Share

2. Perjanjian Nikah

"Nikah, yuk?" ajak Radit yang sudah berada di kamar Dita.

Ucapan Radit yang tiba-tiba itu bagai petir di tengah gelapnya hari yang dirundung hujan deras. Membuat Dita semakin dalam bersembunyi dari kenyataan hidup di hadapannya.

Ia terbaring sakit karena asam lambungnya naik, terlalu memikirkan perjodohan yang direncanakan orang tua. Kini, harus pula menghadapi sosok lelaki yang terus muncul ke mana pun mata memandang. Menawarkan kandang harimau untuk terlepas dari sarang buaya.

Alih-alih menjawab ucapan Radit, Dita justru memiringkan tubuh. Menutupi dari ujung rambut hingga kaki dengan selimut. Membelakangi sosok lelaki yang duduk di tepi ranjangnya.

"Ta …," panggil Radit.

"Sakit, lo, ya!" ketus Dita.

"Gue sehat, nih. Kan elo yang sakit. Tiga hari gak ngantor," balas Radit.

Dita bergeming di balik selimut.

"Coba gue cek panas lo." Radit menarik selimut Dita. Menempelkan telapak tangan di kening gadis itu.

"Lumayan panas," ucapnya setelah membandingkan dengan suhu tubuh di dahinya.

"Lo kira gue pura-pura sakit?" Kini Dita mengubah posisi. Ia duduk di hadapan Radit.

"Gue gak bilang gitu." Radit mengedikkan bahu.

"Sana lo keluar dari kamar gue. Gue mau lanjut tidur." Dita kembali membaringkan tubuh. Menutup dengan selimut.

"Baru dijodohin ama buaya aja lo udah sakit ampe tiga hari gitu. Gimana kalau lo beneran nikah sama dia? Jangan-jangan entar lo masuk RSJ lagi," ucap Radit asal.

"Sembarangan lo kalau ngomong!" Dita menyibak selimut yang menutupi wajah. Ia mendelik tajam pada Radit. Memajukan bibirnya tanda kesal.

Ekspresi Dita yang seperti itu selalu membuat Radit gemas. Ingin rasanya ia melumat bibir sahabatnya yang bawel dan polos itu.

"Makanya, ayo nikah," ucapnya.

Mendengar ajakan sahabatnya yang kedua kali, membuat Dita yang tadi berbaring, seketika duduk dan mengetuk kepala Radit.

"Demen banget lo jitak kepala gue!" keluh Radit sambil mengelus kepalanya.

"Gue jitak lo biar saraf di kepala lo gak buntu," balas Dita.

"Itu saran terbaik yang gue punya biar lo selamat dari buaya."

"Iya, gue selamat dari buaya. Tapi masuk ke kandang macan. Gitu kan?"

"Haarrgg … gue makan juga lo. Ngatain gue macan!" ucap Radit seyara mempraktekkan seekor macan yang hendak menangkap mangsa. Mengangkat kedua tangan dan siap menerkam.

"Amit-amit gue nikah ama lo," keluh Dita. "Gue tuh, maunya nikah ama Kak Danu," lanjutnya. Tersenyum membayangkan lelaki yang ia sukai semasa mereka kuliah. Kakak kelas sekaligus ketua BEM di kampus.

Melihat sikap Dita yang berubah setelah menyebut nama Danu, hati Radit mendadak kesal. "Sadar, lo! Dia udah nikah." Radit mencubit gemas hidung Dita.

"Au! Sakit, tahu!" Dita meringis. Mengusap-usap hidungnya yang tidak mancung, tetapi juga tidak pesek.

"Emang kenapa kalau dia udah nikah? Kalau dia juga mau sama gue kan gak masalah?"

"Gue pikir fisik lo aja yang sakit, Ta. Rupanya saraf lo juga sakit!" Radit mencebik.

"Apa salahnya kalau misalnya gue jadi istri kedua Kak Danu?"

