Daniel duduk di kursi samping Alicia dengan wajah kaku. Tangannya menggenggam lutut, jelas sekali dia tidak rileks. “Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di kota besar kayak gini.” Alicia membuka percakapan dengan nada ceria. “Rasanya kayak balik ke Maple Hollow, ya? Ingat nggak, waktu kita suka main di ladang jagung?” Daniel menoleh sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan ke jalan. “Aku ingat. Tapi itu udah lama sekali, Alicia. Sekarang kita udah beda cerita dan dewasa.” Alicia terkekeh kecil. “Beda cerita, sih iya… tapi aku rasa nggak banyak yang berubah dari kamu. Masih dingin, masih susah ditebak.” Ia melirik Daniel. “Kecuali sekarang kamu makin ganteng aja.” Daniel menghela napas dalam, menahan diri untuk tidak terpancing. “Alicia, aku hargai kita pernah teman dekat, tapi jangan salah paham. Aku udah punya kehidupan sendiri.” Alicia mendengus. “Kehidupan sendiri? Maksudmu… Punya pacar?” Nada suaranya merendah, ada sedikit sinis. Daniel menoleh tajam. “Aku ng
Suasana apartemen masih terasa berat. Hanya suara televisi yang mengisi ruang, sementara Elena duduk di sofa dengan Tango di pangkuannya. Matanya melirik sekilas ke arah Daniel yang sejak tadi tak banyak bicara. Akhirnya Elena membuka suara, nada bicaranya tenang tapi jelas. “Perempuan tadi siapa?” Daniel menoleh sebentar, lalu kembali menatap layar televisi. “Ah itu....teman kecil. Dulu di Maple Hollow.” Elena mengangkat alis, menatapnya dengan penuh percaya diri. “Teman kecil? Kenapa kamu nggak pernah cerita?” Daniel mendesah pelan, seolah malas memperpanjang. “Karena memang nggak penting. Dia cuma lewat. Nggak ada urusannya sama kita.” Elena mengelus bulu Tango, suaranya sedikit lebih dingin. “Kalau memang nggak penting, kenapa kamu terlihat begitu nyaman ngobrol sama dia?” Daniel menoleh kali ini, matanya lurus ke arah Elena. “Biasa aja, Elena. Aku cuma ngobrol sebentar, itu aja. Jangan dibesar-besarin.” Elena menahan tatapannya, tidak menunduk. “Aku nggak membesar
Suasana kantor terasa berbeda. Elena dan Daniel seperti dua orang asing yang kebetulan duduk dalam satu ruangan. Menjelang makan siang, Elena memutuskan untuk makan sendiri di meja kerjanya. Dia membuka kotak makan sambil tetap menatap layar laptop, mencoba menenangkan diri dengan bekerja. Daniel sempat melirik, tapi tak berani mendekat. Saat Elena tengah serius mengerjakan laporan, CEO datang menghampiri. “Elena, bagaimana progres dokumen finalnya? Saya ingin lihat draft sore ini,” kata CEO ramah tapi tegas. Elena segera berdiri sambil merapikan kertas di mejanya. “Baik, Pak. Draft-nya sudah hampir selesai. Nanti sore saya antar langsung ke ruang Bapak,” jawabnya sopan. Daniel dari tempat duduknya memperhatikan, matanya tak lepas dari Elena dan CEO yang berbicara. Wajahnya tetap datar, tapi jelas ada sesuatu yang ia tahan di dalam hatinya. Di sisi lain, salah satu anggota tim yang duduk dekat Daniel mendekat sambil berbisik. “Pak Daniel, kok keliatan tegang banget sam
Sore itu suasana apartemen terasa sunyi. Elena masuk lebih dulu, menaruh tasnya di sofa. Beberapa menit kemudian pintu kembali terbuka—Daniel. Namun, lagi-lagi ekspresinya datar. Dia hanya melepas sepatunya, meletakkan tas, lalu langsung menuju kamar tanpa banyak bicara. Elena yang masih duduk di sofa akhirnya berdiri. Hatinya sudah nggak tahan lagi. “Daniel,” panggilnya pelan. Daniel berhenti, tapi tidak langsung menoleh. “Ada apa?” suaranya dingin. Elena menggigit bibir bawahnya. “Kamu kenapa, sih? Dari tadi pagi sikap kamu aneh banget. Apa aku salah ngomong? Atau… aku bikin kamu nggak nyaman?” Daniel akhirnya menoleh. Tatapannya tajam tapi juga… terluka. “Kalau kamu nggak mau jujur sama aku, setidaknya jangan bikin aku merasa kayak orang bodoh, Elena.” Elena tertegun. “Maksudnya apa?” Daniel menarik napas panjang, menahan emosinya. “Cincin itu.” Deg. Jantung Elena langsung berdegup kencang. Dia refleks memegang kantong celananya, menyadari Daniel pasti sudah t
Setelah insiden itu, Elena memilih langsung kembali ke ruang kerjanya. Wajahnya tampak tenang, sibuk menyalakan laptop dan membuka dokumen yang tadi tertunda. Daniel menyusul beberapa menit kemudian, pura-pura biasa padahal pikirannya masih dipenuhi bayangan kotak cincin yang ia lihat di tas Elena. Hari berjalan normal. Mereka kembali bekerja seperti biasa, berdiskusi soal laporan, hingga rapat kecil bersama tim. Elena tampak fokus, sementara Daniel beberapa kali mencuri pandang, lalu cepat-cepat menunduk agar tak ketahuan. Sore hari, kantor perlahan mulai sepi. Elena menutup laptopnya sambil merapikan berkas. “Daniel, ayo pulang. Kayaknya aku lelah banget.” Daniel mengangguk. “Oke.” Mereka turun bersama menuju parkiran, lalu masuk ke mobil. Perjalanan pulang terasa hening, hanya ditemani suara radio yang pelan. Daniel menggenggam setir, sesekali melirik Elena yang sibuk dengan ponselnya. Ia membuka mulut, hendak bertanya, tapi akhirnya menutup lagi. Sesampainya di apartem
Pagi itu aroma kopi sudah memenuhi dapur. Elena sibuk menuang kopi ke dalam cangkir sambil sesekali melirik ke arah meja makan. Daniel duduk di sana, masih menguap kecil dengan rambut acak-acakan. “Pagi,” sapa Daniel, suaranya serak baru bangun. “Pagi,” jawab Elena cepat, lalu buru-buru duduk dan menaruh cangkir di hadapannya. Wajahnya sedikit ditutupi dengan rambut yang sengaja dibiarkan jatuh. Suasana sempat hening. Daniel menatap Elena, senyum kecil terselip di bibirnya. Ia tahu Elena masih canggung setelah percakapan tadi malam. “Kamu kelihatan sibuk banget,” kata Daniel sambil menatap roti panggang di piring. “Padahal bentar lagi weekend, harusnya santai.” Elena mengangkat bahu. “Biar nggak kepikiran kerjaan. Lagian… kalau aku sibuk, aku nggak kepikiran hal lain.” Daniel mengangkat alis, pura-pura tidak paham. “Hal lain? Maksudnya apa?” Elena buru-buru menyuap roti, nyaris tersedak. “M—maksudku… ya, hal-hal kecil aja. Jangan kepo!” Daniel menahan tawa, jelas menik