Share

5

Author: Nalika Maurad
last update Last Updated: 2021-04-18 17:05:36

Di perjalanan pulang, aku nyetir mobil dengan hati kacau. Takut, cemas, dan nggak tahu harus berharap apa dari Mama dan Papa. Aku tahu aku salah, dan kali ini benar-benar nggak ada alasan. Rasanya, ini kenakalan paling nekat yang pernah aku lakukan.

Begitu sampai rumah, aku masuk seperti zombie. Mama dan Papa sudah duduk di ruang tamu, wajah mereka tegang, seolah siap mengeksekusi aku. Aku langsung duduk bersimpuh di lantai, menunduk dalam-dalam.

“Ma, Pa, ampuni aku. Aku tahu aku salah. Aku janji nggak bakal ulangi lagi,” suaraku pelan, bergetar.

Mama langsung bicara, nadanya tinggi, “Kamu pikir kamu kemana malam minggu kemarin?! Itu bukan tempat nongkrong anak kecil kayak kamu! Lama-lama kamu makin ngelunjak sama orang tua. Mama nggak pernah ngajarin kayak gitu!”

Aku cuma bisa nangis, meratapi nasib. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Papa menghela napas, lalu menatapku dengan suara tenang tapi dingin, “Nazilla Atsira Chandra, Papa mau tahu apa yang kamu lakukan tadi malam?”

Aku paling takut kalau Papa dan Mama sudah sebut nama lengkapku. Itu artinya, masalahku benar-benar besar.

Aku cerita semuanya. Tentang clubbing, tentang dimarahi Maminya Lila, wejangan Papinya Lila. Dalam hati aku berharap Papa bisa kayak Papinya Lila, yang lebih banyak menasihati daripada menghukum.

Setelah aku selesai, aku berkata pelan, “Aku bersalah, aku terima kalau uang jajan dipotong sebulan, mobil aku disita seminggu, nggak dibolehin keluar rumah seminggu. Aku terima, please Ma, Pa. Aku mohon.”

Papa menghela napas panjang. “Tadinya Papa memang mau menghukum kamu seperti itu, tapi karena kamu sudah Papa jodohkan dan akan menikah dalam waktu dekat, Papa pikir kamu sudah cukup mendapat pelajaran semalam. Papa setuju dengan Papinya Lila.”

Kalimat Papa seperti petir di siang bolong. Aku membeku. “APA??? Pa jangan bercanda deh. Please, nggak dapat jajan sebulan juga aku oke, mobil disita sebulan juga nggak papa. Tadi aku salah dengar kan, Ma?”

Mama menggeleng pelan. “Nggak, Nak, kamu nggak salah dengar.”

Aku nggak percaya. “Gimana bisa Mama Papa jodohin aku cuma karena kenakalan kayak gini? Kalau aku nyusahin Mama Papa, nggak begini Ma Pa, aku janji aku akan berubah, aku nggak akan nakal lagi. Apa Mama sama Papa udah nggak sayang lagi sama aku, sampai tega ngebuang aku? Apa segitu...”

Sumpah, hati aku sakit banget, kayak kaca dilindas buldoser. Belum selesai aku ngomong, Mama langsung meluk aku erat.

“Nggak gitu, Nas. Mama sama Papa sayang banget sama kamu. Kamu satu-satunya anak perempuan kami. Kami cuma mau yang terbaik buat kamu, jangan pernah bilang kamu dibuang, Nak. Kamu putri kesayangan Mama Papa selamanya.”

Tapi aku masih nggak percaya. “Aku nggak percaya ini semua terjadi sama aku. Masa dalam waktu dekat ini aku akan menikah sama orang nggak jelas antah berantah. Ma, Pa, umur aku belum sebulan tujuh belas. Aku masih kecil, masih pengen main, masih pengen sama Papa Mama. Masa tega nikahin aku sama om-om tua, gendut dan jelek, atau om-om cakep berhati iblis. Mama tega banget liat aku sengsara seumur hidup sama dia. Iya kalo nanti bisa jinak, kalo nggak kan aku yang menderita.”

Aku ngomong sambil nangis, keinget semua sinetron dan novel yang aku baca. Tak pernah terlintas hidup aku bakal sedrama ini.

Papa tiba-tiba tertawa pelan. “Kamu ngelindur, Nas. Imajinasi kamu ketinggian, Nak. Nanas, kamu Papa jodohkan sama Alif, anak temannya Papa.”

