Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....

Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....

Oleh:  Pena_yuni  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.8
43 Peringkat
274Bab
379.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Menikah dengan laki-laki berwajah lain daripada kebanyakan pria pada umumnya, adalah sebuah keputusan besar bagi Raihana Kamaya. Lingkungannya mencemooh, mengatakan kebodohan pada Raya, biasa dia dipanggil. Karena memutuskan untuk menikah dengan pria buruk rupa. Namun, hati Raya sangat yakin jika keputusan yang dia ambil memanglah sudah benar. Raya percaya, Raffi adalah pria yang baik, pria yang mampu menyembuhkan luka hatinya setelah menerima kekecewaan dari lelaki yang telah mengingkari janji untuk saling mengikat cinta dengan sebuah janji suci. Namun, ada sesuatu hal yang tidak Raffi bicarakan kepada Raya sebelum pernikahan itu terjadi. Hingga akhirnya, Raya dibuat kaget luar biasa dengan kenyataan tentang Raffi dan keluarganya.

Lihat lebih banyak
Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia .... Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
RisalL ErielL
berhalusinasi
2024-04-02 22:46:05
0
user avatar
Ai Rohayati
gemes bet ceritanya
2023-10-08 16:51:02
0
user avatar
Mamad Nazzo
tolong jangn dipersulit untuk pembaca lancarkan klo gak ada koin tak bisa baca
2023-07-25 15:58:31
12
user avatar
Mamad Nazzo
hhhuygfdssc
2023-07-25 15:57:02
0
user avatar
Mamatz Nazzo
tolong jgn persulit
2023-07-23 21:18:35
0
default avatar
Roza Rozadi
Ceritanya menarik
2023-07-11 12:57:24
0
user avatar
Luluk Latem
tiada lg sdh ka thorr xtra partnya...??
2023-06-24 19:25:56
0
user avatar
Luluk Latem
akhirnyaaaa.....love u thor.... ^_^
2023-06-07 14:34:51
1
user avatar
Luluk Latem
d tunggu xtra partnya ea thor.... ^_^
2023-06-05 14:56:04
1
user avatar
Luluk Latem
ksh buat anak si raya kembar 6 thor biar rare... :D
2023-05-31 14:35:12
1
user avatar
Luluk Latem
tiada extra part ka...??
2023-05-31 14:34:23
0
user avatar
Luluk Latem
ni hari tiada up ka thor...??
2023-05-23 20:19:49
0
user avatar
Linda Tumbol
mudah2an segera up lagi
2023-05-19 10:06:44
1
user avatar
Luluk Latem
gantung thorr up nya.... :(
2023-05-18 17:37:01
0
user avatar
Yusnita Rahmawati
per babnya pendek, tp koinnya banyak
2023-05-13 14:48:56
0
  • 1
  • 2
  • 3
274 Bab
Bab 1
"Aku tidak bisa menikah denganmu, Ra. Orang tuaku tidak merestui kita.""Tapi kenapa?" tanyaku pada pria yang telah menanamkan sejuta bunga di taman hatiku.Namun, saat bunga sudah bermekaran, kini dengan tanpa rasa bersalah, dia menginjak dan membuangnya dengan seenaknya."Kamu itu miskin, Raya. Kamu orang susah. Aku tidak akan merestui anakku, untuk menikah denganmu. Kamu hanya akan menyusahkan dia. Menggerogoti uangnya, dan menikmatinya dengan ibumu yang janda itu," ujar seorang wanita yang baru saja datang. Deru ombak dan derasnya hujan menjadi saksi kepedihanku. Aku terjatuh terhempas pada duri yang sangat tajam. "Jadi karena ini kamu memutuskan mengakhiri hubungan kita, Ga? Karena aku orang miskin?" tanyaku pada pria yang hanya menunduk tidak berani menatapku."Ra—""Masih nanya lagi? Kamu, tuh harusnya ngaca di cermin yang gede, bukan melihat dirimu di air yang keruh. Tidak akan nampak kejelekan dan kebusukanmu jika bercermin di air got. Sama-sama kotor! Pikiranmu kotor, mau