"Nikah diem-diem gitu?" tanya Radit. Tak mengerti jalan pikiran Dita.

"Yaa … kalau istrinya gak setuju kami nikah, mau apalagi kalau gak nikah diem-diem. Dari pada zina, kan?" jawab Dita.

"Dita, lo bayangin ya. Seandainya lo punya suami, terus suami lo nikah diem-diem sama wanita lain. Gimana perasaan lo?"

"Hmm … sorry, gue belum nikah. Jadi gak tahu!" jawab Dita asal. Menyepelekan kata-kata Radit.

"Perjodohan lo dengan Arya ternyata bikin lo jadi sinting!" Radit menyesalkan sikap Dita. Ia meninggalkan gadis itu dengan hati kesal. Emosi terpancar jelas dari raut wajah tampan beralis tebal.Ternyata, sahabatnya belum berubah. Masih saja mengharapkan Danu meski lelaki itu sudah beristri dan akan segera menjadi seorang ayah.

"Lah, kenapa dia yang marah?" gumam Dita heran melihat sikap Radit.

Gadis itu membaringkan tubuh. Mencoba kembali memejamkan mata. Namun, kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Radit terus terngiang di telinga. Tentang pengandaian suaminya yang menikah diam-diam, juga tentang perjodohan yang membuatnya seperti ini.

Dita mendesah. Ia mengusap-usap wajah. Berharap ada jalan lain untuk lepas dari keinginan orang tua.

***

Setelah tiga hari sakit, Dita kembali masuk kerja. Namun, tak seperti biasanya, hari ini ia berangkat sendiri dengan taksi. Radit yang selalu menjemput kini hilang tanpa kabar. Sejak kemarin, setelah lelaki itu keluar dari kamarnya dengan wajah marah.

'Radit kenapa, sih? Gak biasanya. Masa dia marah sama gue cuma gara-gara gue bilang gak masalah nikah diem-diem sama laki orang?' batin Dita di dalam taksi. Bertanya-tanya perihal sikap Radit yang berubah.

Suara steletto beradu dengan lantai keramik. Dita berjalan anggun melewati ruang kerja beberapa divisi. Kedua matanya menatap lurus pada sosok leleki yang bekerja sebagai Internal Audit. Lelaki itu tampak sibuk memeriksa file di ruangan Accounting. Dita melewati ruangan itu dan terus memandang ke dalam melalui kaca bening pembatas ruangan. Namun, yang dilihat sama sekali tak menyadari kehadirannya.

"Dasar, Radit! Maksudnya apa coba nyuekin gue kayak gitu?" keluh Dita kesal.

Seharian bekerja, tetapi ia sama sekali tak melihat Radit. Sahabat yang selalu mengajaknya makan siang itu kini sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Dita terpaksa menyantap makan siangnya sendirian di kantin.

***

"Dita, ada yang nyariin kamu tuh," kata Bu Meri, mama Dita.

Dita yang sedang asik berselancar di akun sosial media, kini menaruh ponselnya dan menghampiri sang mama di pintu kamar. "Siapa, Ma?" tanyanya. Berharap Radit yang datang.

"Calon menantu Mama," jawab Bu Meri tersenyum.

Dita mendesah. Kecewa. Ternyata bukan Radit. Ia lupa bahwa sahabatnya itu akan langsung menemuinya di kamar. Tak perlu minta izin seperti ini.

"Kenapa?" tanya Bu Meri yang melihat rasa malas dari gestur sang anak.

"Ma, Dita udah berapa kali ngasih tahu, si Arya itu buaya. Dita gak mau dijodohin sama dia …," keluh Dita.

"Mama lihat dia anak yang baik. Orang tuanya juga temen Mama waktu kuliah. Mama kenal bagaimana keluarganya."

"Mama cuma tahu waktu dia ke sini. Tapi gak tahu gimana dia di luar sana."

"Karena Mama gak liat sendiri, jadi Mama gak percaya. Bisa aja itu akal-akalan kamu buat menghindar."

