Sehabis magrib, aku dan keluarga bersiap menuju pesta di ballroom hotel pusat kota. Mama memastikan semua tampil rapi, bahkan sempat mengecek pita di rambutku dua kali. Di mobil, Mama beberapa kali nyuruh kami berjanji biar nggak berantem pas sampe di sana. Papa fokus menyetir, Mama sibuk cek undangan, Achyar main game, dan Idam sudah tertidur di kursi belakang. Aku menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala, membiarkan pikiranku melayang.
Begitu tiba di hotel, aroma parfum mahal dan makanan lezat langsung menyergap hidungku. Ballroom hotel itu luas, langit-langitnya tinggi dengan lampu kristal berkilauan, dan karpet merah tebal yang membuat langkah kakiku terasa empuk. Musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan, bercampur suara tawa dan obrolan para tamu yang berpakaian rapi dan elegan.
Keluarga kami disambut keluarga Shadiq, partner bisnis Papa. Ada Om Bagas yang ramah, Tante Resti yang selalu tampil modis, dan tiga anak mereka. Sementa Papa dan temannya bicara bisnis, Mama dan istri temannya papa mulai ngerumpi. Khas ibu-ibu nggak dimana-mana kalo udah ketemu pasti begitu. Nanti kalo aku udah gede aku nggak mau jadi ibu-ibu rumpi kek gitu.
"Wah sudah lama yah kita nggak ketemu Bu Dian" ucap tante Resti menyebut nama Mama sambil cipika cipiki.
"Iya yah Bu Resti, terakhir ketemu karena ada acara kantor suami Bu Resti waktu itu"
"Bu Dian, ini anak-anaknya udah pada gede yah cantik dan cakep-cakep lagi" tante Resti memandangi gue dan ade-ade gue satu per satu.
"Iya Bu, anak-anak kenalan dulu sama tante Resti"
"Nazilla tante" ucap gue sambil tersenyum dan mencium tangan tante Resti.
"Aduh, manis banget sih. Tante jadi pengen punya anak cewek kayak kamu. Sekolah di mana, Nak? " katanya sambil mengelus kepalaku.
"Di SMA 17, Tante" jawabku sopan, berusaha tersenyum meski pipiku terasa sedikit panas.
"Lho, berarti kamu satu sekolah dong sama Alif? Kalian saling kenal?" tanya Tante Resti, menoleh ke Alif yang duduk di sampingnya.
Aku menoleh ke arah Alif. Cowok itu duduk tegak, wajahnya datar, matanya gelap dan tajam. Dia hanya menatapku sekilas, lalu menjawab dengan suara dingin, "Enggak, Bun. Aku nggak kenal."
Aku mengangguk santai, "Aku juga nggak kenal, Tante."
Mama ikut menimpali, “Kok bisa ya? Padahal satu sekolah, lho.” Aku cuma bisa membatin, Ma, sekolah kita isinya ratusan orang, masa harus kenal semua?
Setelah sesi perkenalan, Papa dan Om Bagas langsung larut dalam obrolan bisnis. Mama dan Tante Resti mulai ngerumpi, sementara aku, Achyar, dan Idam akhirnya bergabung dengan anak-anak Om Bagas. Malam itu aku habiskan bareng si kembar yang unyu banget. Mereka ternyata gampang akrab sama aku, apalagi kalau diajak ngobrol. Meski bahasa mereka masih agak cadel, obrolan kami tetap nyambung. Mereka ramai cerita soal film-film cartoon yang mereka tonton—dan kebetulan aku juga pecinta cartoon, anime, dan segala jenis animasi.
Jadilah, malam itu kami asyik ngobrol dan ketawa-ketawa bareng, kecuali satu orang: Alif, si Lempeng yang ternyata kakak kelasku di sekolah. Dari tadi, dia cuma duduk memperhatikan kami dengan wajah datar tanpa suara. Aku sampai mikir, ini orang beneran manusia atau patung sih? Kok kayak gambar, tapi nggak ada suaranya sama sekali?
Si kembar mulai cerita soal sekolah mereka, tentang kebohongan suster yang bilang kalau disuntik itu nggak sakit—mereka bahkan pamer bekas suntikan di lengan atasnya. Setelah itu, mereka debat seru soal siapa yang lebih keren: Captain America atau Iron Man. Aku ikut nimbrung, dan kami pun main tebak-tebakan “yang mana Keno?” sampai ngakak bareng.