Baca selengkapnya
Bab 2
Aku meraba dada menikmati denyutan yang semakin terasa nyata. Bukan karena gugup akan melepas status lajang, tapi kata-kata mereka yang melihat dan menilai calon pengantinku. "Astaghfirullah ...," lirihku seraya terus mengusap-usap dada yang berdenyut nyeri ini.Beberapa saat diam di ruang tengah, aku pun kembali ke kamar untuk mendinginkan hati dan pikiran. Aku duduk di pinggir ranjang, tepat di sebelah kipas angin yang terus berputar.Kuintip dari jendela kamarku, orang-orang sudah berkerumun memenuhi halaman rumah. Aku tahu, mereka datang bukan hanya untuk sekedar mendoakan pernikahanku. Tapi, juga penasaran dengan calon suamiku. "Sudah pada datang, matikan musiknya!" Seseorang terdengar berteriak dari arah luar.Itu artinya, rombongan calon suamiku sudah hadir dan akad akan segera dimulai."Apa aku keluar sekarang?" tanyaku pada MC yang tiba-tiba masuk. Ia memperbaiki riasan make-upnya. "Jangan dulu, Neng Geulis. Nanti, kalau dipanggil baru keluar," ucapnya seraya kembali ke lu
Baca selengkapnya
Bab 3
Ya Allah ....Benarkah, jodohku dia? Haruskah aku menikah dengan laki-laki sepertinya? Aku tersenyum tipis, lalu kembali menunduk."Betul, itu calon suamimu?" tanya penghulu lagi.Aku tidak sanggup menjawab. Hanya anggukkan kepala sebagai jawaban. Meskipun sebenarnya aku sudah yakin dengan pilihanku."Baiklah. Kita mulai saja ijab qabulnya."Aku menarik napas dalam. Dalam hati mengucapkan bismillah. Semua aku serahkan pada Yang Maha Kuasa. Meyakinkan diri, jika pernikahanku memang sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz.Semua orang terdiam. Mereka sibuk mengabadikan momen ini. Sebenarnya, aku keberatan mereka mengambil gambar pengantinku. Aku takut jika mereka akan menyebarluaskan foto-fotoku dan pengantinku.Aku tidak ingin gambar-gambar itu nantinya akan sampai pada seseorang yang sudah membuatku tidak memiliki kepercayaan diri, dan menaburkan rasa sakit yang teramat sangat.Aku ingin bahagia, aku ingin bangkit dari rasa kecewa, dan hidup damai dengan orang yang kucinta. Aku ingin mel
Baca selengkapnya
Bab 4
"Tapi, wajahnya hitam sebelah!"Deg! Ada yang berdenyut kala Aisha mengatakan hal itu. "Hey, jangan bicara seperti itu, Nak. Tidak baik," ujar Teh Arini."Tidak apa-apa, Bu. Jangan dimarahi, saya tidak tersinggung. Apa yang dikatakan anak Ibu, memang benar adanya."Kekagumanku pada pria ber jas putih ini semakin bertambah. Tidak ada raut tidak suka atau marah dari wajah Raffi, saat mengatakan hal tersebut. Ia begitu tenang dan malah tersenyum tulus pada orang tua Aisha."Saya minta maaf," ucap A Yusuf. "Maaf, ya Ra?" Teh Arin melakukan hal yang sama padaku."Tidak apa, Teh. Aku baik-baik saja," jawabku.Melihat kebesaran hati Raffi, membuatku semakin percaya diri. Kini hatiku semakin yakin, jika aku tidak salah memilih pasangan. Meskipun, rupa yang dimiliki dia tidak seperti wajah pria pada umumnya.Bagian sebelah kiri wajah Raffi, hitam. Seperti tanda lahir, tapi sangat besar. Hingga menutup mata, pipi, sampai ke lehernya."Om ini gak jahat, Bu?" tanya Aisha membuka mata dan melih
