Share

4

Penulis: Nalika Maurad
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-18 17:05:02

Aku nggak tahu kenapa pagi ini, waktu duduk bareng geng di kantin, tiba-tiba mulutku nyeletuk,

“Mau cobain clubbing nggak?”

Sejenak, suasana jadi hening. Teman-temanku, yang biasanya heboh, kali ini cuma melongo. Bahkan Maura, yang biasanya paling berani, cuma ngelirik aku kayak aku baru aja ngomong hal paling aneh sedunia.

“Nanas, lo kesurupan apa sih?” Acha akhirnya yang pertama buka suara, matanya membulat, ekspresi khawatir.

“Tau nih, lo kesambet iblis mana? Otak lo makin geser ya?” Lila ngetok pelan kepalaku, seolah mau ngecek isinya masih waras apa nggak. Hei, gini-gini juga aku masuk 10 besar di kelas

Aku cuma bisa nyengir. “Gue cuma penasaran, guys. Sumpah, ini gara-gara kebanyakan baca novel online. Di cerita-cerita itu, cewek-cewek sering banget nemu cinta sejati di club malam. Siapa tahu, kan?”

Maura langsung geleng-geleng kepala. “Nggak, Nas. Lo nggak boleh ke tempat kayak gitu. Gue males kalo harus ngejagain lo. Apalagi kalo lo udah tebar killer smile, bisa-bisa satu club chaos!”

Aku ngeluarin jurus muka memelas, “Yaelah, gue cuma mau liat doang, kok. Nggak bakal minum, nggak bakal flirting, apalagi pulang tengah malam. Please, sekali aja, demi rasa penasaran gue.”

Maura mendengus, “Eh, ni anak malah ngotot. Istighfar, Nas, yang banyak.”

Acha ikut-ikutan, “Kalo mau nyemplung dosa, jangan ngajak-ngajak, dong.”

Lila juga nggak mau kalah, “Bandelnya lo tuh, Nas, parah banget. Pas hamil lo, Tante Dian ngidam apa sih?”

Mereka ninggalin aku sendirian di meja. Tapi aku nggak menyerah. Selama beberapa hari, aku terus bujuk mereka. Aku tahu, mereka bukan tipe yang gampang tergoda, tapi kalau aku bisa kasih alasan yang cukup logis dan janji nggak bakal macam-macam, pasti mereka luluh juga.

Sebenarnya, ada yang lebih dari sekadar “penasaran” di balik keinginanku ini. Hidupku, selama ini, terlalu lurus. Sekolah, les, nongkrong di kafe, belajar, tidur, repeat. Kadang aku iri sama karakter fiksi yang hidupnya penuh warna, penuh kejutan, selalu punya cerita seru buat diceritain ke cucu nanti. Aku cuma pengen tahu, apa bener dunia malam itu se-wow di novel? Atau cuma mitos doang?

Akhirnya, setelah sidang panjang, mereka luluh juga, tentu saja dengan syarat super ketat:

Nggak boleh pakai baju seksi atau dandan berlebihan.

Nggak boleh minum alkohol atau obat apapun.

Dilarang menerima apapun dari siapapun kecuali kita berempat.

Dilarang ngobrol sama cowok mana pun.

Nggak boleh misah, harus selalu bareng.

Nggak boleh tebar pesona ke siapa pun.

Hanya boleh sampai jam 11 malam.

Aku setuju. Demi rasa penasaran, semua aturan itu aku jalani.

Hari H, kami berempat naik mobilku. Sepanjang jalan, suasana campur aduk: deg-degan, excited, takut ketahuan orang tua. Maura sempat ngingetin, “Kalo ada yang aneh-aneh, kita langsung cabut, ya!”

Begitu sampai di club, suasananya langsung beda. Musik keras, lampu warna-warni, bau asap rokok, orang-orang nari nggak jelas, bahkan ada yang ciuman di tengah dance floor. Aku langsung ngerasa out of place. Kami berdiri di pojokan, melongo kayak anak desa baru masuk kota. Tangan aku dingin, Acha udah mulai panik, Lila sibuk merapikan rok, Maura pasang muka galak.

