Share

3. Sah

"Radit?" teriak kedua orang tua Dita serta Dito bersamaan. Tak menyangka lelaki yang setiap hari keluar masuk rumah mereka.

"Gak usah kaget gitu napa!" Dita menyandarkan punggung di sofa, melipat kedua tangan di dada.

"Mau-maunya Bang Radit nikah sama lo, Kak," ucap Dito, adik Dita satu-satunya.

"Emang kenapa? Sirik aja, lo!" Dita melotot.

"Ngapain gue sirik. Kasian ja sama Bang Radit. Entar punya bini yang suka kentut sembarangan, hobi makan, tukang ngambek. Hiii …," ejek Dito, membuat kedua orang tua mereka tertawa.

"Biarin! Bagus malah. Dia dah tahu kebiasaan gue, jadi gue gak perlu jaim," balas Dita.

"Mama gak nyangka aja kalau kalian punya rencana nikah. Selama ini, Mama pikir cuma temen. Tahunya, temen tapi demen," kelakar Bu Meri.

"Terserah Mama, deh mau ngomong apa." Dita mengambil gelas berisi jus jeruk di meja dan meneguk isinya.

"Ya udah kalau kalian memang serius. Papa sama Mama jadi gak perlu ngejodoh-jodohin kamu lagi. Nanti Papa yang bicara sama keluarga Arya," kata Pak Indra, Papa Dita.

"Beneran, Pa? Makasih, Papa," ucap Dita riang. Mencium tangan Pak Indra.

Sebuah batu besar yang menghimpit dada akhirnya mulai terangkat. Rona bahagia tampak jelas di wajah putih gadis itu. Dita tak perlu lagi memusingkan masalah perjodohannya dengan Arya. Namun, ada satu hal yang menantinya di depan.

Bagaimana kehidupan selanjutnya dengan Radit? Pertanyaan itu melintas di benaknya. Ia menggeleng dengan cepat. Mengusir pikiran yang dapat merusak suasana hati. Baginya saat ini, yang terpenting adalah lepas dari jeratan seorang buaya bernama Arya.

***

Tak mudah bagi Dita meminta orang tuanya agar melangsungkan pernikahan tanpa pesta. Hanya dihadiri keluarga dekat. Tak lupa mengundang serta keluarga Arya. Ia terus memberikan alasan tanpa lelah. 

Bu Meri menginginkan sebuah pesta pernikahan yang megah untuk anak perempuan satu-satunya. Namun, Dita berusaha keras menolak. Gadis keras kepala itu berdalih tak ingin merepotkan keluarga.

Dita duduk di antara Bu Meri dan Dito, mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Dekorasi sederhana tampak menghiasi rumahnya. Beberapa orang keluarga telah hadir untuk menyaksikan acara sakral itu.

Gadis itu menghela napas. Naluri sebagai wanita tentu menginginkan sebuah pernikahan yang meriah, dengan lelaki yang dicinta. Pernikahan sekali seumur hidap yang berkesan dalam relung. Namun, semua keinginan itu harus ia kubur dalam-dalam. Kini, ia akan segera menjadi istri sahabat yang menemani sedari kecil. Pernikahan yang didasari dengan sandiwara. Tanpa ada cinta di dalamnya.

Dita teringat syarat yang diberikan Radit. 'Jangan ada perceraian.' Kalimat itu terngiang di telinga. Lalu menari-nari di kepala. Ia memejamkan kedua mata dan menarik napas dengan berat.

'Apa bener seumur hidup gue akan jadi istrinya Radit? Menjalani pernikahan yang hanya sandiwara?' batin Dita. Ingin rasanya ia lari dari pernikahan itu. Namun, pilihan telah diambil, ia harus menjalaninya.

"Ehem!" Suara berat seorang pria di hadapan membuatnya tersadar dari lamunan.

Dita mendongak. Menatap lelaki yang tengah berdiri menghadapnya. Mengenakan pakaian akad nikah khas Betawi, lengkap dengan topinya. Sejenak ia terperangah melihat penampilan Radit yang jauh berbeda dari biasa.

Radit tersenyum ke arahnya. Menatap gadis cantik dengan balutan kebaya putih. Untaian melati yang menutup sanggul buatan serta Siangko Cadar menambah pesona anggun dalam diri Dita. 

Tatapan Radit tepat di kedua manik hitamnya tanpa berkedip membuat Dita salah tingkah. Ia menunduk malu, menyembunyikan rona merah di kedua pipi. Tatapan Radit kali ini terasa berbeda. Membuatnya merasakan desiran halus di seluruh nadi. Seolah ada cinta dan kekaguman dari sorot mata lelaki yang selama ini menemani ke mana pun ia melangkah.

