Share

3. Kawin kontrak

😊 selamat membaca~~~

***

Berbulan-bulan kemudian, setelah Kaori dan Davin menyelesaikan pendidikan sarjananya, pertemuan keluarga kembali dilakukan. Seperti sebelumnya, untuk mengatur perjodohan keduanya yang masih tertunda akibat penolakan Kaori maupun Davin waktu itu.

"Jadi, gimana? Apa kalian masih menolak perjodohan ini?" Kintan memulai sesi pertanyaannnya.

Kaori dan Davin mengangguk kompak.

"Apa belum cukup waktu enam bulan untuk memikirkan keputusan kalian itu? Kami sudah cukup sabar untuk menunggu kepastian dari kalian loh ini, Kaori, Davin...." Bella menimpali dan mendengus frustasi.

"Ma, keputusannya kan udah jelas. Kaori nggak mau nikah sama Davin. Kami juga nggak saling cinta. Buat apa coba nikah tanpa cinta?" protes Kaori, nyaris putus asa. Rasanya dia sudah lelah untuk berkata tidak setiap kali mamanya memaksanya untuk menerima perjodohan itu. Padahal sudah berkali-kali pula Kaori menolaknya mentah-mentah.

Lagian, apa bagusnya sih si Davin? Sampai mamanya pengen banget punya menantu kayak dia? Kalau soal tampan dan mapan, Kaori bisa dapat yang lebih kok dari Davin.

"Kalian kan udah sering bareng dari SD, Ri. Dari dulu satu kelas terus. Sampai kuliah kemarin juga bisa kebetulan gitu satu fakultas. Pastinya kalian sudah saling mengenal satu sama lain, kan? Tante yakin deh, kalau Davin bakal berubah lebih baik kalau dia punya partner kayak kamu. Iya, kan, Dav?" Kintan menoleh menatap anak sulungnya itu dengan penuh harap.

Davin tidak menjawab, pandangan tertuju lurus-lurus pada Kaori yang menatapnya tajam.

"Gimana ya, Ma. Davin kan udah punya pacar, dan Davin juga serius sama dia. Jadi...," Davin menghela napas, "Davin nggak bisa terima perjodohan ini."

Kaori mengangguk. "Kaori juga udah punya pacar, Ma, Tante. Jadi, Kaori juga nggak bisa terima perjodohan ini."

Bella dan Kintan berpandangan. Keduanya sama-sama memasang ekspresi kecewa. Sementara itu para suami hanya mengedikkan bahu, tidak tahu harus mengatakan apa lagi karena toh kedua anak mereka sudah dewasa dan berhak menentukan pilihan sendiri. Hanya saja, baik Kintan maupun Bella bersikeras untuk tetap menjodohkan anak-anak mereka karena itu adalah keinginan keduanya sejak dulu.

"Maaf, ya, Bel, anakku nggak mau nikah sama anak kamu, hiks." Kintan mengelap air matanya yang merembes bak hujan deras.

Bella ikut mengusap air matanya yang berlinang. "Maafin aku juga ya, Kin. Davin nggak mau nikahin Kaori. Sebaiknya kita lupakan aja impian buat nikahin anak-anak kita, hiks... hiks."

Kaori dan Davin sama-sama mendecakkan lidah melihat drama yang terjadi di depan mata mereka saat ini. Mereka pikir dengan akting nangis kayak gitu, bakal membuat keduanya luluh? Tydack semudah itu.

"Ma, udahlah, Ma, nggak usah drama gitu deh." Kaori mengusap-usap punggung mamanya dengan penuh perhatian.

"Nggak tau deh. Mama nggak ngerti lagi gimana caranya ngomong sama kamu." Bella lantas beranjak, meninggalkan ruang tamu. Kepergiannya tak lama disusul sang suami.

"Mami juga udah capek." Kintan lalu menatap Kaori dalam-dalam. "Kaori, Tante nggak pernah lo sesayang ini sama anak-anak teman Tante. Tapi, kamu itu udah Tante anggap kayak anak sendiri. Tante dari dulu berharap banget kamu bisa jadi menantu Tante. Tapi, ya udah, kalau kalian nggak mau...." Kintan pun berlalu, masih dengan berlinang air mata.

Kaori tertegun melihat bagaimana Kintan menatapnya. Kaori tidak mungkin salah kalau baru saja dia melihat kesungguhan di mata wanita itu. Ada kekecewaan yang tersirat di sana, yang tak disangka-sangka menimbulkan rasa bersalah di hati Kaori. Memang, sejak dulu, Kintan sangat baik padanya. Beliau memperlakukan Kaori dengan sangat baik dan penuh kasih sayang, layaknya seorang ibu yang menyayangi anaknya sendiri.

Tapi, haruskan Kaori membalas semua kasih sayang itu dengan cara menikahi anaknya? Yang jelas-jelas Kaori benci?

"Pi, ini kok jadi gini, sih?" Davin bertanya pada ayahnya masih duduk tenang di depan mereka.

