Share

Dua

Penulis: Bonamija(Mondi)
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-30 14:45:21

Tanpa pikir panjang, Gina segera pergi ke kantin. Kebetulan, di belakang puskesmas ini ada sebuah kantin. Kantin untuk anak sekolah dan umum. Gina menatap wajah Putri yang kini mulai memucat.

"Bu, yang jualan bubur di mana, ya?" tanya Gina pada penjual gorengan yang ada di dekat kantin.

"Coba deh ke ujung sana. Semoga masih ada, Mbak," jawab penjual gorengan sambil menunjuk ke arah tenda terpal berwarna orange.

"Terima kasih." Gegas Gina menuju ke arah tenda yang ditunjukkan oleh penjual gorengan itu. 

Masih rezeki, masih ada sedikit sisa bubur. Gina pun hendak membelinya untuk sarapan sang anak. Ternyata, penjual bubur pasangan paruh baya itu justru memberikannya; tidak perlu bayar. Bubur itu diberikan topping telur rebus dan suwiran ayam.

"Berapa ini?" tanya Gina sambil merogoh saku baju yang dipakainya.

"Bawa aja, Mbak. Ini sisa jualan kami. Sudah, segera suapin anak kamu," kata ibu penjual bubur itu.

Lagi dan lagi, mata Gina sebak karena banyak orang baik. Setelah mengucapkan terima kasih, Gina segera menuju ke puskesmas. Antrean masih mengular dan Gina memutuskan untuk menyuapi Putri dahulu. Bubur itu dimakan oleh sang anak hingga tandas. 

"Bu, aku haus," kata Putri yang saat ini punya sedikit tenaga. 

"Iya, Nak. Kita beli air minum dulu," kata Gina sambil membereskan bekas tempat makan Putri lalu membuangnya ke tempat sampah.

Gina membeli sebotol air mineral. Putri meminumnya perlahan dan habis setengahnya. Kini wajah Putri sudah sedikit bercahaya dan tidak lagi pucat pasi. Antrean Gina pun tiba. Putri diperiksa oleh Dokter puskesmas.

"Sejak kapan demamnya, Bu?" tanya Sang Dokter sambil memukul perlahan perut Putri yang berbunyi; perut kembung.

"Tadi pagi langsung demam tinggi." Gina menjawab dengan cepat setelahnya Putri memuntahkan isi perutnya. "Ma-maafkan saya, Dok," lanjut Gina merasa tidak enak pada sang Dokter.

"Tidak apa, Bu. Ini langsung saya kasih rujukan saja ke rumah sakit sebelum terlambat. Anak Ibu sakit tipes," kata sang Dokter membuat Gina terkejut dan tidak bisa menahan air mata.

"Ha-harus dirawat, Dok?" tanya Gina dengan terbata-bata karena tidak punya cukup uang.

"Ya, tidak bisa terlambat karena sangat bahaya. Ini demamnya tinggi dan butuh pemeriksaan detail untuk anak Ibu," kata Dokter dengan wajah serius lalu membersihkan bekas muntahan Putri.

Dokter menberikan surat rujukan untuk Putri. Tidak bisa rawat jalan karena ditakutkan ada komplikasi penyakit lain. Tangan Gina gemetar saat menerima surat rujukan itu. Dokter pun paham saat melihat Gina.

"Apa, Ibu, punya asuransi dari pemerintah agar bisa berobat gratis?" tanya sang Dokter dengan wajah penuh rasa prihatin.

Gina menggeleng sebagai jawaban. Asuransi yang konon gratis itu tetap saja harus membayar iuran bulanan. Jangankan untuk bayar asuransi, untuk makan saja mereka susah. Gina tampak mengembuskan napas panjang saat ini.

"Begini saja, Ibu bisa meminta surat keterangan tidak mampu dan rt setempat. Nanti setelahnya dipakai untuk mendaftarkan asuransi pemerintah yang benar-benar gratis, Bu." Ucapan sang Dokter membuat Gina sedikit bersemangat. "Biar saya bantu buatkan surat pengantar dari puskesmas ini agar dimudahkan biayanya," lanjut Dokter muda itu dengan ramah.

Gina tidak membawa ponselnya karena terburu-buru tadi. Kali ini Putri sudah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Gina tidak mungkin meninggalkan sang anak seorang diri di rumah sakit. Urusan asuransi kesehatan sudah selesai.