"Radit, duduk di sini." Ucapan Pak Indra menyadarkan lelaki itu. Ia segera duduk di hadapan calon mertua dan penghulu. Meraih jabatan tangan Pak Indra untuk segera mengikrarkan janji suci. Ia menarik napas untuk menetralisir detak jantung yang terus berdegup kencang. Radit tersenyum, menampakkan wajah ketenangan yang menyiratkan kesungguhan.

Dita menunggu detik-detik ijab kabul dengan deguban di dada yang semakin cepat. Sesaat lagi, kehidupan baru dalam rumah tangga yang penuh sandiwara akan segera ia jalani. Entah bagaimana nantinya, gadis itu tak mau memikirikan lebih jauh. 

"Raditia Syafriza, saya nikahkan anak saya, Dita Arianata kepadamu, dengan mas kawin kalung emas seberat 25 gram. Tunai!" ucap Pak Indra dengan satu tarikan napas.

"Saya terima nikahnya Dita Arianata, dengan mas kawin tersebut. Tunai!" jawab Radit, lugas. Tanpa kendala.

"Bagaimana saksi?" tanya penghulu.

"Sah!"

"Alhamdulillah …," ucap semua yang hadir di sana. Terkecuali Arya. Ia menatap sinis pada kedua mempelai yang kini telah duduk berhadapan. Lelaki itu bangkit memilih pergi meninggalkan acara.

Dita duduk menghadap Radit. Menunduk, menyembunyikan pipinya yang merona alami di padu dengan riasan.

Radit mengangkat lembut dagu Dita dengan telunjuk dan jempolnya. Menatap lekat pada manik hitam sang istri. Tersenyum hangat penuh perasaan.

"Jangan ngeliatin terus!" ucap Dita pelan. Tatapan Radit yang berbeda membuatnya salah tingkah.

"Kamu cantik banget, Ta," ucap Radit.

"Gombal, lo! Buruan pakein!" pinta Dita agar Radit segera memakaikan kalung di lehernya. Tak sabar untuk segera mengakhiri acara yang tak pernah ia inginkan.

Radit tertawa kecil melihat tingkah wanita di hadapannya. Ia mencubit pelan dagu Dita. Lalu mendekatkan wajah. Mengaitkan kalung di belakang leher sang istri.

Jarak yang begitu dekat membuat Dita menahan napas. Ada desiran halus menjalar ke aliran darah. Belum pernah ia sedekat itu dengan lelaki. Wajahnya dengan Radit nyaris bersentuhan.

"Jangan tegang gitu. Santai aja," bisik Radit di telinga Dita usai ia mengaitkan kalung.

"Lama amat, sih?" gerutu Dita.

"Susah, tahu!" keluh Radit.

Dita mencebik mendengar alasan Radit. 

"Cium, donk. Kok gitu doang?" celetuk Dito.

"Dita, kamu cium tuh tangan suami kamu!" perintah Bu Meri dengan suara pelan.

Dita melongo. Haruskah ia melakukan itu pada Radit? Di depan orang banyak? Ia tersenyum kecil, meringis lebih tepatnya.

Belum selesai otaknya berpikir, kini sepasang tangan menangkup kedua pipinya. Bibir lelaki yang kini menjadi suami itu mendarat lembut di kening. Dita menegang, merasakan sensasi yang belum pernah ia bayangkan. Sepasang kelopak matanya membulat, detak jantung seolah berhenti beberapa detik.

"Rileks, Ta. Rileks …," bisik Radit. Melihat kegugupan dalam diri Dita.

Dengan tangan gemetar, Dita meraih tangan lelaki itu. Menempelkan punggung tangan Radit ke bibirnya yang ranum. Kedua mata tak berani menatap sang suami. Ia terus menunduk.

Radit tersenyum melihat Dita. Kepolosannya membuat lelaki itu gemas. Ingin meraih sang istri dalam pelukan. Namun, ia teringat akan janji mereka. Senyum di bibirnya memudar. Ia tarik napas panjang untuk meredam gejolak dalam dada.

***

"Aa!" Dita yang tengah membersihkan riasan di wajah terkejut karena tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar.

Radit melangkah masuk. Rasa lelah terpancar jelas di wajah tampan dengan tahi lalat di dagunya. Melangkah berat menuju ranjang.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Dita.