Baca selengkapnya
Bab 5
"Mi, udah di sini aja," ucapku saat masuk ke dalam rumah."Lah, katanya mau pipis?""Gak, jadi."Aku memilih masuk ke dalam kamar. Kamar pengantin yang sudah dihias dan diberi wewangian. Aku mengintip dari kaca, apa yang sedang dilakukan orang itu di pelaminanku.Kebetulan, pelaminanku memang berada di luar rumah. Jadi, rumah kosong, hanya ada barang-barang dekor serta perabotan tukang hias saja."Ngintip apaan?" tanya Mimi. Dia ikut masuk dan mengintip juga."Tuh lihat. Dia pasti sedang mencari informasi tentang suamiku," ucapku."Kamu ngundang Nenek Lampir, itu?" Mimi bertanya kembali."Enggak, Mi. Dia sendiri yang datang. Makanya, aku buru-buru masuk ke sini. Malas harus bertemu dengan dia. Melihat matanya yang suka mendelik, nada bicara yang suka ketus, juga kata-katanya yang selalu menyakitkan," ujarku menggerutu.Mimi hanya manggut-manggut. Dia tahu betul kenapa aku tidak menyukai mantan calon mertuaku itu. Jangankan aku yang pernah langsung berhubungan dengan dia. Orang-orang s
Baca selengkapnya
Bab 6
"Astaghfirullah, Raya. Ada apa? Kenapa ponselnya di lempar?" Mas Raffi yang baru saja masuk, terheran karena aku melemparkan benda pipih itu tepat di kakinya.Aku memalingkan wajah. Enggan terlihat sedang emosi oleh matanya. Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.Mas Raffi mengambil ponselku. Ia menekan tombol yang berada di samping, lalu layar pun menyala."Sini, Mas. Jangan dilihat!" kataku berusaha merebut benda itu darinya.Mas Raffi mengangkat ponselku ke atas. "Sebentar, aku mau lihat apa yang membuatmu marah," ucapnya."Tidak ada, aku hanya iseng saja."Namun, usahaku untuk mencegahnya gagal. Ia mengerutkan kening, matanya fokus pada layar ponsel yang menyala.Di sampingnya, aku berdiri dengan menggigit jari telunjuk. Aku merasa was-was, takut jika dia sakit hati dengan postingan yang baru saja membuatku naik darah."Ini yang membuatmu marah?" tanyanya seraya memberikan ponsel yang masih menyala.Aku tertegun dalam kebingungan. Sikapnya di luar dugaan. Aku kira, d
Baca selengkapnya
Bab 7
"Mas, ada tamu di depan," ucapku setelah melihat Mas Raffi menyelesaikan salatnya. Ia berbalik melihatku."Siapa?" tanyanya."Gak tahu, nganterin ini." Aku memperlihatkan kunci mobil yang diberikan pria tadi.Mas Raffi membulatkan mulut dengan kepala yang manggut-manggut. "Hm ... apa dia bicara sesuatu padamu?" Suamiku kembali bertanya."Tidak. Hanya bilang nganterin mobil saja, sekarang masih di depan. Lagi ngobrol sama Ibu." Aku duduk di pinggir ranjang.Mas Raffi berdiri. Ia mengelus kepalaku sebentar, lalu keluar dengan buru-buru.Baru juga aku akan bertanya kenapa pria itu memanggilnya 'bapak', tapi Mas Raffi keburu pergi. Padahal, kalau dilihat lebih tua orang tadi di bandingkan suamiku. Aku keluar dari kamar, ingin ikut nimbrung ngobrol bersama mereka. Namun, aku tidak melihat keduanya di ruang depan. Tidak ada tamu, juga tidak ada suamiku di sana.Di mana mereka?Aku melihat ke luar rumah. Mobil yang dibawa orang tadi pun tidak ada. Aku panik, pikiranku langsung buruk. Jang
Baca selengkapnya
Bab 8