Baru aja kami mau coba-coba dance, tiba-tiba ada cowok asing nyamperin, nawarin minuman. Aku langsung mundur, Maura narik tangan aku, “Nggak, makasih!” Cowok itu cuma nyengir, terus pergi.

Aku mulai sadar, dunia malam itu nggak kayak di novel. Ada aura bahaya yang nggak kelihatan, tapi nyata. Beberapa kali aku lihat cewek-cewek yang keliatan lebih tua dari kami, berdandan menor, ketawa keras sambil peluk cowok yang bahkan nggak mereka kenal. Ada juga yang keliatan mabuk, jalannya oleng, dan nggak ada yang peduli.

Tiba-tiba, aku ngerasa takut. Bukan takut dimarahin orang tua, tapi takut sama diri sendiri yang ternyata gampang banget terpengaruh. Aku cuma pengen tahu, tapi ternyata risiko dan suasananya jauh dari ekspektasi.

Belum ada 15 menit, kami langsung mutusin buat pulang. Tapi baru aja niat mau cabut, eh, kami ketahuan sama kakaknya Lila, Mas Beni, yang langsung narik kami keluar dengan muka emosi.

Sepanjang jalan pulang, suasana di mobil hening. Aku bisa ngerasain detak jantungku makin kenceng. Aku tahu, kali ini aku benar-benar kebablasan.

Sampai rumah Lila, kami langsung disambut Mami Lila dan Mas Beni. Ceramah panjang pun dimulai.

Lila berusaha membela, “Mami, sumpah, baru kali ini ke sana, dan belum sepuluh menit udah pulang, Mi. Kita juga kaget ternyata club kayak gitu.”

Mas Beni nambahin, “Iya, Mi, mereka tuh kayak orang dikasih shock therapy. Aku juga dikasih tahu temen kalau ada empat cewek cantik deket pintu masuk yang tampangnya mirip anak ndeso. Aku perhatiin, eh, ternyata Lila sama temen-temennya. Langsung aku seret pulang.”

Tante Meli tetap marah, “Uang jajan kamu Mami potong, dan kamu, Lila, nggak boleh ke mana-mana sebulan tanpa pengawasan!”

Om Wira akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tapi tegas.

“Kalian tahu nggak kenapa orang tua khawatir kalau anaknya pergi ke tempat seperti club malam? Bukan cuma soal aturan, tapi lebih karena kami khawatir pada risiko yang mungkin kalian nggak sadari. Dunia malam itu bukan cuma soal musik dan dansa, tapi juga ada bahaya-minuman, obat-obatan, orang asing yang niatnya nggak selalu baik. Kalian sadar nggak soal itu?”

Aku menunduk. “Kita cuma penasaran, Om. Di cerita-cerita kayaknya seru, tapi ternyata… malah bikin takut. Kita nggak minum apa-apa kok, cuma lihat-lihat sebentar.”

Tante Meli melembutkan suara, “Mami tahu kalian remaja, pasti ingin coba hal baru. Tapi coba pikir, kalau terjadi sesuatu yang nggak diinginkan, siapa yang paling khawatir? Kalian mungkin merasa kuat, tapi kadang satu keputusan kecil bisa berdampak besar. Kami nggak mau kalian menyesal.”

Acha ragu-ragu mengangkat tangan. “Tante, Om… kalau kita mau coba hal baru, gimana caranya biar tetap aman? Kadang kita takut dibilang anak kecil kalau selalu nurut, tapi juga takut salah langkah.”

Om Wira tersenyum. “Itu pertanyaan bagus, Cha. Justru kami ingin kalian terbuka. Kalau penasaran atau mau coba sesuatu, bicarakan dulu sama orang tua, kakak, atau orang dewasa yang kalian percaya. Bukan buat dilarang, tapi supaya bisa diarahkan dan diawasi. Kalian tetap boleh punya pengalaman, tapi pastikan ada yang menjaga dan tahu batasannya.”