Putri dirawat di ruang rawat inap kelas empat. Tidak masalah, yang penting Putri sudah mendapatkan penanganan. Pukul lima sore dan perut Gina terasa lapar. Sejak pagi ia belum makan sama sekali.

Sementara itu, Danu baru saja pulang berdagang. Hari ini lumayan mendapatkan rezeki banyak. Dagangan Danu laku dan habis. Danu mengembuskan napas kasar karena mendapati rumahnya kosong.

"Orang pulang kok malah rumah kosong!" Danu mendengkus kasar karena kesal tidak mendapati anak dan istrinya.

Hanya ada bubur nasi yang masih berada di atas kompor. Bubur sudah matang, tetapi belum diangkat dari atas kompor yang sudah mati. Danu menatap bubur yang belum tersentuh sama sekali. Ia kembali menutup panci bubur itu.

Hingga pukul sembilan malam, Danu tidak mendapati sang istri pulang bersama Putri. Ia kelabakan karena takut sang istri kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Danu pun mencoba menghubungi ponsel sang istri. Dering ponsel itu justru terdengar di salah satu sudut kamar mereka.

Gegas, Danu membuka lemari pakaian. Ia masih bersyukur ketika melihat semua pakaian sang istri dan Putri masih ada. Artinya, Gina tidak kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Danu mengembuskan napas lega dan tetap menunggu sang istri.

"Mas Danu, permisi!" Suara dari luar pintu rumah membuat Danu terkejut sekaligus ketakutan.

"Ya! Sebentar!" Danu berjalan tergesa-gesa menuju ke luar. "Ada apa, Pak?" tanya Danu saat melihat Pak Abas berdiri di depan pintu rumahnya.

"Mbak Gina ada? Saya dan istri mau minta bantuan. Besok kami ada hajatan, jadi kami pengen Mbak Gina ikut bantu-bantu masak. Ajak Putri juga nggak masalah," kata Pak Abas dan diangguki sang istri.

"Mohon maaf sebelumnya, istri saya sedang tidak ada di rumah. Saya juga nggak tahu ke mana perginya istri saya." Danu mengembuskan napas panjang dan membuat pasangan suami dan istri di depannya itu saling pandang.

"Ya, sudah, Pak. Nanti kalo Mbak Gina udah pulang tolong kabari kami." Pak Abas dan sang istri tampak kecewa saat ini.

Gina memang kadang ikut membantu memasak tetangga yang punya hajat. Gina biasa dibayar murah oleh mereka. Itulah mengapa, banyak orang yang suka menggunakan tenaga Gina. Jika tidak karena terpaksa, Gina tidak akan mau.

"Insyaa Allah, ya, Pak." Danu tidak berani memberikan harapan pada Pak Abas dan istrinya.

Hingga pagi menjelang, Danu tidak mendapati sang istri pulang. Benarkah pertengkaran kemarin pagi menjadi pemicunya? Danu merasa tidak terima jika seperti ini. Laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu justru marah.

"Awas saja jika masih berani pulang!" Danu mengepalkan tangan saat ini.

Danu tidak memejamkan mata sama sekali karena menunggu Gina dan Putri. Hingga hari terang, tidak ada tanda-tanda Gina akan pulang. Danu beranjak dari duduknya. Pikiran laki-laki itu sangatlah keruh.

Ketukan pintu membuat Danu menoleh ke arah benda berbentuk persegi. Ia segera mendekat dan melihat siapa yang datang. Gina ada di depan pintu. Tanpa pikir panjang, Danu membuka pintu rumah kontrakan dengan kasar.

"Plak!" Tamparan itu terayun dari tangan Danu yang lepas kontrol saat ini.

Gina terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk karena tidak siap mendapatkan tamparan itu. Pipi wanita muda usia dua puluh empat tahun itu langsung memerah dan panas. Air mata pun mengalir deras dari mata indah Gina. Astaga!

"Ada apa, Pak Danu? Kenapa menampar istri, Anda?" Salah satu tetangga menegur Danu yang pagi ini kalap.