“AP... APPAAAA??” saking shocknya, pandangan aku mengabur, kepala ringan, dan... gelap. Aku pingsan.

Pas aku sadar, aku sudah di kamar, di atas kasur. Mama dan Papa kelihatan khawatir banget, tapi aku masih sakit hati. Bisa-bisanya Papa Mama jodohin aku sama si Lempeng. Aku nggak terima. Aku pikir, kalaupun dijodohkan, setidaknya sama CEO tampan muda dan kaya raya, walaupun cool, sok jaim, dan ngeselin kayak di novel. Tapi ini... Alif?

“Nak, kamu sudah sadar? Nih, minum dulu.” Mama menyodorkan segelas air.

Aku duduk pelan, menahan perasaan. “Pa, kita berdua tuh masih SMA, nggak mungkin nikah. Nyari yang lain aja deh, Pa. CEO muda dan cakep aja belum tentu aku mau, apalagi si Alif.”

Papa menatapku serius. “Nanas, dengerin dulu penjelasan Papa dan jangan menyela. Papa mau yang terbaik buat kamu, kamu putri kesayangan Papa. Papa nggak bisa lihat kamu sama orang yang Papa nggak percaya. Dan menurut Papa, Alif calon suami terbaik buat kamu. Kami nggak mau menyesal nanti. Papa takut dengan dunia pergaulan zaman sekarang. Papa nggak bisa ada 24 jam di samping kamu, ngejagain kamu. Papa butuh orang lain yang bisa Papa percaya buat jagain kamu. Papa ngeri melihat betapa banyak hal buruk terjadi di luar sana. Papa nggak mau itu terjadi sama kamu. Papa sangat mencintai kamu, teramat sangat. Papa tahu Papa egois...”

Aku udah nggak sanggup lagi denger penjelasan Papa. Aku terharu, tapi juga masih nggak terima. Air mataku jatuh lagi, campur aduk antara marah, kecewa, takut, dan bingung.

Tapi akhirnya, pelan-pelan aku mulai paham. Aku peluk mereka sambil nangis sesenggukan. “Aku mau, Pa, aku mau menikah dengan Alif. Papa Mama jangan khawatirin aku lagi. Aku janji nggak bakal nakal lagi. Aku akan selalu nurut Mama Papa. Aku cinta sama Mama Papa. I love you full.”

Setelah itu, Mama menyuruh aku makan. Aku makan dengan perasaan aneh, antara pasrah dan masih nggak percaya.

Setelah makan siang, aku main sama adik-adikku di halaman. Aku sadar, aku bakal kangen momen kayak gini. Sore harinya, aku buka grup chat sahabat.

[Besties 4ever]

Nanas: Gimana kabar kalian hari Minggu ini?

Lila: Ya lu semua kan udah tau hukuman gue dari semalem.

Maura: Kalo gue mah dimarahin abis-abisan, kaki gue dipukulin bokap, uang jajan dipotong, tahanan rumah dua minggu.

Acha: Gue semua fasilitas sebulan dicabut dan jadi tahanan rumah sebulan. Eh kaki lo gimana, Ra, bengkak nggak?

Maura: Enggak, cuma merah doang. Nas, lu gimana?

Nanas: Uang jajan dipotong sebulan, jadi tahanan rumah dua minggu, untungnya mobil gue nggak disita kuncinya.

Rasanya pengen cerita semuanya, tapi aku nggak bisa. Akhirnya aku ketik: Gue lagi takut banget, guys. Gue ngerasa kayak semua berubah, hidup gue kayak bukan gue yang jalanin. Gue takut masa depan gue bakal aneh, takut kehilangan masa remaja, takut nggak bisa bebas lagi kayak dulu. Kalian pernah ngerasa kayak gini nggak sih?

Lila: Santai aja, Nas. Semua orang pasti pernah ngerasa takut soal masa depan. Tapi lo nggak sendirian, ada kita kok. Kita bareng-bareng, ya.

Maura: Iya, Nas. Kadang hidup emang nggak adil, tapi kita harus kuat. Kalo lo mau cerita, cerita aja. Jangan dipendem sendiri.

Acha: Lo nggak sendiri, Nas. Kita temen lo, kita dukung lo apapun yang terjadi. Kalo lo pengen nangis, nangis aja. Gue siap dengerin.