Sementara itu, Alif tetap mengawasi kami dengan tatapan tajamnya. Dari ekspresinya, aku bisa membayangkan dia ngomel dalam hati, “Nih anak satu cerewet banget, nggak capek apa ngomong mulu? Nggak ada bedanya sama adek gue si kembar, tontonannya juga cartoon anak-anak umur enam tahun. Jangan-jangan dia anak kecil yang terjebak di badan anak SMA.” Tapi dia nggak bilang apa-apa, cuma duduk diam, matanya bergantian memperhatikan aku dan adik-adiknya.
Aku iseng menyapa, “Kak, lo nggak gabung sama kita?”
Dia menoleh sekilas, ekspresi tetap datar. “Nggak perlu”
Aku tersenyum, “Lo emang selalu seserius ini, ya?”
Dia hanya mengangkat bahu. “Kenapa?”
Aku tertawa pelan, “Nggak apa-apa.”
Dia kembali menatap ke depan, tanpa ekspresi. Bukannya ilfeel, aku malah makin penasaran. Cowok ini… beneran manusia atau robot, sih? Kaku bet.
Setelah puas main, aku kembali ke kursi. Alif masih di tempat yang sama. Aku iseng lagi, “Lo nggak bosen, diem-diem gitu?”
Dia jawab singkat, “Nggak.”
“Lo nggak suka keramaian, ya?”
Dia menggeleng pelan. “Nggak suka basa-basi.”
Aku tersenyum lebar, “Gue suka banget, malah. Hidup tanpa basa-basi itu kek makan indomie gak pake bumbu.”
Dia akhirnya melirik aku, tapi ekspresinya tetap datar. “Oh, iya”
Aku tertawa tak percaya, “Oh? Iya aja?”
Dia nggak jawab lagi. Tapi aku menangkap sorot matanya yang sedang menganalisis aku. Aku jadi makin gemas. Cowok ini… kaku banget, aneh tapi bikin penasaran.
Akhir acara, kami pamit pulang. Aku sempat nyeletuk ke Tante Resti, “Tante, Keni-Keno boleh aku bawa pulang nggak? Tukerin sama Achyar sama Idam, besok aku balikin lagi, deh.”
Ucapanku disambut tawa Papa, Om Bagas, dan Tante Resti, pelototan Alif yang seolah bilang, “Otak lo udah geser, ya?”, sikutan Mama, wajah sebal kedua adikku, dan cengiran jahil si kembar.
Aku buru-buru membela diri ke Mama, “Aku kan cuma becanda doang, Ma. Suer deh aku…”
Belum sempat aku lanjutkan, Tante Resti menyela, “Kamu aja, Zilla, yang nginap di rumah Tante. Biar bisa main sama si kembar, Tante juga ada temen ceweknya.” Tante Resti memang lebih suka manggil aku Zilla daripada Nanas, katanya lebih enak didengar.
Aku cuma bisa nyengir sambil memamerkan senyuman maut, “Hehehe, aku cuma bercanda kok tadi, Tante.”
Di mobil pulang, Mama bertanya, “Nas, tadi ngobrol sama Alif, nggak?”
Aku menjawab santai, “Nggak bisa disebut ngobrol sih Ma, soalnya dia lempeng, kaku, dan introvert parah. Keknya nggak ada 5 kata yang keluar dari mulutnya, Ma”
Mama tertawa, “Tapi ganteng, kan?”
Aku pura-pura manyun, “Ihh… cakep sih, Ma tapi dia tuh aneh.”
Begitu sampai rumah, aku langsung peluk guling kesayangan, tarik selimut, dan baru mau tidur, Mama masuk kamar, “Nas, ganti baju dulu, cuci muka, gosok gigi, baru tidur.”
“Arghhh… iya, Ma, iya…” Dengan berat hati aku seret badan ke kamar mandi.
Saat pagi di sekolah, aku langsung mencari Lila yang sudah duduk di bangku depan kelas.