"Mas, nanti di Jakarta, kita tinggal bersama orang tua Mas, atau kita ngontrak?" tanyaku.Saat ini, kami sudah berada di kamar. Kami sama-sama merebahkan diri di ranjang pengantin. Aku tidur berbantalkan lengan kekar Mas Raffi, dengan menghadap ke arahnya. Sedang dia, tidur terlentang dengan mata melihat langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu. "Kita tinggal di rumah Papa dan Mama. Kamu tidak keberatan, 'kan?"Aku meneguk ludah dengan kasar. Jika boleh meminta, aku ingin hidup mengontrak saja. Karena aku takut jika nanti tidak bisa jadi menantu yang baik. Apalagi, katanya orang tua yang hidup di kota, selalu ikut campur sama urusan rumah tangga anaknya. Menurut cerita yang aku baca. Mudah-mudahan tidak dengan orang tua Mas Raffi. "Kenapa diam? Keberatan?" tanya Mas Raffi lagi."Tidak. Aku hanya sedang membayangkan Kota Jakarta. Aku belum pernah ke sana." Aku menatap Mas Raffi yang juga tengah melihatku.Kini, ia menggeser tubuhnya hingga berhadapan denganku. Tangannya
Baca selengkapnya
Bab 9
"Kita ke penginapan dulu, ya?" Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.Jarak antara rumahku ke vila, tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima menit dengan kendaraan, kami sudah sampai di vila tempat Mama dan Papa Mas Raffi menginap."Kamu tunggi di sini, biar aku turun sebentar," ucap Mas Raffi saat kami sampai di depan vila."Apa gak sebaiknya aku turun juga, tidak enak sama Mama dan Papa."Rasanya kurang sopan, jika aku diam di mobil sedangkan suamiku menemui orang tuanya."Yaudah, deh. Yuk, turun!"Mas Raffi membukakan pintu mobil, kemudian aku melangkah ke luar seraya mengedarkan pandangan. Rasanya seperti mimpi aku akan meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tempat yang membesarkanku dengan sejuta kenangan di dalamnya. Nanti, aku pasti akan merindukan suasana ini. Daerah pinggir pantai dengan tempat wisata yang begitu indah. "Ma, sudah siap?" Suara Mas Raffi menyadarkanku. Buru-buru aku berjalan menghampiri kedua mertuaku dan menyalaminya. "Sepertinya kamu main kasar, Fi. Mata ist
Baca selengkapnya
Bab 10
Sepertinya ada yang salah. Tidak mungkin ini rumahnya mertuaku. Tidak mungkin mereka tinggal di sini. Ini jauh dari ekspektasiku. "Ayo, Ra!" Mas Raffi memegang tanganku.Meski belum yakin dengan apa yang aku lihat, aku pun turun untuk memastikannya sendiri. Penampakan rumah begitu jelas saat aku keluar dari mobil. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa kali aku beristigfar seraya mengusap wajah berharap bangunan rumah yang ada di depanku, berubah menjadi yang aku bayangkan sebelumnya. Namun, tidak. Masih sama seperti yang pertama aku lihat. "Mas, kamu yakin ini rumahmu? Sepertinya kita salah alamat. Iya, 'kan?" ucapku sembari menahan lengan Mas Raffi.Dia melihatku dengan menyunggingkan senyum manis. Menarik pelan tanganku agar kaki ini melangkah maju."Mas, tunggu dulu. Ini rumah siapa? Rumah Bosmu?" Lagi, untuk ke sekian kalinya aku mempertanyakan rumah ini.Mas Raffi menggeleng. "Ini, rumah kita," jawabnya. Bagaimana aku akan percaya jika rumah di depanku ini adalah rumah su
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status