"Diam! Jangan ikut campur!" Danu menuding ke arah laki-laki yang tinggal tepat di sebelah rumah kontrakannya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   63

    Hujan turun deras malam itu, menampar atap kamar kontrakan tempat Gina tinggal. Suasana sunyi dan gelap, hanya disinari lampu temaram dari pojok ruangan. Gina duduk di pojok ranjang, memeluk lutut, tubuhnya terbungkus sweater lusuh warna abu. Raut wajahnya terlihat sendu, matanya sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya.'Ternyata otak dan hati nggak sinkron. Mas Danu sama sekali tidak berubah.' Gina mengatakan dalam hati dengan sangat pilu. Gina masih sempat berpikir jika Danu akan berubah saat ia berangkat kerja ke luar negeri. Akan tetapi, justru Danu semakin parah. Entahlah apa yang ada di otak Danu saat ini. Cinta dalam hati Gina kini berubah menjadi sebuah kebencian mendalam. Sudah satu minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat wajah Danu. Satu minggu penuh dengan pergolakan batin, antara rindu, dan benci, antara luka dan keinginan untuk melupakan. Seharusnya ia bisa hidup tenang setelah lepas dari pernikahan pura-pura itu. Namun, kenangan tentang Danu terus berputa

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   62

    Malam telah jatuh dengan sempurna saat Gina melangkah keluar dari gedung restoran tempatnya bekerja. Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah akibat hujan sore tadi. Langkahnya pelan, lelah menguasai setiap inci tubuhnya. Mata wanita itu sayu, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Hampir dua bulan sudah ia hidup terpisah dari sang anak, Putri. Rindu itu tak pernah surut, malah semakin hari semakin menyesakkan.Gina selalu menaiki bus umum untuk mengantarnya sampai ke flat tempatnya mengontrak. Di dalam bus, ia merindukan sang anak--Putri. Ia butuh semangat, butuh kehangatan yang hanya bisa didapat dari suara dan wajah kecil yang sangat dirindukan. Putri adalah alasan Gina mau bekerja keras saat ini. “Assalamualaikum, Bunda!” sapa ceria Putri dari layar.Wajah mungil itu muncul dengan senyum lebar. Matanya berbinar, rambutnya ditata rapi dengan jepit warna merah muda. Di latar belakang, terlihat ruang tamu rumah Reza—kakaknya, tempat Putri sementara tinggal. Putri

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   61

    Malam itu, suasana di kantor polisi sangat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit memantulkan cahaya terang yang terasa dingin, hampir seolah-olah menguatkan nuansa suram yang menyelimuti ruangan itu. Di sudut ruangan, Guntara duduk di kursi kayu keras, tangan terborgol, wajahnya tampak lelah dan kosong. Tidak ada sedikit pun ekspresi penyesalan yang terlukis di wajahnya, hanya kelelahan yang tampak menghantui setiap gerak-geriknya.Salma sudah tidak ada di sana. Ia menolak memberikan kesaksian atau bertemu dengan Guntara. Setelah kejadian tadi malam, Salma memilih untuk meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah salah satu warga. Meski di dalam dirinya masih ada rasa sakit yang mendalam, ia merasa lebih tenang di tempat yang jauh dari Guntara. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri semua ini—kehadirannya di rumah itu, pertemuan mereka yang penuh amarah, dan hubungan yang sudah lama mati.Sementara itu, di kantor polisi, kegaduhan akibat p

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   60

    "Kamu benar-benar gila, Mas!" Salma berteriak dengan sangat kencang saat mereka berada di dalam rumah."Ya, aku memang gila!" bentak Guntara tak kalah keras dari Salma.Angin malam menyusup dari celah jendela kayu rumah bergaya minimalis yang berdiri di pinggiran kota. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Dinding-dindingnya masih menyimpan gema tawa dan tangis, jejak-jejak cinta yang dulu pernah menyala, lalu padam tanpa aba-aba.Salma berdiri di ruang tengah, tubuhnya kaku, matanya menatap Guntara penuh kecurigaan. Ia masih mengenakan setelan santai, jaket krem menutupi gaun tidurnya. Rambutnya digerai, sebagian menutupi pipinya yang kini mulai memerah karena emosi yang tertahan. Laki-laki itu memang tidak bisa ditebak dan membuat Salma kehabisan kesabaran.“Kenapa kau bawa aku ke sini?” tanyanya, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kenapa bukan ke hotel atau tempat lain saja?”Guntara berdiri beberapa langkah darinya, tubuh tega

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Sembilan

    "Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Delapan

    "Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Tujuh

    Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Enam

    Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Lima

    Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status