Share

Enam

Penulis: Bonamija(Mondi)
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-04 17:44:50

Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh.

"Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar.

"Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.

Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.

Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang.

"Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana pun Gina juga istriku." 

Entah mengobrol dengan siapa, Danu tampak sangat bahagia sambil menggendong Putri. Obrolan itu seperti keduanya sangat akrab. Gina tidak berpikir negatif tentang sang suami. Ia pun segera mendekat ke arah Danu.

Melihat keberadaan Gina, mendadak Danu terkejut. Ia mematikan sambungan telepon itu. Bukan sambungan telepon, rupanya mereka sedang melakukan video call. Gina hanya melirik sekilas dan membuat Danu canggung.

"Ck! Kuota malah habis. Padahal lagi seru mengobrolnya." Danu berusaha sangat tenang saat ini. "Ini lumayan 'kan kalo sesama pedagang buah keliling bisa saling kerja sama?" tanya Danu pada Gina yang saat ini menggendong Putri dengan kain jarik.

"Putri udah minum obat?" tanya Gina tidak merespons ucapan sang suami.

"Be-belum. Aku nggak tahu obatnya kamu simpan di mana." Danu gugup saat melihat wajah datar sang istri.

Danu takut jika Gina mendengar obrolan mereka berdua lagi. Gina bukan wanita bodoh; instingnya selalu tepat. Danu tidak mau hubungannya dengan seorang wanita yang baru saja dimulai akan kandas. Ia masih butuh uang dari wanita itu.

Hanya sekadar iseng tidak sampai tidur layaknya suami dan istri. Gina tentu tidak akan curiga. Toh, mereka hanya akan ketemu saat pagi dan sore saja. Salma--wanita penggoda itu yang diam-diam berani bermain api dengan Gina.

"Putri bobok dulu, ya," kata Gina setelah meminumkan obat pada sang anak.

Gina terbiasa menggendong anak perempuannya hingga tertidur. Sejak Putri lahir, memang seperti itu cara menidurkannya. Gina tidak merasa lelah atau bagaimana. Sebab, salah satu dari pengorbanan dan perjuangan seorang ibu.

"Bu, tadi, Apak, telepon sama Ante Alma," kata Putri berceloteh dengan logat cadelnya.

Gina sedikit tidak paham apa yang diucapkan sang putri. Putri sudah setengah mengantuk. Gina tidak berpikir jika itu adalah Salma. Istri Danu itu tidak mau berpikir buruk tentang sang suami.

"Iya, 'kan Bapak kerjanya jualan, jadi mungkin ada yang pesan. Doakan saja, Bapak dapat rezeki, jadi kita bisa makan setiap hari." Hanya itu harapan Gina saat ini.

Danu sedikit terenyuh mendengar obrolan sang istri dan anak mereka. Ia merasa sangat bersalah. Danu berjanji dalam hati, tidak akan memakai perasaannya saat menjalani hubungan terlarang dengan Salma. Danu hanya butuh uang dari Salma saja. 

Pagi kembali datang, kali ini ada pemandangan yang sedikit membuat Gina terharu. Danu sibuk menyiapkan sarapan. Entah pukul berapa laki-laki itu bangun. Gina mendekat ke arah sang suami.

"Tumben kamu mau tahu urusan dapur, Mas?" tanya Gina yang lebih tepatnya adalah sebuah sindiran.

"Aku liat kamu kecapekan. Aku sudah lapar dan harus cepat berangkat jualan. Aku sudah panaskan sisa sayur dan lauk kemarin. Nasi juga sudah matang. Aku mau berangkat dulu." Danu berpamitan pada sang istri. "Berangkat pagi lebih baik, siapa tahu bisa dapat rezeki lebih," lanjut Danu dan membuat Gina terkejut.

Saat ini bahkan masih pukul lima pagi. Danu biasa berangkat pukul tujuh atau paling lambat pukul sembilan. Aneh? Entah, Gina tidak bisa menyimpulkan sepihak.

