Share

Menikah dengan Pria Lain
Menikah dengan Pria Lain
Author: Santi D.Oktaviani

Seperti Terlahir Kembali

Mataku terbuka, ruangan ini terasa sangat asing. Langit-langit berwarna putih, suara detak beraturan yang asing, suara langkah kaki dari kejauhan, bau menyengat yang aku kenali. Ah, iya, ini di rumah sakit. Apa aku sedang berada di ruang peraktekku? Tapi sedang apa? Kenapa aku berbaring?

Aku mencoba untuk bangun tapi rasanya tak ada tenaga. Bola mata kuarahkan ke samping kanan agar bisa melihat lebih jauh. Terlihat pintu yang tertutup, kemudian ku arahkan ke sebelah kiri, kulihat jendela dan sofa. Tunggu sebentar, sepertinya aku melihat ada sesuatu di atas sofa. Ada sesuatu tertutup kain. Kain itu bergerak lebih tepatnya menggeliat, itu adalah seseorang.

*Suara handphone berbunyi*

Sosok dalam selimut itu terganggu karena suara handphone tadi, ia kemudian mengangkatnya.

"Hallo," ucapnya.

Ternyata suara wanita.

"Iya, nanti siang aku transfer. Dah kumatikan, ya." Wanita itu mematikan telepon.

Wanita itu keluar dari dalam selimut. Orang yang tidak ku kenal. Rambutnya acak-acakan namun wajahnya tetap terlihat imut. Usainya mungkin sekitar dua puluh tahunan. Masih muda. 

"Permisi." Suara yang ku keluarkan sungguh pelan.

"Hoaaa." Dia menguap berbarengan denganku yang menyapanya sehingga menguapnya tak selesai. Kasihan.

"Aaa!" Matanya terbelalak melihatku.

Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya benar.

"Dokter Anda sudah sadar?" bertanya histeris.

Dia berjalan setengah berlari ke arahku. Kemudian memencet tombol bantuan ke ruang perawat dengan cepat.

Tak berapa lama seorang perawat masuk berjalan cepat.

"Ners, dokter Andreas sadar," ujarnya.

Aku heran mendengar perkataan wanita itu. Sadar? Memangnya aku baru pingsan?

Perawat itu mendekat, ia menanyakan beberapa pertanyaan padaku.

"Dokter, apa Dokter bisa berbicara?"

"Iya," Jawabku.

Sungguh pertanyaan yang aneh.

"Dokter, apa Dokter ingat siapa nama Anda?"

"Iya." Lagi-lagi pertanyaan aneh.

"Nama Anda siapa?"

"Andreas Adrison."

"Pekerjaan Anda?"

"Saya dokter bedah rumah sakit Health."

"Iya, sekarang Dokter sedang berada di rumah sakit itu. Kalau nama ayah Anda?"

"Markus Adrison."

"Apa yang Anda rasakan sekarang?"

"Saya haus dan lemas."

"Nanti kita minum, ya. Dokter bisa menggerakan jari tangan?"  Aku mencoba menggerakan jari tangan. Berat tetapi bisa. Perawat terus mencatat kondisiku sambil terus bertanya.

"Maaf ya, Dok." Perawat menyibakkan selimut di kakiku.

"Kalau jari kakinya bisa digerakan, Dok?"

Lebih berat dari jari tangan namun aku berhasil menggerakkannya.

Perawat kembali menutup kakiku. Dia kemudian berbicara pada wanita yang belum ku ketahui siapa dia.

"Berikan minum beberapa sesendok setiap sepuluh menit sekali. Saya akan menghubungi dokter Daniel dulu." 

"Iya, Ners."

Perawat itu pergi.

Wanita itu menuruti apa yang perawat katakan. Dia menuangkan air ke gelas lalu menyendokannya tiga kali kepadaku. Tenggorokanku terbasahi, rasanya segar.

"Siapa kamu?" Pertanyaan yang sejak tadi ingin ku tanyakan.

"Saya Serena, Dok. Anak kepala asisten di rumah Anda." Mataku terbelalak mendengar jawaban wanita ini. Tidak mungkin dia Serena. Serena yang ku ingat adalah gadis kecil berusia dua belas tahun.

"Dokter pasti tidak ingat, dokter koma sudah tujuh tahun," ujar Serena.

"Tujuh tahun?" Aku berusaha mencerna perkataan Serena namun yang terjadi kepalaku malah linu.

Serena menutup mulutnya menyadari ia melakukan kesalahan. Ia panik dan menekan tombol emergency lagi.

Perawat tadi akhirnya datang kemudian memberikanku suntikan hingga aku tenang dan terlelap.

 ***

Aku membuka mataku kembali, masih di ruangan yang sama. Ternyata ini bukanlah mimpi. Aku harus mulai menerima kenyataan. Pertanyaanku sekarang, bagaimana aku bisa koma?

Serena masih berada di sini. Ia duduk di sofa sedang sibuk dengan ponselnya.

"Serena," panggilku.

Serena terkejut mengetahui aku sudah sadar lagi. Kemudian ia sigap mendekatiku.

"Posisikan kasurku duduk!" Perintahku.

Serena menekan tombol di samping ranjang. Hal baru yang ku lihat.

"Apa Anda ingin minum?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kemudian dia membawakan minum untukku. Aku nurut ketika Serena memberikanku minum.

Ku sadari Serena telah berganti seragam asisten rumah tangga berwarna hitam khas keluargaku.

Aku terdiam sejenak setelah menyelesaikan minum. Aku berusaha menenangkan diri agar setiap kata dari Serena nanti tidak membuat ku shock lagi.

"Anda baik-baik saja, Dok?"