Lila pelan, “Kadang kita takut cerita, Om. Takut dimarahin, takut nggak dipercaya…”

Tante Meli menghela napas. “Kami ini orang tua kalian dan berpengalaman kok, supaya bisa jadi tempat cerita buat kalian. Kami ingin kalian percaya, kalau ada apa-apa, lebih baik jujur daripada diam-diam. Kepercayaan itu dua arah, kalian terbuka, kami juga harus belajar mendengarkan tanpa langsung menghakimi.”

Maura menatap Om Wira, “Kalau misal kita salah, boleh nggak kita jelasin dulu sebelum dimarahi?”

Om Wira mengangguk. “Tentu boleh. Justru itu yang kami harapkan. Kalian boleh jelaskan alasan kalian, kami juga akan jelaskan sudut pandang kami. Kalau memang salah, ya tetap ada konsekuensi, tapi kami ingin kalian paham kenapa itu salah, bukan cuma takut dihukum.”

Aku pelan, “Jadi, Om, kalau kita penasaran sama sesuatu, lebih baik ngomong dulu ya? Walaupun takut dilarang?”

Om Wira tersenyum. “Lebih baik ngomong. Kalau memang berbahaya, kami akan jelaskan risikonya. Kalau masih bisa dicoba dengan aman, kami akan bantu awasi. Yang penting, kalian tahu batas, dan kami tahu apa yang kalian lakukan.”

Tante Meli menambahkan, “Dan satu lagi, jangan bandingkan hidup kalian dengan cerita di novel atau media sosial. Setiap orang punya jalan sendiri. Jangan sampai penasaran sesaat bikin kalian kehilangan kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun.”

Acha tersenyum lega. “Makasih, Tante, Om. Kita janji, lain kali bakal cerita dulu sebelum nekat.”

Om Wira menutup diskusi dengan bijak. “Bagus. Kami juga janji akan lebih terbuka dan mendengarkan. Kalian remaja, kami pun pernah muda. Tapi kami ingin kalian tumbuh jadi dewasa yang tahu mana yang baik untuk diri sendiri dan keluarga. Tapi Maminya Lila tetap akan menghubungi orang tua kalian mengenai kejadian malam ini. Lila juga tetap dapat hukuman.”

Malam itu, aku dan sahabat-sahabatku tidur dengan perasaan lega, meski tetap ada rasa bersalah dan takut menunggu kabar dari rumah masing-masing. Tapi aku tahu, malam ini aku belajar sesuatu yang lebih mahal dari sekadar uang jajan yang dipotong atau tahanan rumah.

Gue kira clubbing itu seru, kayak di novel. Nyatanya, cuma bikin aku sadar: nggak semua rasa penasaran harus dicoba. Ada hal-hal yang memang cukup jadi cerita orang lain, bukan pengalaman sendiri. Kadang, jadi anak baik itu bukan soal takut dihukum, tapi tahu kapan harus berhenti.

Aku juga belajar, sahabat itu bukan cuma buat seru-seruan bareng, tapi juga buat narik aku balik ke jalan yang benar saat aku mulai melenceng. Dan orang tua? Mungkin kadang cara mereka keras, tapi semua itu karena mereka nggak mau aku jatuh di lubang yang sama. Besok, aku harus minta maaf ke Papa dan Mama. Aku nggak mau lagi bikin mereka kecewa.

Dan satu hal lagi: aku janji, ini clubbing pertama dan terakhir aku.

Pagi harinya, suara notifikasi W******p masuk. Ternyata dari Mama.

“Nanas, Ada yang mau Mama bicarakan!!!”

Jantungku langsung berdebar. Sepertinya, efek clubbing semalam belum benar-benar selesai...

Nalika Maurad

28 April 2025 tetap dukung aku ya

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah Muda   13

    Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip

  • Menikah Muda   12

    Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.

  • Menikah Muda   11

    Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh

  • Menikah Muda   10

    Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang

  • Menikah Muda   9

    Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb

  • Menikah Muda   8

    Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status