"Gak cukup cuma ucapan terima kasih. Gue mau ...." Wajah Radit semakin mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Dita. Semakin dekat dan ....
‘Bugh!’ Dita menghantamkan keningnya ke kening Radit.
“Aak!” Radit meringis. Dita segera bangkit dari pangkuannya.
“Sukurin!” Dita langsung berlari ke depan kompor dan mengaduk supnya yang nyaris saja ia lupakan.
“Gagal maning ... gagal maning, Son!”
Dita pura-pura tak mendengar dan terus mengaduk sup. Ia merasakan ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Belum sempat Dita menguasai gejolak yang tak ia pahami, tiba-tiba Radit menariknya pelan hingga mereka berhadapan.
Tanpa kata, Radit memakaikan celemek dari kepala Dita, lalu mengikatkan tali di belakang pinggangnya hingga posis
“APA?!” Pekik Radit dan Dita bersamaan. Sangking terkejutnya, Radit sampai mengempaskan begitu saja kaki Dita hingga wanita di sampingnya itu nyaris terjatuh.“Kamu gak apa-apa, Ta?” tanya Radit.Dita mencebik dan menatapnya jengkel.“Kalian kenapa kaget gitu?” tanya Bu Meri yang heran melihat sikap anak dan menantunya saat ia bilang akan tidur di sini.“E-eh, enggak, kok, Ma. Cuma … Mama kok gak bilang mau tidur di sini. Mama, Papa, dan Dito apa udah bawa pakaian?” tanya Dita.“Udah. Tuh di mobil,” jawab Bu Meri.Dita dan Radit saling berpandangan. Mereka panik. Takut ketahuan kalau Radit dan Dita tidak tidur satu kamar. Bahkan, bisa ketahuan sandiwara yang mereka lakoni. Sebab, semua barang-bara
Dita memperhatikan wajah Radit yang tampak sudah tertidur. Ada banyak tanya yang berkecamuk di dadanya. Perubahan sikap Radit yang signifikan sejak mereka menikah membuat Dita merasa serba salah. Ingin ia bertanya, ada apa dengan Radit sebenarnya. Namun, separuh hatinya menolak. Entah mengapa, Dita tak mengerti.‘Apa lo lagi ada masalah di kantor, Dit?’ pikirnya. Perkiraannya kini mengarah pada hasil audit Radit, yang mungkin saja ditemukan beberapa masalah dalam laporan keuangan perusahaan tempat mereka bekerja.‘Gue siap jadi tempat curhat lo, Dit,’ batinnya.Dita terus menatap Radit dan berusaha menerka apa yang sedang dialami lelaki yang berbaring di sampingnya itu. Namun, tiba-tiba Radit mengangkat kepalanya dan mendekat ke wajah Dita.“Gue gak bisa tidur kalau lo liatin terus.”
“Cinta itu selalu ingin menjaganya, melindunginya, membuatnya nyaman, dan merasa aman kala dia di dekat lo. Sekalipun dia sadar, hanya dia yang mencinta.”Angin membawa kalimat Radit memasuki gendang telinga Dita. Tatapan lelaki itu kala menatapnya menusuk dalam hingga membuat Dita merasakan sesuatu, yang berbeda di sorot matanya. Hening sesaat menyelimuti keduanya. Ada rasa canggung yang tercipta, membuat Dita memalingkan wajah, menatapi ombak-ombak yang tak pernah berhenti berkejaran.Sementara, Radit masih terus memandangnya meski hanya dari samping wajah Dita. Tangannya perlahan naik hingga sejajar dengan kepala wanita itu. Nyaris saja telapak tangan lebar Radit menyentuh rambut Dita. Dengan cepat ia turunkan lagi sebelum Dita menoleh.“Ada seseorang yang lo suka, Dit?” tanya Dita tiba-tiba sambil berjalan pelan.