"Hati-hati, semoga dimudahkan rezekinya," doa Gina dengan tulus sambil menyunggingkan senyum manis.

Danu membalas senyum itu dan merasa sangat bersalah saat ini. Haruskah permainan ini dilanjutkan? Meski tidak lagi bekerja, tetapi Gina adalah wanita dan istri baik. Ia tidak pernah membuat masalah dengan siapa pun.

Danu meninggalkan rumah kontrakan dengan tergesa-gesa. Ia ada janji dengan Salma untuk sarapan bersama. Entah siapa yang bodoh; Salma butuh pendamping dan Danu butuh sokongan dana. 

"Kamu baru datang, Sayang?" tanya Salma sambil bergelanyut manja pada lengan Danu tanpa rasa malu sedikit pun.

"Sal, jangan terlalu kelihatan. Aku nggak mau ada orang yang tahu." Danu merasa risih ketika Salma bergelanyut manja pada lengan kekarnya itu. "Ayo kita sarapan dan aku langsung berangkat. Kamu bukannya harus kerja juga?" tanya Danu berusaha mengalihkan obrolan itu.

"Aku sih masa bodo kalo ada yang liat. Kita bukannya udah sepakat beberapa waktu yang lalu? Kita pacaran," kata Salma dengab manja seolah baru mengenal cinta.

Jatuh cinta itu anugrah jika tepat sasaran. Kali ini Salma sama sekali tidak berpikir jauh jika Danu sudah berkeluarga. Sudah satu tahun terakhir ini, Salma memang jatuh cinta pada Danu. Pesona ketampanan Danu tidak bisa dipungkiri meski Salma lebih tua delapan tahun dari Danu.

"Iya, memang kita sudah sepakat. Hanya saja, aku nggak mau jadi bahan gunjingan. Aku juga nggak mau Gina tahu. Ingat, aku punya anak dan istri." Danu kembali mengingatkan tentang batasan hubungan mereka.

Salma hanya diam dan merasa sakit. Begitulah jika memutuskan menjadi yang kedua alias pelakor, harus mau dinomor duakan. Danu pasti akan mengutamakan istri dan anaknya. Seharusnya sejak awal Salma sadar dengan keberadaanya.

"Aku tahu dan sadar kalo soal itu, Sayang. Hanya saja, bisakah kamu bersikap adil? Kamu sudah semalam bersama Gina. Lantas waktu untukku kapan?" tanya Salma sedikit merajuk.

"Kamu tenanglah. Aku tiap pagi dan pulang jualan keliling pasti akan bersama kamu. Aku akan cari alasan untuk Gina jika pulang telat." Danu menoel dagu Salma dan membuat wanita itu tersenyum.

Salma sudah masak banyak makanan. Ada semur daging sapi dan tumis daun pepaya. Diam-diam, Salma tahu makanan kesukaan Danu. Entah benar atau tidak, tetapi Danu lebih suka dengan sayur yang berkuah.

"Ini kamu semua yang masak?" Danu menikmati setiap suapan makanan yang masuk. "Ini sangat lezat dan rasanya pengen nambah terus," lanjut Danu yang kembali mengambil nasi.

"Makanlah yang banyak. Ini aku masak semua. Kebetulan kemarin belanja dan beli semua ini," kata Salma dengan manja.

Suara ketukan pintu dengan sangat keras mengejutkan Danu dan Salma. Suara bariton disertai gedoran pintu yang luar biasa keras itu membuat Salma panik. Ada Danu di rumah kontrakan itu. Tentu akan menjadi masalah jika ada yang memergoki mereka berdua. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   63

