Beberapa hari setelah pesta itu, hidupku dan geng jadi penuh misi. Bukan lagi sekadar sekolah, tapi “operasi kepo” soal Alif, si Lempeng. Tapi, makin aku tahu, makin penasaran. Dia itu di sekolah kayak apa, sih? Beneran selempeng itu?
Pagi itu, sekolah ramai kayak biasa. Lorong dipenuhi suara anak-anak yang baru datang, ada yang ketawa, ada yang ngantuk, ada yang ribut rebutan tempat duduk. Aku, Lila, Maura, dan Acha sudah nongkrong di pojokan, pura-pura baca buku. Padahal, mata kami awas mengamati setiap cowok yang lewat.
Lila, si ratu gosip, jadi pemandu utama. “Lo perhatiin deh, biasanya jam segini Kak Alif lewat ke kantin. Tuh, liat—kelas 12 IPA udah pada keluar.”
Maura menimpali, “Dia anak ekskul bola, kan? Kadang suka nongkrong di lapangan.”
Acha, yang lagi main HP, tetap ikut nimbrung, “Tapi katanya, kalau di lapangan, dia tetep diem aja. Cuma main, nggak pernah teriak-teriak.”
Aku cuma bisa senyum, deg-degan nggak jelas. Geng cewek paling heboh di sekolah, pagi ini berubah jadi detektif kelas kakak. Rasanya kayak lagi main misi rahasia. Satu-satunya yang kurang cuma kacamata hitam dan walkie-talkie.
Tak lama, Lila menepuk lenganku, “Nah, itu dia, Nas. Liat, yang mukanya datar, nggak pernah senyum.”
Aku ngintip sedikit. Benar saja, Alif berjalan pelan di lorong. Ekspresi datar, ransel disampirkan di satu bahu, postur atletis dan rapi banget. Dingin, kayak kulkas dua pintu. Tapi aku nggak bisa bohong, dia memang cakep. Ada aura “jangan ganggu gue” yang kuat banget.
“Fix, dia pantes dijuluki pangeran es,” bisik Lila sambil cekikikan.
Maura ikut, “Lo yakin dia nggak pernah ngobrol sama cewek, Lil?”
Lila mengangguk mantap. “Di antara trio idola—Alif, Alex, Ragil—cuma Ragil yang punya pacar. Alif nggak pernah keliatan deket sama siapa pun, apalagi cewek. Dia ranking dua umum, jago bola, dan katanya paling tajir di antara mereka.”
Acha menambahkan, “Tapi katanya, kalau di lapangan bola, dia berubah. Serius, ya tapi tetep nggak banyak ngomong.”
Kami saling pandang dan ngakak. “Lila, lo ngalahin admin gosip sekolah aja,” ledekku. Lila bangga, “Ya dong, demi sohibku tercinta!”
Saat istirahat, kantin penuh suara piring dan gelas, aroma gorengan dan es teh manis memenuhi udara. Kami duduk di pojok, ngerumpi sambil makan. Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada pesan W******p dari nomor nggak dikenal.
+62812xxxxxxx: Assalamualaikum ini Nazilla?
Aku melongo. Siapa nih? Tapi karena penasaran, aku balas juga.
Nanas: Walaikumsalam Nanas: Iya, ini siapa ya?
Nggak sampai semenit, balasan masuk.
+62812xxxxxxx: Alif
Aku langsung membeku. What? Alif? ini orang cenayang kali yah, kayaknya dia tau deh gue cari info tentang dia makanya nge-W******p aku. “Eh, gue dapet W******p dari si Lempeng!” seruku ke Lila, Maura, dan Acha.
Mereka langsung heboh. Lila sampai hampir nyipratin es tehnya ke seragam Maura. “Seriusan, Nas? Coba liat!”
Aku sodorin HP ke tengah meja. Mereka ngumpul baca bareng. "Ya kali aja bukan si Lempeng Nas coba lo tanyain Alif yang mana" kata Maura yang ada juga benernya. Lalu segera ke ketik di handphone.
Nanas: Alif yg mana ya?
Aku letakkan kembali HP di tengah meja, biar semuanya bisa lihat. Setelah 2 menit kami menunggu baru balasannya datang.
+62812xxxxxxx: Alif Shadiq
Lila melotot. “Fix, itu si Lempeng!”
Acha penasaran, “Kok dia bisa dapet nomor lo, Nas?”
Aku cuma angkat bahu. “Gue juga nggak tau.”
Maura langsung mode protektif, “Coba tanya, dia dapet nomor lo dari mana.”
Aku ketik lagi.
Nanas: Dapet nomor gue dari mana?
Balasan datang.
Alif: Ketua kelas lo
Nanas: Ada perlu apa sama gue?
Setelah itu, nggak ada balasan lagi. Cuma di-read doang. Nyebelin banget sih jadi orang. Kemudian Aku baca keras-keras ke gengku, “Dia bilang dapet dari ketua kelas kita.”
Maura langsung nyeletuk, “Fix, berarti Rafi yang ngasih. Udah, abis ini kita tanya Rafi aja, sekalian konfirmasi.”
