"Kenapa lo nggak coba buka hati lo aja buat si Davin? Bukannya waktu SMA lo sempat naksir dia, ya?"
Kaori menganga. "Wah! Gila lo! Dapat info dari mana tuh? Ngarang deh. Nggak mungkin gue naksir cowok kayak dia!"
“Udahlah, Ri, ngapain sih lo harus bohong sama gue? Gue sempat baca sendiri kok buku diary lo yang lo bakar beberapa tahun yang lalu itu.”
“Hah? Ngaco lo! Buku diary yang mana pula?”
“Haduh, udah deh. Tinggal jujur aja sama gue apa salahnya sih? Di situ jelas-jelas lo tulis, lo suka sama dia.”
Kaori terkesiap. Selama beberapa detik, dia terdiam, bingung harus mengatakan apa. “Kok lo baru bilang ini sama gue?” tanyanya.
“Karena gue nggak mau aja bikin lo merasa malu. Dan gue tau lo pasti nggak bakalan ngaku. Tapi, sekarang gue beneran serius nanya, kenapa sih lo bisa benci sama dia? Emangnya ada hal apa sampai-sampai lo nggak suka banget sama dia?”
Kaori ingin menjawab, namun tahu-tahu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka muncul. Ketika melihat Putri, dia tersenyum dan langsung melompat ke atas ranjang.
“Yang sopan dong, ada temen gue ini,” seru Kaori tak suka.
Davin mendelik. “Kenapa sih? Kan gue nggak lagi bugil.”
Kaori langsung menatap Putri yang mengulum senyum. “Tuh kan, Put! Denger sendiri kan lo dia ngomong apa? Nggak ada akhlaknya.”
Putri terkekeh. “Bener kok yang dibilang Davin. Orang dia nggak ngapa-ngapain juga. Biasa aja kali, Ri.”
“Lo kasih racun apa temen gue sampe dia belain lo mulu, hah?”
Davin mendecih. “Temen lo kenapa sih, Put? Kurang sajen apa, ya?”
Putri justru terkekeh-kekeh, merasa lucu melihat interaksi antara kedua pengantin baru di depannya itu. “Kalian ini berantem mulu deh. Kapan romantisnya, sih?”
Baik Kaori dan Davin sama-sama memasang ekspresi jijik.
“Ri, Dav….” Tiba-tiba Putri berdiri, menatap keduanya secara bergantian. Air mukanya serius. “Gue tau, nggak gampang menjalani pernikahan yang nggak kalian inginkan sama sekali. Tapi, pernikahan itu kan sesuatu yang sangat sakral. Dan nggak seharusnya kalian main-main sama hubungan ini. Gue berharap, suatu saat nanti, kalian bisa saling membuka hati untuk saling jatuh cinta, mungkin?”
Davin menolehkan pandangannya pada Kaori dan bertanya, “Sebentar. Lo kasih tau dia soal kita yang sebenarnya?”
Kaori mengangguk tanpa merasa perlu memberi penjelasan.
“Lo mau semua orang tau soal pernikahan kontrak kita?”
“Gue cuma kasih tau Putri sama Kafka doang, kok.”
“Hah? Kafka tau, Ri? Seriusan lo?” tanya Putri tak habis pikir.
“Iya, gue kasih tau dia.”
“Buat apa, Ri? Lo mau balikan lagi sama dia?”
Kaori tak langsung menjawab, sehingga Davin menyela, “Pokoknya gue nggak mau tau. Nggak ada satu orang pun lagi yang boleh tau soal nikah kontrak kita ini. Cukup kita, Putri, dan mantan lo itu!”
Kaori mendecih. “Iya, iya.”
Putri mengulum senyum. Ia melirik Davin yang kemudian kembali merebahkan dirinya ke ranjang dengan posisi tengkurap. Putri lalu membungkuk, berbisik pada Kaori, “Lo diapain aja sama si Davin kemarin malam?”
“Apaan sih. Gue sunat tuh dia sampe ke tulang-tulangnya kalau sampe berani macem-macemin gue.”
“Ya ampun, Ri, cowok kayak Davin lo sia-siakan. Lagian kan kalo ngapa-ngapain sama dia juga nggak dosa. Nikmati ajalah.”
Walaupun Putri mengatakannya sambil berbisik-bisik, Davin masih bisa mendengar percakapan mereka meskipun agak samar-samar.
"Idih, apaan sih lo, Put. Mendingan gue jadi perawan tua daripada harus diapa-apain sama dia."
"Hati-hati lo kalo ngomong, ucapan itu sebagian dari doa."