"Ya mau tidur," jawab Radit seraya merebahkan tubuh di kasur.

Dita yang melihatnya segera bangkit dari kursi rias dan menarik tangan Radit. "Lo gak boleh tidur di kamar gue!"

"Terus gue mau tidur di mana, istriku …?" ucap Radit lembut di kata terakhir. Duduk di tepi ranjang.

Sebutan 'istriku' membuat Dita merinding. Ia membayangkan sesuatu yang akan dilakukan Radit jika mereka tidur di kamar yang sama.

"Pokoknya lo jangan tidur di sini. Di sofa, kek. Atau depan tivi."

"Tega banget lo, Ta. Entar gue mesti jawab apa kalau mereka nanya kenapa gue gak tidur di kamar?"

"Ya bilang aja lo lagi cari angin atau apa," jawab Dita asal.

"Terus, berharap mereka percaya, gitu?"

Dita mengangguk.

"Udah, jangan bertingkah macem-macem. Gue cuma mau tidur," ucap Radit, lalu kembali membaringkan tubuh.

Kalau lo tidur di kasur, gue tidur di lantai!" ancam Dita.

"Ck!" Radit mencebik. "Iya, gue ngalah!" Lelaki itu meninggalkan Dita dalam kamar menuju ruang keluarga. Menyalakan televisi untuk menemani malam pertamanya sebagai seorang suami.  

"Radit marah sama gue? Ah, bodo amat! Mending gue tidur." Dita Segera menyelesaikan kegiatan yang tertunda, lalu berbaring di kasur.

***

Lelaki itu berbaring di karpet ruang keluarga. Melipat kedua tangan di bawah kepala. Kedua manik hitamnya menatap layar televisi yang menampilkan sebuah liga pertandingan. 

'Gini amat jadi suami pura-pura,' keluhnya dalam hati.

"Radit, kenapa di sini?"

Sebuah pertanyaan mengejutkannya dari lamunan. Dua orang lelaki paruh bayah menghampiri. Papanya dan papa mertua, Pak Indra.

"Eh, mau nonton bola, Pa." Radit sedikit gugup karena terkejut.

"Kamu tuh malam ini harusnya main bola, nyetak gol. Bukan malah nonton bola," kata Pak Indra diselingi tawa.

Radit menggaruk kepalanya yang tak gatal. "I-iya, Pa. Bentar lagi," jawabnya sembari meringis. Ia paham ke mana arah pembicaraan mertuanya.

Liga pertandingan sepak bola menyelamatkannya malam itu dari pertanyaan orang tua dan mertua. Sudah satu jam ia duduk di depan televisi. Radit melirik jam di tangan. 'Jam sebelas. Mungkin Dita dah tidur,' pikirnya.

"Udah sana, masuk. Ngapain pengantin baru sampai jam segini masih di luar?" kata Papa Radit.

"Iya, sana. Dita nungguin tuh, pasti." Pak Indra menimpali.

Radit merasa serba salah. Di luar, diusir orang tua, di kamar ia diusir istri.

"Mikir apalagi? Sana masuk!" perintah sang ayah.

"Iya, Pa," jawabnya seraya bangkit.

Radit beranjak menuju kamar dengan langkah gontai. Berharap Dita sudah tidur agar ia tidak perlu mencari alasan untuk tidur di luar.

Radit mengetuk pelan pintu kamar Dita. "Ta, kamu dah tidur?" tanyanya dari luar.

Tak ada jawaban dari dalam, Radit membuka pintu kamar yang tak dikunci. Tampak Dita telah berbaring pulas. Mengenakan piyama berwarna biru muda. 

Radit mendekati ranjang. Perlahan naik ke atas agar tidak membuat Dita terbangun. Ia rebahkan tubuh di sisi Dita. Menopang kepala dengan tangan kiri. Memandangi tiap lekuk ciptaan Tuhan di wajah sang istri.

Tangannya hendak mengelus kepala Dita. Nyaris menyentuh, tetapi menggantung di udara. Ia terdiam. Lalu menarik kembali tangannya. Tak ingin wanita itu terbangun dan marah.

Mendadak hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Ia merasa ada sesuatu yang mendorong naluri kelelakiannya. Hasrat seorang suami yang tengah memandang wajah polos sang istri yang sedang tertidur, menuntut untuk ditunaikan. 

Radit bangkit dari tempat tidur. Membuka kaus bagian luar. Menurunkan suhu pendingin ruangan.

"Sampai kapan gue mau kayak gini terus?" gumam Radit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status