Surya tersenyum lebar. "Coba pikirkan lagi baik-baik keputusan kalian ini. Orangtua tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Apa salahnya untuk belajar menerima satu sama lain? Papi rasa kalian ini akan berjodoh."

Kaori dan Davin saling pandang sejenak, sebelum Davin lebih dulu mengalihkan pandangannya.

"Nanti Davin pikir-pikir lagi."

Mendengar Davin berkata begitu, Kaori juga mengangguk setuju. "Kaori juga mau pikir-pikir lagi, Om."

***

Angin sore berembus, menerpa wajah Kaori dan Davin yang duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon di halaman depan rumah Davin. Cukup lama keduanya tidak saling bicara. Mencoba memahami apa yang terjadi.

Pernikahan...

Kaori selalu memimpikan sebuah pernikahan yang sempurna. Di mana hubungan itu dijalani bersama orang yang dicintainya dan dilengkapi dengan sebuah ketulusan. Seseorang yang mau menghabiskan sisa waktu di hidupnya yang hanya satu kali ini. Menua bersama sampai maut memisahkan. Karena sejatinya, pernikahan bukanlah sebuah akhir perjalanan cinta. Pernikahan serupa dengan menjalani kehidupan yang baru, di mana setiap perjalanannya akan dibumbui oleh rasa pahit dan manis.

Apa jadinya kalau dia menikahi Davin? Seseorang yang bahkan tidak dia cintai sama sekali. Seperti apa kehidupan after married-nya nanti? Apakah dia akan bahagia? Tentu saja tidak. Sumber kebahagian adalah cinta, dan Davin tidak memiliki tempat di hatinya.

Di sisi lain, Davin pun menginginkan hal serupa. Dia akan menikah, tapi hanya dengan orang yang dicintainya. Memang sampai detik ini, Davin belum menemukan seseorang yang benar-benar mampu membuatnya tersenyum sepanjang hari dan membuatnya sulit tidur di malam hari. Tapi, dia yakin, cinta akan datang tepat pada waktunya.

Dan Kaori, sama sekali bukan calon istri idamannya. Kalaupun Davin nanti mau menikahinya, itu pasti jelas-jelas Davin sudah gila, atau otaknya sudah hilang entah ke mana.

Tapi, melihat ibunya yang terus memohon setiap hari padanya untuk menikahi Kaori, tak bisa dipungkiri itu membuatnya merasa bersalah.

"Gimana kalau kita terima aja perjodohan ini," ucap Kaori tiba-tiba, memecahkan keheningan.

"Hah?" Davin menganga.

Kaori mendelik. "Biasa aja nggak usah pake mangap kayak mau nelan orang gitu."

Davin buru-buru menutup mulutnya, lalu membukanya lagi dan bertanya, "Maksudnya, lo mau nikah sama gue, gitu?"

Kaori mengangguk. "Kita kawin kontrak."

"Hah?"

Gemas dengan reaksi Davin, Kaori segera menyumpal mulut cowok itu dengan tissue yang tadi dipakainya untuk mengelap ingus.

"Cuih!" Davin langsung meludah berkali-kali akibat tisu yang masuk ke mulutnya. "Lo ngajak gue kawin?"

"Kawin kontrak, bego! Kita nikah, tapi kontrak. Itu juga demi nyenengin orangtua kita doang kok. Nggak usah lama-lama, setahun aja gue rasa cukup."

Davin tertawa mendengus. "Gue nggak mau bohongin orangtua. Sori, tawaran lo gue tolak."

"Ini tuh juga demi kebaikan kita, Dav. Emangnya lo nggak capek apa disuruh nikah terus sama orang yang sama sekali nggak lo cinta? Mendingan kita nikah. Setelah setahun, kita pisah. Kita kasih alasan sama orangtua kita kalau perjodohan itu emang nggak baik. Akibatnya, perceraian!" jelas Kaori.

Sesaat Davin terdiam, memikirkan kata-kata yang dilontarkan Kaori dengan penuh keseriusan. Sebenarnya Kaori ada benarnya juga. Dia nyaris putus asa setiap kali mendengar ibunya merengek supaya ia mau menikah dengan Kaori. Davin sudah hampir mati bosan dan bahkan pernah berpikir untuk kabur dari rumah, meskipun pada akhirnya dia menyadari kalau dia adalah seorang laki-laki tangguh, bukan anak perawan yang labil. Itu sebabnya, Davin tetap tidak mau gentar meskipun sudah diiming-imingi dengan harta berlimpah yang dijanjikan kedua orangtuanya jika dia mau menikahi Kaori.

Lagian, apa istimewanya sih si Kaori ini? Udah kerjaannya gibah melulu di kelas, tukang tidur, pemalas. Masa yang model begini sih yang Maminya mau jadikan menantu? Heran. Kayak di muka bumi ini nggak ada perempuan lain aja.

Tapi, meskipun demikian, pada akhirnya, Davin berkata, "Oke, gue setuju. Kita kawin kontrak."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status