Kaori meraup wajah Putri dengan tangannya. "Kebanyakan ngomong lo. Mendingan ambilin gue makanan gih sana! Pengen ngemil gue."
"Okey." Putri bangkit, sebelum pergi, dia menoleh menatap Davin, "Lo mau apa, Dav? Mau gue ambilin juga nggak?"
"Enggak, makasih," jawab Davin singkat.
"Okey." Putri lantas berlalu.
Satu menit kepergian Putri, Davin bangun dan berjalan menghampiri Kaori. "Gue heran sama lo, kenapa segampang itu lo kasih tau rahasia kita ke orang-orang. Kalo sampe mereka bilang ke yang lain, gimana?"
"Putri sama Kafka nggak gitu. Mereka dua orang yang bisa gue percaya," jawab Kaori lugas.
Tak disangka-sangka, Davin memajukan wajahnya sehingga bibir mereka nyaris saja bersentuhan kalau Davin tidak berhenti. Mata Kaori membelalak dan bibirnya berkedut. Dia juga menelan ludah susah payah ketika melihat bibir Davin yang begitu dekat dengan wajahnya sehingga dia bisa merasakan hembusan napasnya.
"Kalo sampe hal itu bocor ke orang lain lagi, bahkan sampe ke telinga orangtua kita... gue nggak bakal segan-segan buat —"Davin tersenyum menyeringai—"lo tau apa maksud gue."
Kaori bergidik ngeri. "Lo mau macem-macem sama gue?"
"Kenapa enggak? Lo kan istri gue. Sah di mata hukum agama dan negara. Kalo gue apa-apain juga nggak dosa. Gue berhak atas diri lo. Se-u-tuh-nya."
Kaori mendorong Davin. "Gila ya lo! Awas aja kalo sampe lo—"
Davin tiba-tiba menangkup wajah Kaori, lalu menariknya sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Dengan lembut, Davin mengecup bibir yang dilapisi lipstik merah muda itu.
Tepat pada saat ciuman itu terjadi, pintu membuka, Bella dan Kintan muncul di muka pintu.
"Eh?" Keduanya langsung salah tingkah.
Baik Kaori dan Davin sama-sama terkejut, mereka segera mengambil jarak dan ikutan salah tingkah.
"Aduh, maaf, ya? Nanti aja deh. Yuk, Bel!" Kintan menarik Bella dan mereka keluar sambil cekikikan.
Setelah pintu tertutup, Kaori langsung melayangkan tangannya untuk menampar Davin, namun rupanya gerakannya tersebut sudah terbaca oleh Davin sehingga Davin pun dengan cekatan menahan tangannya di udara.
"Nggak usah marah, Sayang. Gue punya hak untuk itu." Davin terkekeh-kekeh, seakan puas melihat ekspresi kesal Kaori yang tampak mengerikan. "Dan yang lainnya...." Davin lantas bersiul, memandangi seluruh tubuh Kaori.
"Jijik tau nggak!" Kaori langsung menendang bagian bawah milik Davin sekuat tenaga sampai cowok itu meritih kesakitan.
"Aw! Sakit, monyet!" Davin memegangi alat vitalnya tersebut sambil meringis. "Lo mau hancurin masa depan gue?"
"Kalo lo macem-macem sama gue, gue kebiri lo!" Dan Kaori segera membuang muka dengan napas tersengal-sengal akibat tak kuasa menahan emosinya.
Kurang ajar si Davin! Enak aja main nyosor anak orang!
Itu memang bukan ciuman pertamanya Kaori, tapi rasanya menjijikkan kalau Davin yang menciumnya. Iiiih! Rasanya pengen Kaori buang tuh cowok ke laut!
Kaori segera mengusap-usap bibirnya, seolah-olah sedang menghapus bekas bibir Davin di bibirnya.
"Biasa aja deh. Nggak beracun juga," tukas Davin, tanpa merasa bersalah.
Kaori melempar tisu bekas dia mengelap bibirnya ke wajah Davin. "Diam deh, daripada lo gue makan."
Davin tertawa terbahak-bahak, dan melompat ke atas ranjang. Kaori melihat setiap pergerakannya itu lewat cermin.
Sumpah ya orang ini, benar-benar menyebalkan. Kaori berharap semoga waktu cepat berlalu dan pernikahan kontrak mereka ini segera berakhir. Kaori tidak akan pernah mau menghabiskan sisa hidupnya dengan orang seperti Davin. Tidak akan.
***
"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya."Okey, udah," kata Putri kemudian."Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu."Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?""Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan ra
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."