    Hujan turun deras malam itu, menampar atap kamar kontrakan tempat Gina tinggal. Suasana sunyi dan gelap, hanya disinari lampu temaram dari pojok ruangan. Gina duduk di pojok ranjang, memeluk lutut, tubuhnya terbungkus sweater lusuh warna abu. Raut wajahnya terlihat sendu, matanya sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya.'Ternyata otak dan hati nggak sinkron. Mas Danu sama sekali tidak berubah.' Gina mengatakan dalam hati dengan sangat pilu. Gina masih sempat berpikir jika Danu akan berubah saat ia berangkat kerja ke luar negeri. Akan tetapi, justru Danu semakin parah. Entahlah apa yang ada di otak Danu saat ini. Cinta dalam hati Gina kini berubah menjadi sebuah kebencian mendalam. Sudah satu minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat wajah Danu. Satu minggu penuh dengan pergolakan batin, antara rindu, dan benci, antara luka dan keinginan untuk melupakan. Seharusnya ia bisa hidup tenang setelah lepas dari pernikahan pura-pura itu. Namun, kenangan tentang Danu terus berputa

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   62

    Malam telah jatuh dengan sempurna saat Gina melangkah keluar dari gedung restoran tempatnya bekerja. Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah akibat hujan sore tadi. Langkahnya pelan, lelah menguasai setiap inci tubuhnya. Mata wanita itu sayu, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Hampir dua bulan sudah ia hidup terpisah dari sang anak, Putri. Rindu itu tak pernah surut, malah semakin hari semakin menyesakkan.Gina selalu menaiki bus umum untuk mengantarnya sampai ke flat tempatnya mengontrak. Di dalam bus, ia merindukan sang anak--Putri. Ia butuh semangat, butuh kehangatan yang hanya bisa didapat dari suara dan wajah kecil yang sangat dirindukan. Putri adalah alasan Gina mau bekerja keras saat ini. “Assalamualaikum, Bunda!” sapa ceria Putri dari layar.Wajah mungil itu muncul dengan senyum lebar. Matanya berbinar, rambutnya ditata rapi dengan jepit warna merah muda. Di latar belakang, terlihat ruang tamu rumah Reza—kakaknya, tempat Putri sementara tinggal. Putri

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   61

    Malam itu, suasana di kantor polisi sangat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit memantulkan cahaya terang yang terasa dingin, hampir seolah-olah menguatkan nuansa suram yang menyelimuti ruangan itu. Di sudut ruangan, Guntara duduk di kursi kayu keras, tangan terborgol, wajahnya tampak lelah dan kosong. Tidak ada sedikit pun ekspresi penyesalan yang terlukis di wajahnya, hanya kelelahan yang tampak menghantui setiap gerak-geriknya.Salma sudah tidak ada di sana. Ia menolak memberikan kesaksian atau bertemu dengan Guntara. Setelah kejadian tadi malam, Salma memilih untuk meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah salah satu warga. Meski di dalam dirinya masih ada rasa sakit yang mendalam, ia merasa lebih tenang di tempat yang jauh dari Guntara. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri semua ini—kehadirannya di rumah itu, pertemuan mereka yang penuh amarah, dan hubungan yang sudah lama mati.Sementara itu, di kantor polisi, kegaduhan akibat p

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   60

    "Kamu benar-benar gila, Mas!" Salma berteriak dengan sangat kencang saat mereka berada di dalam rumah."Ya, aku memang gila!" bentak Guntara tak kalah keras dari Salma.Angin malam menyusup dari celah jendela kayu rumah bergaya minimalis yang berdiri di pinggiran kota. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Dinding-dindingnya masih menyimpan gema tawa dan tangis, jejak-jejak cinta yang dulu pernah menyala, lalu padam tanpa aba-aba.Salma berdiri di ruang tengah, tubuhnya kaku, matanya menatap Guntara penuh kecurigaan. Ia masih mengenakan setelan santai, jaket krem menutupi gaun tidurnya. Rambutnya digerai, sebagian menutupi pipinya yang kini mulai memerah karena emosi yang tertahan. Laki-laki itu memang tidak bisa ditebak dan membuat Salma kehabisan kesabaran.“Kenapa kau bawa aku ke sini?” tanyanya, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kenapa bukan ke hotel atau tempat lain saja?”Guntara berdiri beberapa langkah darinya, tubuh tega

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Sembilan

    "Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Delapan

    "Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Tujuh

    Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Enam

    Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Lima

    Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status