"Iya."

"Ada yang Anda perlukan?"

"Duduklah, Serena!"

Serena menuruti perintahku.

"Bagaimana aku bisa koma selama tujuh tahun, Serena?"

Serena menelan ludah. Ada sebuah ketakutan untuk menjawab pertanyaanku.

"Jawab Serena! Aku sudah siap dengan semua ceritamu," pintaku.

Serena menatapku, memastikan apa aku benar-benar siap.

"Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, Dok."

"Apa saja yang terjadi selama tujuh tahun ini?"

Serena terlihat gelagapan dengan pertanyaanku yang terakhir.

Suara pintu terbuka menghentikan perbincangan kami. Dokter Daniel datang bersama beberapa perawat termsuk perawat jaga tadi.

"Dokter Andreas apa Anda mengingat saya?" Tanyanya.

Meskipun wajahnya terlihat lebih tua aku jelas mengingat jika pria ini adalah dokter Daniel. Kami masuk rumah sakit di tahun yang sama. Dia seusia denganku tetapi ia terlihat begitu tua? Oiya ini sudah tujuh tahun, sudah pasti banyak perubahan.

Aku juga penasaran bagaimana rupaku sekarang. 

"Saya ingat Anda, Dok. Ngomong-ngomong saya ingin melihat wajah saya." Aku berbicara ke Serena.

"Akan saya ambilkan kaca." Serena membuka lemari yang berada di seberang ranjang. Ia merogoh pouch yang berisi alat make up dan mengeluarkan sebuah kaca. Kemudian dia memberikannya padaku.

Aku menatap cermin. Kemana wajahku  yang kurawat? Ini siapa? Sungguh tak ku kenali, lelaki cungkring mengerikan ini.

"Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa bisa aku koma selama tujuh tahun?" Aku melupakan rupaku dan mulai penasaran dengan alasanku di sini.

"Apa Anda tak ingat, Dok?" Tanya dokter Daniel.

"Sama sekali tidak, tetapi Serena memberi tahuku jika Aku mengalamo kecelakaan."

"Tujuh tahun lalu Anda masuk ke UGD karena mengalami kecelakaan, Anda tertabrak sebuah mobil container," jelas dokter Daniel.

Aku mencoba mengingat kejadian itu. Sayangnya, tak ada sedikitpun yang terlintas.

"Jangan memaksakan diri, Dok." Dokter Daniel memegang pundakku.

"Dokter, saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut bagaiman kondiri Anda."

"Silahkan, Dok."

Dokter Daniel kemudian mengecek kedua mataku dengan senter. Setelah itu dia menggantungkan telapak tangannya di udara.

"Apakah Anda bisa menyentuh tangan saya?" tanya dokter Daniel.

Harusnya ini menjadi hal yang mudah. Tapi ternyata tidak bagiku yang merupakan pasien sadar koma. Rasanya berat sekali mengangkat tangan. Jemariku perlahan bergerak. Berarti fungsi otak memerintah jari masih bekerja. Walau sangat lambat tetapi tangan ini terus terangkat.

Bruk. Tanganku terkulai sebelum sempat menyentuh tangan dok Daniel.

"Gak masalah, nanti atau besok kita coba lagi. Kalau kaki bagaimana apa Anda bisa menggerakannya?" Dokter Daniel menyibakkan selimutku.

Sudah sekuat tenaga aku berusaha mengangkat kaki. Namun, yang terjadi hanya gerakan kecil yang mampu dihasilkan oleh jari kaki.

"Dikasih minum setiap sepuluh menit dengan takaran yang semakin meningkat ya Serena." dokter Daniel berbicara pada Serena.

"Baik, Dok," jawab Serena.

"Ners, segera jadwal pemeriksaan MRI,  CT scan, darah dan EEG."

"Baik, Dok," jawab salah seorang perawat.

"Nanti kalau sudah makan dicoba bergerak perlahan, ya. Kalau gak ada kemajuan kita harus fisioterapi."

Aku mengangguk

"Saya tinggal dulu, ya, Dokter Andreas." 

"Baik, Dok. Terima kasih," jawabku.

"Sama-sama. Semoga lekas pulih. "

Dokter Daniel bersama rombongan perawat pergi meninggalkan ruangan. Serena masih berdiri di sampingku dengan setia. 

"Dimana tuan dan nyonya besar?" tanyaku.

"Nyonya sudah saya hubungi mungkin sebentar lagi akan sampai. Apakah Dokter mau minum atau makan?"

"Iya, keduanya boleh."

Kemudian Serena menyiapkan makananku. Bubur sayur dan ayam. Dia menyuapiku. Aku lebih banyak diam ketika sedang makan.

Tepat setelah bubur habis pintu kamar terbuka. Mama datang bersama dua asistennya. Wajah mama terlihat shock bercampur bahagia. Ia berlinangan air mata saat tiba di ranjang.

"Anakku, kau benar-benar sadar, Nak?" Mama ingin memeluku namun terlihat hati-hati.

Aku mengangguk sambil tersenyum. 

Mama memegang tanganku. Hangat.

"Mama yakin kamu pasti bangun lagi." Penuh kebahagiaan bercampur air mata.

"Papa di mana, Mah?" tanyaku.

Mama tidak menjawab dengan cepat.

"Anakku selama tujuh tahun kamu koma banyak yang terjadi. Akan mama ceritakan satu persatu kalau kamu sudah siap."

Aku menelan ludah mendengar pernyataan mama. Pasti banyak hal yang tak bagus yang akan beliau ceritakan. 

Aku menatap mama mantap.

"Ma, sekarang aku sudah siap," ucapku mantap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status