“Bebs, lo pada pernah ngobrol langsung sama Alif Shadiq nggak?” Karena saking penasarannya, itu kalimat pertama yang keluar dari mulutku begitu ketemu para sahabatku.
Lila langsung menoleh sambil merapikan rambut Maura. “Kak Alif yang mana, Nas? Kan nama Alif nggak cuma satu di sekolah,” katanya, tetap sibuk dengan urusan rambut Maura. Memang Lila paling nggak tahan lihat kami berantakan, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut harus rapi.
Maura yang paling cuek soal penampilan, rambutnya udah kering atau belum, langsung dicepol seenaknya. Dulu Maura sempat protes, tapi sekarang sudah pasrah—mana kuat dia adu mulut sama ratu cerewet ini.
“Eh... ditanyain tuh Alif yang mana, dianya malah bengong. Tersepona ya sama gue?” Maura mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku.
“Oh... iya, maaf. Maksud aku tuh Alif yang diem, datar, tanpa ekspresi, pokoknya lempeng, kaku banget kayak kanebo kering. Siapa sih nama panjangnya... haaa iya, Alif Shadiq.”
“Oh iya, kalau itu mah gue tau, Nas! Itu tuh kakak kelas yang punya julukan pangeran es di sekolah. Masa lo nggak tau sih, Nas?” Lila langsung semangat, kayak biasa, info gosipnya selalu update.
“Gue juga nggak kenal, Lil. Lo aja yang tau soal tuh anak yang lo sebut pangeran es,” sahut Maura.
“Tuh kan, nggak cuma gue yang nggak tau, Lil.”
“Hah, masa kalian nggak tau sih? Ketinggalan info banget deh. Emangnya lo kenal sama si pangeran es itu, Nas? Tumben banget lo nanya tentang cowok, naksir ya?”
“Apaan sih, Lil. Gue tuh baru tadi malam dari acara pembukaan apa gitu, ya pokoknya urusan bisnis bokap lah.”
Belum juga aku selesai cerita, bel sekolah keburu bunyi. Sesaat setelah itu, Acha baru datang. Beruntung banget, dia nggak sempat kena hukuman. Muka Lila dan Maura udah nunjukin kata lo-utang-penjelasan-sama-kami, sementara Acha cuma bengong.
Pas jam istirahat, di kantin sambil makan, Lila langsung nanya lagi, “Jadi gimana, Nas? Ceritain dong!”
Aku mengangguk, “Jadi gini, tadi malam di acara bisnis bokap gue ketemu sama si Lempeng.”
“Si Lempeng siapa, Nas?” tanya Acha, soalnya tadi dia belum denger ceritaku.
“Cha, nanti aja ya tanyanya abis Nanas cerita, lo belum ketinggalan apapun kok,” kata Lila, yang udah ngebet banget dengerin aku. Setelah Acha mengangguk, aku lanjut cerita.
“Di acara itu, kita ketemu karena bokap gue sama bokap dia partner bisnis. Kita semua duduk semeja, terus dikenalin sama nyokapnya. Nah, sepanjang acara tuh dia diem aja, ngomong kalau ditanya doang, itu pun singkat-singkat, kaku banget kayak kanebo kering. Kerjaannya cuma ngawasin adik-adiknya. Oh iya, adiknya dia kembar, lucu banget, ngegemesin. Gue semalam ngobrolnya malah sama si kembar. Nih, gue ada fotonya,” kataku sambil ngasih liat hasil foto-foto semalam bareng si kembar ke mereka.
“Iya, Nas, lucu banget. Gue sampe nggak bisa ngebedainnya,” kata Acha, diamini yang lain. Bahkan Lila sampai bilang pengen bawa pulang satu.
“Namanya siapa, Nas? Dan si Lempeng itu siapa?”
“Si kembar namanya Keni-Keno, dan si Lempeng itu kak Alif.”
Lila langsung janji bakal cari cara buat dapetin info soal Alif si kanebo kering nan lempeng itu.
TBC
Aku berusaha bikin ceritanya lebih mengalir dan lebih baik dari pada awal pertama kali cerita ini di tulis. Semoga kalian suka Awal pertama 2016 sampe 2025 ini kalian masih nunggu dan semangatin aku. makasih banget 22 april 2025
Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip
Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.
Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh
Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang
Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb
Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus