanan abis, Bule minta aku ke pasar. Eh, Beben mau nganterin. Rezeki nggak boleh ditolak."

"Lain kali bisa telpon saya."

"Mas mau pulang, kalau aku telepon?"

"Nggak."

Sebelum masuk ke kamarnya, senyum mengejek terlihat dari sudut bibir mempesona majikanku. Terus aja bikin kesel, sehari tidak membuat aku jengkel sepertinya tidak bisa.

Aku melangkah ke dapur. Bulek sudah menyiapkan masakan kesukaan mas Brian. Sayur asem, ikan teri dicabein plus lalapan. Majikanku ini tidak suka makan di luar, dari dulu kata Bulek, mas Brian selalu memilih makan di rumah. Tentunya masakan Bulek.

"Kamu yakin nggak mau kuliah, Fit?" tanya Bulek.

"Mau, sih. Biayanya gimana?" Aku bertanya balik pada Bulek. Uang tabungan selama bekerja di rumah ini belum terkumpul. Tidak mungkin minta Bulek membiayai kuliah juga.

Selama ini Bulek sudah baik sekali mengajak aku tinggal dan bekerja di rumah besar ini. Sejak lulus sekolah, aku lebih memilih bekerja di rumah ini membantu Bulek.

Ucapan Murni ada benarnya, apa iya mas Brian tidak suka dengan wanita? Hmm ... bukannya Bulek semalam bilang kalau mas Brian mau dijodohkan kedua orang tuanya?

Mas Brian datang, tampang coolnya terkadang membuat aku berangan-angan menjadi istrinya. 

"Fit, Bulek mau gosok, ambilkan makan buat Mas Brian."

"Iya."

"Fit, kamu sama Bulek sudah makan belum?" tanya mas Brian sambil menyantap sayur asem. 

"Bulek sudah tadi, kalau aku, sih sudah makan. Makan bakso ditraktir Murni." 

Mas Brian tidak berkomentar lagi. Padahal, aku dengan antusias menceritakan keseruan saat makan bakso dengan Murni. 

"Mas, aku cerita, loh. Kok, nggak komentar?" 

"Males, mengomentari cerita kamu. Ujung-ujungnya cerita tentang gosip pembantu A, B sampe C. Emang aku nggak ada kerjaan." Wajah Mas Brian asem sama seperti sayur yang disajikan Bulek, yaitu sayur asem. 

"Fit, kamu jangan gangguin Mas Brian. Bantuin Bulek sini gosok," panggil Bulek Darmi dari ruang gosok. 

Aku melangkah gontai meninggalkan mas Brian yang masih asik melahap sayur asem. Aku berhenti sejenak, membalikkan badan berharap ada adegan sinetron FTV. Yah ... mas Brian tetap asik dengan makanannya, masa aku kalah sama masakan Bulek?

Kenapa tidak menahan aku? Ah, melihat aku saja tidak. Kan, aku mau lama-lama berbincang. Dasar majikan kaku seperti kanebo kering. Pantesan bujang lapuk. 

Bulek selalu bilang harus sadar diri. Kami disini hanya pembantu, jangan berharap seperti sinetron FTV, majikan menikah dengan pembantu.

Jangan di kasih hati minta jantung. Jangan berharap upik abu jadi Cinderella . Namun, berharap boleh, kan, kali aja Tuhan mendengar. Eh ... jadi kenyataan. Amin. 

Bulek Darmi memang benar, orang tua mas Brian baik dan sayang karena aku bekerja di rumah mereka. Bukan karena mereka mau menjadikan aku menantu. Mana ada, sih ceritanya seperti itu. Itu hanya ada khayalanku saja.

Selama menjadi pembantu di rumah Mas Brian, aku merasa kelurganya sangat baik. Bulek Darmi sudah bekerja selama tiga puluh tahun di rumah ini. Sejak mas Brian berusia dua tahun. Maka itu, mas Brian sayang sekali sama Bulek. Catat, ya, sayangnya sama Bulek, bukan sama aku. 

***

Sengaja aku duduk di tepi kolam sambil memainkan ponsel. Suasana dingin menusuk tulang, angin semilir membuat susana tambah dingin. Andai saja ada yang menghangatkan. 

Sesekali aku selfi, kemudian banyak diserbu para netizen yang maha benar. Lalu, aku tertawa kecil melihat video lucu yang sedang viral. Hanya kegiatan seperti itu aku lakukan saat malam tiba. Pastinya tidak lupa menghayal tentang pangeran berkuda putih. 