Nanas: Makasih, guys. Gue cuma... takut aja. Takut semua berubah, takut kehilangan kalian juga. Gue nggak tahu harus gimana.

Lila: Lo nggak bakal kehilangan kita, Nas. Kita besties forever, inget! Kalo lo mau kabur dari rumah, kabarin aja, kita culik lo ke rumah gue. Nggak usah mikirin yang berat-berat dulu.

Maura: Kapan-kapan kita hangout lagi, ya, biar refreshing pikiran. Janji, abis hukuman selesai, kita seru-seruan bareng.

Acha: Semangat, Nas. Lo kuat kok. Kita semua di sini buat lo.

Aku menatap layar, air mata menetes lagi. Tapi kali ini, ada rasa hangat di dada. Setidaknya, aku nggak sendirian. Aku punya mereka, sahabat yang selalu siap dengerin, bahkan tanpa harus tahu semua rahasia terdalamku. Setelah itu aku nggak bales lagi chat-nya. Aku malah kepikiran pernikahan aku sama si Lempeng. Aku masih nggak terima, emang nggak bisa nunggu aku lulus SMA dulu? Aku bakal malu kalau sampai ketahuan udah nikah. Belum lagi aku bakal dibully abis-abisan, apalagi sama fans gaje-nya si Lempeng. Terus gimana nasibnya Zafran, temen SMP yang lagi deketin aku diam-diam?

Aku mulai nangis lagi. Rasanya semua jadi serba salah. Malam itu aku tertidur dengan air mata yang belum kering.

Pagi-pagi Mama membangunkan aku, “Nanas, bangun, Nak.”

Aku langsung bilang, “Ma, aku nggak enak badan, aku bolos ya hari ini,” dengan suara sengau khas orang habis menangis.

Mama kelihatan iba, akhirnya mengizinkan aku istirahat di rumah. “Kamu istirahat aja dulu, jangan banyak mikir yang aneh-aneh. Mama mau turun urusin adik-adik sama Papa. Nanti Mama ke sini lagi.”

Aku cuma mengangguk dan menarik selimut. Setelah beberapa jam, Mama balik lagi ke kamar.

“Nas, Mama tahu kamu sakit hati dan kecewa sama keputusan Mama Papa. Tapi percayalah, Nak, kami ingin yang terbaik buat kamu. Kami juga nggak mau kamu merasa terpaksa. Kalau kamu benar-benar belum siap, Mama dan Papa akan pikirkan lagi. Tapi kamu juga harus buktikan, kamu bisa jaga kepercayaan kami.”

Aku mengangguk, suara masih serak. “Aku ngerti, Ma. Aku janji bakal berubah. Aku nggak mau bikin Mama Papa khawatir lagi. Tapi... boleh nggak, kalau memang harus menikah, tunggu aku lulus sekolah dulu?”

Mama tersenyum, memelukku. “Mama akan bicara lagi sama Papa. Tapi kamu juga harus lebih terbuka, jangan ada yang disembunyikan lagi.”

Beberapa hari berikutnya, suasana rumah mulai mencair. Papa dan Mama benar-benar mengajakku diskusi, bukan sekadar memberi perintah. Kami bicara soal masa depan, soal ketakutan dan harapan. Aku mulai belajar, ternyata orang tua juga butuh didengarkan, bukan cuma didengar.

Aku juga mulai berdamai dengan diri sendiri. Aku tahu, hidup nggak selalu berjalan sesuai keinginan. Tapi aku percaya, selama aku jujur dan terbuka, aku nggak akan sendirian.

Malam itu, aku menulis di diary:

Ternyata, jadi dewasa itu nggak semudah yang aku bayangkan. Kadang, keputusan orang tua memang bikin sakit hati, tapi mereka juga manusia yang takut kehilangan anaknya. Aku belum tahu apa aku siap menikah muda, tapi aku tahu, aku nggak sendirian. Aku punya keluarga, sahabat, dan waktu untuk belajar menerima.

Aku nggak tahu masa depan kayak apa, tapi untuk sekarang, aku cuma ingin jadi anak yang bisa dipercaya. Dan mungkin, itu langkah pertama menuju dewasa yang sebenarnya.

Nalika Maurad

28 April 2025

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Muda   13

    Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip

  • Menikah Muda   12

    Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.

  • Menikah Muda   11

    Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh

  • Menikah Muda   10

    Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang

  • Menikah Muda   9

    Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb

  • Menikah Muda   8

    Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status