"Tega, ya, Mama sama Dita. Mama gak ngerti perasaan Dita. Dita gak mau dijodohin. Apalagi sama Arya!" protes Dita. Air mata nyaris tumpah. Napasnya memburu. Darah serasa naik ke ubun-ubun. Ingin ia melampiaskan emosi. Namun, ia harus menahan kemarahan terhadap orang tua.

"Kamu lihat Mama?" Bu Meri menangkup wajah anak gadisnya dengan kedua telapak tangan. "Mama dan Papa kamu juga dulu dijodohkan. Dan lihat sekarang, keluarga kita bahagia, kan? Papa dan Mama saling mencintai. Punya anak dua yang sekarang sudah besar. Sudah pantas menikah."

"Tapi gak dengan Arya, Ma. Dita gak mau …." Pertahanan diri Dita rubuh. Air mata mengalir begitu saja tanpa perintah.

"Kamu sudah waktunya untuk berumah tangga. Kapan lagi Mama dan Papa akan menimang cucu? Nunggu Dito nikah? Dia masih SMA," kata Bu Meri.

"Apa cuma cucu yang Mama harapkan dari Dita?" Dita menatap nanar pada sang mama.

"Mama ingin kebahagiaan buat kamu. Sampai kapan kamu mau melajang terus?"

Dita bergeming. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan mamanya. Belum ada sosok lelaki yang menarik hati selain Kak Danu. Namun, cinta bertepuk sebelah tangan. Pria idamannya menikah dengan wanita lain.

"Kalau kamu gak mau nikah sama Arya, bawa lelaki ke rumah untuk melamarmu. Satu minggu. Gak lebih dari itu!" tegas Bu Meri. "Sekarang, kamu temui Arya di bawah," perintahnya.

Dita segera menghapus air mata. Memoles bedak untuk menutupi wajah yang baru saja menangis. Dengan langkah berat ia menemui Arya. Menuruti perintah sang mama.

***

Jarum pendek pada jam dinding berada di angka 12, tetapi Dita masih belum dapat memejamkan mata. Perintah sekaligus ancaman dari Bu Meri membuat pikirannya tidak tenang. Menikah dengan Arya adalah momok menakutkan baginya.

"Dari mana gue bawa laki ke rumah buat ngelamar gue? Ini sama aja Mama bakalan menang. Terus gue jadi istri si buaya itu!" gerutu Dita.

Ia mondar-mandir di kamar. Memikirkam berbagai ide agar terlepas dari keinginan orang tua. Pikirannya melayang pada satu orang yang hari ini membuatnya bertanya-tanya.

"Radit! Cuma itu jalan satu-satunya," ucapnya.

Dita meraih ponsel di dekat bantal. Mengirimkan pesan pada sahabat yang seharian ini tidak ada kabar.

[Dit, udah tidur?]

Tak lama, sebuah chat masuk dari kontak Radit.

[Belum. Ada apa, Ta?]

[Lo seharian ini kenapa, sih? Gak jemput gue. Di kantor, lo ngindarin gue. Gak ada chat gak penting ke gue.]

[Lo kangen sama gue, ya, Ta?]

Balasan dari Radit membuat Dita mencebik. Lelaki itu selalu saja percaya diri dan menggodanya.

[Ge-er, lo! Besok jemput gue, ya? Sekalian ada yang mau gue omongin.]

[Apaan, tuh? Jadi penasaran.]

[Pokoknya gue tunggu kayak biasa. See you.]

[Oke, bawel. See you.]

***

Suasana kafe yang Dita pilih cukup tenang. Tak seperti kantin di kantor yang sangat ramai dengan obrolan karyawan. Gadis itu memanfaatka jam istirahat kantor untuk mengajak Radit keluar. Membicarakan hal penting yang akan menyelamatkan hidupnya.

"Gue kagak salah denger?" Radit mengusap-usap telinganya.

"Lo butuh cutton bud atau paku buat ngorek telinga lo?" sindir Dita.