"Ngapain malam-malam di sini? Mau jadi ikan duyung kamu duduk di pinggir kolam?" tanya mulut usil mas Brian yang sudah ada di belakangku. 

"Iseng aja, Mas," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. 

"Masuk sana! Aku lapar, buatin indomie telor." Itu perintah minta bikin mie apa perintah nyuruh mengosek kamar mandi? Galak bener. 

Aku hanya menatap datar mas Brian yang terlihat tampan walau hanya mengenakan kaos putih dan celana training. Dia berdiri di belakangku dengan kedua tangan berada di saku celana. 

"Cepet! Kalo disuruh majikan cepet jalan!" teriak Mas Brian

"Biasa aja kali, Mas, nggak usah pake urat," ucapku kemudian melangkah malas ke arah dapur. 

Mas Brian menarik tanganku, ah ... Mas Brian bikin hati deg-deg ser aja nih. Aku melepaskan tangan mas Brian, lalu mengentakkan kaki. 

"Apalagi?" tanyaku membalikan badan. 

"Aku nggak minta make urat, tapi minta pake telur," ucapnya lagi. 

"Apa sih mas, siapa juga mau make urat." Aku terkekeh mendengar ucapan mas Brian. 

"Tadi kamu bilang nggak usah pake urat?" tanyanya terlihat konyol. 

Hah, dia pikir urat bakso. Lucu melihat tampang konyol majikanku itu.

Indomie sudah tersaji di meja makan. Sengaja kubuat agak medok karena si majikan kece suka yang mateng.

"Nih, Mas. Indomie pake telur bukan pake urat," ucapku sambil memberinya sendok. 

Ketawa dikit boleh, ya, punya majikan, kok, oleng. Dengan lahap dia memakannya. 

"Mas, kata Bulek, Mas mau dijodohin ya? " 

Mas Brian tersedak mendengar pertanyaan yang aku lontarkan.

"Kata siapa?" Dia menunjuk dengan dagunya seolah memastikan kembali apa yang aku katakan. 

"Tadi aku bilang, kan, kata Bulek, " jawabku sambil duduk menatap wajah Mas Brian.

Tanpa sengaja netra kami saling bertemu. Aku langsung memalingkan wajah ke segala arah. Takut majikanku naksir bisa berabe.

"Bulek dari mana tahunya?" tanya Mas Brian lagi padaku. 

"Dari Ibu dan Bapaknya Mas, lah, masa dari tetangga," jawabku dengan masih penuh rasa penasaran. 

Apa cowok setampan mas Brian tidak laku, sampe harus dicarikan jodoh? Apa jangan-jangan dia tidak suka wanita? Ih ... aku bergidik, jadi geli sendiri membayangkannya.

Mas Brian bergeming, seakan enggan menjawab pertanyaan yang aku lontarkan. Namun, aku menangkap aroma tidak enak dari tatapannya. Dia menatap dengan tatapan ada udang di balik batu.

Sudah hafal sama gerak geriknya kalo ada maunya. Secara sudah lama aku jadi pembantunya dan tahu watak mas Brian. 

Mas Brian menghela napas dan mengulum senyum padaku. Bergeser membenarkan posisi duduk lalu menompang dagu di tangganya.

"Aku udah punya calon sendiri, jadi jangan dengerin ucapan Mama dan Papa," ucap Mas Brian. 

Kemudian tangannya asik memutar-mutar garpu dalam mangkok. Sesekali netra kami bertemu. Aw ... yak bisa aku pungkiri pesonanya membuat jantung ini berdegup kencang. Mau copot bahkan. 

"Siapa Mas?" tanyaku ingin tahu. 

Aku beranjak dari duduk mengambil air hangat. Duduk kembali sambil minum dan kembali pada topik utama. Masih dengan rasa penasaran yang paling besar. 

"Kamu!" Jawab Mas Brian sambil mencondongkan wajahnya ke arahku. 

Mas aku ge-er loh, jangan dekat-deket. 

Tanpa aba-aba aku menyemburkan air ke wajah mas Brian karena syok. Agh .... serius? Mimpikah? Masalahnya ini bakal jadi masalah karena semburan air tadi membasahi wajah tampan majikanku.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Tujuh

    “Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Enam

    Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Lima

    Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Empat

    Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Tiga

    Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Dua

    Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status