Tepat pukul sepuluh malam, terdengar deru mobil Radit memasuki halaman rumah. Dita yang masih berbaring sambil menonton drama Korea di kamarnya segera mengintip dari jendela untuk memastikan bahwa itu benar-benar Radit. Radit pun keluar dari dalam mobil dengan wajah yang tampak lesu di bawah sinar rembulan dan terpaan cahaya lampu taman. Lelah terlihat jelas dari cara ia berjalan.Dita segera berbaring di kasurnya begitu Radit hendak membuka pintu. Ia berpura-pura tidur demi menghindari sahabatnya itu. Dita masih kesal akibat Radit meninggalkannya begitu saja di kantin.Radit masuk rumah dan mengunci pintu kembali. Ia lalu berjalan menuju kamarnya. Langkahnya terhenti saat berada tepat di depan kamar Dita. Ia memandangi pintu kamar bercat cokelat tua itu. Perlahan tangannya memutar handle pintu dan mendorongnya sedikit. Tampak Dita sedang tertidur.Radit menar
Dita kembali menerima pesan singkat dari Radit saat ia membereskan barang-barangnya sebelum pulang kerja. Lagi-lagi Radit lembur hari ini dan tak bisa pulang bersamanya. Dita menghela napas. Dilihatnya cincin di jari manis yang melingkar. Sebuah permata menghias indah lingkaran emas tersebut.‘Haruskah gue lepas cincin ini biar gak ada yang tahu kalau gue udah nikah?’ batinnya. ‘Tapi … gimana dengan Radit? Pasti dia marah kalau gue lepas nih cincin. Gue capek berdebat sama dia. Dia ngediemin gue dua hari ini aja gue rasanya sepi banget ….’ Dita terus bermonolog.‘Apa bener Radit suka sama gue? Gimana caranya gue cari tahu kalau dia emang beneran suka ke gue?’ tanyanya dalam hati.“Duuh …! Napa pikiran gue malah jadi ke situ, sih?” gerutunya. Ia pun berg
Dita bangun lebih awal dari biasanya. Selesai mandi di kamarnya, ia ke dapur untuk menyiapkan telur dadar, roti, dan susu untuk sarapannya bersama Radit sebelum ke kantor. Untuk saat ini, Dita memang belum bisa memasak seperti wanita bersuami kebanyakan. Sebab, selama gadis ia termasuk manja dan tak pernah ikut mamanya ke dapur.Saat menuangkan telur yang sudah dikocok ke teflon, ia terperanjat mendapati seseorang begitu dekat di belakangnya.“Bikin apa, Ta?” Bisikan Radit di telinganya menciptakan angin yang menjalar ke seluruh tubuh.Belum selesai keterkejutannya, ia kembali terlonjak saat membalikkan badan. Radit yang hanya mengenakan celana pendek bertelanjang dada, dengan santainya mengusap-usapkan rambutnya yang masih basah di dekat Dita.Spontan Dita menutup mata dengan tangannya.
“Kenapa gak kita tunaikan aja keinginan mereka, Ta?” Radit terus mendekat. Tatapan matanya tak seperti biasa. Rasa panas dan hasrat lelakinya terus membuncah akibat minuman yang sudah ditetesi sesuatu oleh mamanya Dita. Ia kini bagaikan macan yang siap menerkam Dita, mangsa empuk di depan mata.“Dit, sadar! Lo harus lawan!” Dita semakin panik. Ucapannya sama sekali tak digubris oleh Radit. Ia terus mundur, sedangkan Radit semakin maju mendekatinya.“Ayolah, Ta. Kita, ‘kan, udah nikah.” Radit semakin menggila. Ia menangkap Dita dalam sekali tarikan tangannya.“Radiiit …! Lepasin gue!”Radit terus memeluknya erat dan berusaha menciumnya.Tak habis akal, Dita menggigit tangan Radit hingga lelaki itu kesakitan. Kesempatan tak disia-siakan,
“Kak Danu?” Dita tampak salah tingkah. Radit menatap tajam pada sosok laki-laki di hadapannya.Danu pun mendekat pada dua orang yang sedang berselisih itu. “Tadi … saya keluar cari angin. Tak sengaja melihat kalian di sini,” alasan Danu. Ia tak ingin suasana di sana menegang karena kehadirannya. “Ayo, masuk!” ajak Danu, melihat Radit dan Dita bergantian.Dita bergeming.“Gue mau pulang!” tegas Radit pada Dita. “Lo ikut gue, atau ke dalam sama dia?” Ada kilat kemarahan dari sorot matanya.Dita masih bergeming. Ia merasa berada di persimpangan dan bingung harus memilih jalan yang mana.Radit menatap lekat-lekat pada Dita yang menoleh padanya dan Danu bergantian. Tak mendapat jawaban, Radit melangkah tanpa kata meninggalkan tempat i