"Haha, sendok aja sekalian!" Radit terpingkal. "Lagian, kenapa sekarang lo ngajak gue nikah?"

"Eh, bukan gue yang ngajak elo. Elo tuh yang kemaren ngajak gue nikah," kilah Dita.

"Udah, deh, gak usah gengsi. Bilang aja lo mau jadi bini gue," ucap Radit percaya diri.

"Iih, serah lo, dah! Mau kagak lo nolongin gue?"

"Gak, ah!" tolak Radit. "Minta Kak Danu sana buat nikahin lo!" tukasnya.

"Tega lo, ya ama gue …," lirih Dita. Kedua matanya berkaca-kaca. Ekspresi Dita yang memelas dan hendak menangis itu membuat Radit serba salah.

"Jangan nangis di sini, malu."

"Bodo!"

"Plis, Ta … entar mereka ngira gue ngapa-ngapain lo." Radit memelas.

"Elo gak kasian ngeliat gue jadi bini Arya?"

"Gue gak suka dan gak akan pernah rela elo nikah sama Arya!" tegas Radit.

"Terus, lo tolongin gue, dong …." Dita memelas.

"Tentu gue bakal nolongin lo tanpa lo minta sekalipun. Tapi gue punya satu syarat," ucap Radit.

"Apa?"

"Jangan pernah minta cerai dalam rumah tangga kita meski hanya pura-pura!" tegas Radit.

Dita mengernyit. "Gue bakal selamanya jadi bini lo, dong!"

Radit mengedikkan bahu. Menyeruput es capucino di hadapannya.

"Sama aja gue lepas dari lubang buaya, masuk ke kandang macan seumur hidup," cetus Dita. Melipat kedua tangan di dada.

"Serah," balas Radit santai.

Dita mencebik. Mengangkat kedua tangannya ke depan. "Fine. Tapi gue juga punya syarat."

"Oke. Apa syaratnya?" tanya Radit. Antusias mendengarkan kalimat demi kalimat yang akan keluar dari bibir Dita.

"Kita gak boleh tidur satu kamar. Lo, gak boleh nyentuh-nyentuh gue. Pernikahan kita gak boleh ada temen kantor yang tau. Acaranya cuma buat keluarga doank. Pokoknya gue gak mau orang lain tau kalau kita udah nikah."

Radit menghela napas berat. Gadis keras kepala di hadapannya selalu ingin menang sendiri. Lagi … ia harus mengalah pada syarat-syarat yang Dita berikan.

"Oke. Tapi, setelah nikah kita bakal tinggal di rumah gue."

"Rumah orang tua lo?" tanya Dita.

"Bukan. Rumah gue. Gue beli rumah sendiri, tapi gak sebesar rumah orang tua. Cukuplah untuk hidup berdua."

Kelopak mata gadis itu menyipit. "Kapan lo beli rumah?" selidik Dita.

"Entar juga lo tahu kalau udah jadi bini gue." Radit mengerling.

"Ch!" Dita mencebik. "Pakai rahasia-rahasiaan lo ama gue. Kenapa gak tinggal di rumah ortu gue aja, sih?"

"Lo mau kepura-puraan kita ketahuan? Tinggal bareng ortu tuh sama aja ngebuka sandiwara kita pelan-pelan."

Gadis itu tampak berpikir. Mencerna apa yang dikatakan oleh pemuda di hadapannya. Ia pikir tak ada salahnya jika tinggal berdua di rumah Radit. Mereka justru tak perlu bersandiwara setiap hari.

"Oke. Setuju!" Dita mengacungkan kelingkingnya. Tanda perjanjian antara mereka telah disepakati.

Radit tertawa kecil melihat tingkah Dita. Seperti anak kecil yang berjanji pada teman. Namun, pada akhirnya ia juga turut melakukan apa yang dilakukan gadis itu. Menyatukan jari kelingking mereka.

"Setuju!"

❤❤❤

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status