Lila mengangguk setuju, “Iya, gue juga penasaran, Rafi kok gampang banget kasih nomor lo ke orang.”
Begitu jam pelajaran selesai, kami langsung cari Rafi, ketua kelasku, yang lagi nongkrong di depan kelas. Aku dan geng langsung mengerubunginya kayak polisi nangkep maling.
“Fi, ada yang minta nomor gue ke elu, ya?” tanyaku, to the point.
Rafi sempat kaget, lalu mengangguk. “Iya, kemarin Kak Alif kelas 12 IPA minta. Gue kira lo kenal deket sama dia.”
Lila langsung nyerocos, “Terus lo kasih aja gitu?”
Rafi cengengesan, “Ya, dia minta baik-baik. Gue pikir nggak masalah, dia anak baik, kok. Kadang gue main futsal bareng dia. Orangnya kalem, nggak pernah macem-macem.”
Maura makin kepo, “Tapi lo tau nggak, buat apa dia minta nomor Nanas?”
Rafi geleng-geleng, “Nggak tau. Dia cuma bilang ada perlu, terus pergi gitu aja.”
Acha nyeletuk, “Fix, dia misterius banget.”
Rafi menjawab, “Tenang, Nas. Gue yakin Kak Alif anak baik. Kalau nggak, nggak bakal gue kasih.”
Setelah interogasi singkat itu, kami kembali ke kelas, masih dengan seribu pertanyaan di kepala. Aku sendiri jadi makin penasaran: kenapa sih, Alif tiba-tiba minta nomor aku? Apa dia juga kepikiran aku kayak aku kepikiran dia?
Sepulang sekolah, kami ngumpul di rumah Acha, tradisi tiap Jumat malam. Rumah Acha sepi, orang tuanya lagi keluar kota, abang dan kakaknya belum pulang. Kami langsung naik ke kamar Acha, ganti baju, lalu mulai ngerjain PR. Maura sibuk baca buku, Lila asik ngaca, Acha main gitar kecil. Aku sendiri masih kepikiran chat Alif tadi siang.
Tiba-tiba, HP-ku bunyi lagi. Kali ini dari nomor asing lagi, mesti banget sehari dua kali dihubungin nomer asing. Aku langsung angkat, agak kaget juga.
"Hallo"
....
“Iya walaikumsalam tante, iya ini Nazilla. Tante gimana kabarnya?”
...
“Iya, aku juga kangen sama si kembar. Mereka sehat, kan, Tan?”
...
“Oh, iya deh, Tante. Makasih ya. Salam buat semuanya di sana. Assalamualaikum.”
Begitu telepon ditutup, aku masih bengong. Teman-teman langsung mengerubungi. “Guys, tadi gue ditelepon nyokapnya si Lempeng!” kataku setengah panik, setengah ngakak.
“Hah? Kok bisa? Cerita dong!” Maura langsung melotot, yang lain juga nggak kalah kaget.
Aku duduk di kasur, “Jadi tadi Tante Resti nelpon, katanya kangen sama gue, terus nyuruh Alif buat minta nomor gue. Terus, masa gue disuruh main ke rumahnya, nginap segala. Makanya tadi gue langsung nanyain si kembar dan buru-buru nutup telepon.”
Lila berdecak kagum, “Wah, parah ya cara Kak Alif ngedeketin lo, lewat nyokapnya. Maura mana bisa nyidang emaknye si Lempeng.”
Acha malah ketawa, “Cerdas dong dia, berarti.”
Maura langsung pasang wajah serius, “Yang penting dia nggak macem-macemin lo, Nas. Selama ini yang gue sabet tuh buaya, playboy, preman, penggoda, pokoknya semua yang cirinya kayak gitu. Kalau cowok baik-baik mah aman, tuh Lila aja sekarang sama Kafka, kecuali kalo dia macem-macem, baru gue libas!”
Kami semua ngakak. Malam itu, PR kelar lebih cepat dari biasanya. Setelah itu, kami rumpi sampai tengah malam: bahas model baju lucu, rencana ikut audisi bareng Acha, film baru di bioskop, sampai ngebahas Kafka, cowoknya Lila, si Lempeng, dan cowok-cowok lain yang berani deketin kami.
Kami bukan tipe geng yang posesif soal pacar. Setiap keputusan tetap di tangan masing-masing, tapi kami selalu saling jaga dan dukung. Kalau ada yang salah jalan atau ketemu cowok aneh, pasti diingetin. Kalau ada yang baik, didukung penuh. Ekskul kami beda-beda, pilihan hidup kadang beda, tapi satu hal yang pasti: kami selalu ada buat satu sama lain. Bebs, love you full!
Malam itu, sebelum tidur, aku sempat cek lagi chat dari Alif yang cuma singkat dan datar. Tapi, karena nggak ada balesan lagi aku jadi bete, ku matikan HP lalu tutup mata siap berangkat ke pulau kapuk.
TBC
Semoga aku makin konsisten yaa. 23 April 2025
Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip
Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.
Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh
Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang
Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb
Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus