Share

Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....
Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....
Penulis: Pena_yuni

Bab 1

"Aku tidak bisa menikah denganmu, Ra. Orang tuaku tidak merestui kita."

"Tapi kenapa?" tanyaku pada pria yang telah menanamkan sejuta bunga di taman hatiku.

Namun, saat bunga sudah bermekaran, kini dengan tanpa rasa bersalah, dia menginjak dan membuangnya dengan seenaknya.

"Kamu itu miskin, Raya. Kamu orang susah. Aku tidak akan merestui anakku, untuk menikah denganmu. Kamu hanya akan menyusahkan dia. Menggerogoti uangnya, dan menikmatinya dengan ibumu yang janda itu," ujar seorang wanita yang baru saja datang.

Deru ombak dan derasnya hujan menjadi saksi kepedihanku. Aku terjatuh terhempas pada duri yang sangat tajam.

"Jadi karena ini kamu memutuskan mengakhiri hubungan kita, Ga? Karena aku orang miskin?" tanyaku pada pria yang hanya menunduk tidak berani menatapku.

"Ra—"

"Masih nanya lagi? Kamu, tuh harusnya ngaca di cermin yang gede, bukan melihat dirimu di air yang keruh. Tidak akan nampak kejelekan dan kebusukanmu jika bercermin di air got. Sama-sama kotor! Pikiranmu kotor, mau memoroti uang putraku," ujar Bu Rahmi semakin menyakiti hati. Sedangkan putranya, hanya diam dengan tatapan sendu ke arahku.

Dua tahun aku menunggu kepastian. Dua tahun, aku mendambakan pernikahan. Tapi, akhirnya hanya ada perpisahan yang menyakitkan.

Jika saja aku tahu dari dulu, bahwa orang tua kekasihku tidak memberikan restu, tidak akan aku membuang waktu untuk menunggu kepulangannya. Menunggu dia yang menyelesaikan pendidikan di luar kota.

"Dengar Raya, cari laki-laki yang sepadan denganmu. Putraku tidak pantas berdampingan dengan wanita yang hanya lulusan SMA. Dia itu calon sarjana. Dia akan jadi seorang dokter, dan sudah seharusnya dia menikah dengan dokter juga. Bukan pelayan restoran sepertimu!" ujar Bu Rahmi lagi, seraya menekan dadaku hingga kaki ini mundur beberapa langkah ke belakang.

Wanita yang terus menatapku sinis itu mengapit lengan putranya, lalu membawa Arga pergi meninggalkanku yang diam di tempat.

Seperti orang bodoh, aku hanya berdiri menyaksikan kepergian mereka. Air mataku jatuh dengan deras, sederas air hujan yang turun membasahi bumi.

Ingin rasanya aku meraung dan berteriak sekencang mungkin. Bahagia yang kudambakan, ternyata harus berakhir dengan nestapa.

"Ra. Raya!"

Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat panggilan dan sentuhan tangan Ibu membangunkan diri ini dari lamunan masa lalu.

Lamunan tentang dia yang pernah menanamkan luka. Namun, luka itu kini sirna. Berganti dengan bahagia yang tiada tara, karena aku sudah menemukan penggantinya.

"Kenapa, Bu?" tanyaku dengan senyum manis pada Ibu.

"Ibu, mau tanya sekali lagi, Raya. Kamu yakin dengan pilihanmu?"

Wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu, duduk dengan anggun di depanku. Diambilnya tanganku, ditatapnya mataku dengan begitu lekat.

"In syaa Allah, Bu. Raya, yakin."

Kulihat Ibu mengembuskan napas dengan berat. Pertanyaan itu selalu Ibu tanyakan padaku. Bahkan, sekarang pun. Disaat waktu pernikahanku tinggal menghitung jam.

"Ini untuk yang terakhir kali Ibu bertanya. Kamu yakin, dengan pilihanmu?"

"Sangat yakin, Ibu," jawabku.

Sungguh, tidak ada keraguan dalam ucapanku. Aku memang sudah sangat siap menikah. Apa pun dan bagaimanapun keadaan suamiku nanti, aku akan menerimanya. In syaa Allah.

Tidak ada lagi kata dari bibir Ibu, ia mengusap surai hitam milikku yang baru saja disisir.

"Baiklah, Nak. Jika itu pilihanmu, Ibu bisa apa? Hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk putri Ibu," ucapnya bersiap untuk keluar dari kamarku.

"Ibu!" panggilku.

Wanita itu berbalik melihatku.

"Restui pernikahan kami, Bu."

"Tentu, Anakku. Restuku menyertaimu." Ibu menghampiriku, mengecup pucuk kepalaku sangat lama.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku sudah siap dengan riasan pengantin khas Sunda. Musik sudah dinyalakan untuk menyambut kedatangan calon pengantin pria beserta rombongan.

Ibu keluar dari kamarku untuk melihat persiapan pernikahan. Aku pun mengekor di belakang dia, lalu pergi ke dapur karena rasa haus membuat kerongkonganku terasa tandus.

"Si Raya, apa gak malu, ya punya pasangan kayak gitu?" ucap wanita yang paling tua diantara dua wanita lainnya.

"Iya, ya. Kalau aku, pasti malu banget. Ogah, nikah sama laki-laki macam calon suaminya si Raya." Naima sepupuku menimpali.

"Lebih baik jomblo, daripada malu seumur hidup."

"Mungkin matanya ketutupan ...," ujar Naima menggantungkan ucapannya saat melihatku ada di antara mereka.

Rasa haus yang tadi mendera, kini sirna. Aku kembali ke depan menghindari ucapan-ucapan yang membuatku merasa tidak nyaman.

Ucapan yang membicarakan fisik suamiku.

Iya, calon suamiku memang tidak seperti pria pada umumnya. Dia berbeda, dia istimewa dengan apa yang dimilikinya.

Setelah dari dapur, aku tidak lagi pergi ke kamar tempatku seharusnya berada. Aku memilih duduk di kursi plastik di bawah jendela seraya menikmati semilir angin dari luar sana.

"Eh, itu pengantinnya," seru seseorang di luar sana.

Aku ingin melihatnya, tapi tidak bisa. Jendela ini ditutupi kain hiasan dekorasi yang tidak bisa aku singkap dari dalam.

"Astaga ... ternyata calonnya si Raya seperti itu? Ih, aku takut lihatnya!"

"Ya Allah ... apa tidak ada pria lain di dunia ini hingga si Raya menjatuhkan pilihan pada pria yang ... Ih, serem!" timpal yang lainnya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Unie Willi
Lebih lengkap disini ya, Thor...???
goodnovel comment avatar
yt prem
yg penting hatinya tulus
goodnovel comment avatar
Gusti Abdul Nasir
kita jangan hanya memandang fisik seseorang.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status