Share

4. Berdua di Rumah Baru

"Ma, masak apa?" tanya Dita yang baru saja melarikan diri dari godaan Radit di depan kamar.

"Loh, kamu ngapain ke sini?" tanya Bu Meri.

"Dita laper."

"Mandi dulu sana. Nanti kalau sarapannya udah siap Mama panggil. Sekalian Radit juga."

"Dita mau bantuin Mama masak aja, biar cepat," kilah Dita. Alasan utamanya adalah ingin menghindari Radit.

"Mandi sana! Pengantin baru kok jam segini belum mandi?" kata Mama Radit yang bergabung dengan Bu Meri di dapur.

"Jangan lupa keramas ya, kak!" goda Dito seraya duduk santai di kursi sambil meneguk susu.

"Apaan, lo? Anak kecil!" Dita melempar sebutir bawang merah ke arah adiknya. Beruntung, remaja itu berhasil menghindar.

"Cie, pipinya merah …," goda Dito lagi tanpa menghiraukan lemparan bawang barusan. Ada kesenangan tersendiri bagi remaja SMA itu melihat ekspresi marah sang kakak.

"Diem, lo! Huh!" Dita menggerutu seraya melangkah lebar menuju kamar. Sementara tiga orang di dapur tertawa melihat tingkahnya.

'Si Radit ngapain lagi belum keluar? Awas kalau macem-macem!' batinnya.

Dita membuka pintu. Mendapati kamar kosong dan ranjang dengan susunan bantal dan seprai yang sudah rapi.

"Di mana Radit? Rajin banget dia beresin kamar," tanyanya pada diri sendiri. Ia mengambil handuk dan membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Cklek!

Kedua mata Dita membulat sempurna melihat pemandangan di dalam kamar mandi. Sesosok tubuh atletis berdiri membelakangi pintu. Punggung lebar dan lengan kekar yang selama ini tertutup itu terpampang nyata di depan mata. Dalam hitungan detik, lelaki itu menoleh ke arahnya.

"Aaa …!" teriak Radit dan Dita bersamaan.

Refleks Dita membanting pintu kamar mandi. Menutup wajah dengan kedua tangan. Berlari ke pintu kamar. Hendak membuka pintu, tetapi terhenti. Otaknya langsung teringat kepada tiga orang yang berada di dapur. Ia tak ingin orang tua mereka curiga.

Dita memejamkan mata rapat-rapat. Menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Ia ketuk kepalanya berkali-kali. Lalu berjalan mondar-mandir dalam kamar. Kedua manik hitamnya menangkap sesuatu yang dapat menyembunyikan diri dari Radit.

Ia tarik selimut tebal yang telah tertata rapi di ranjang. Duduk menekuk lutut di lantai dekat nakas, lalu menutup tubuh dengan selimut. Berharap Radit tak menemukannya. Ia merasa begitu malu untuk berhadapan dengan lelaki itu, setelah melihat tubuh polos yang membuat wajahnya terasa panas.

Radit buru-buru menyelesaikan mandinya. Membalutkan handuk di pinggang. Ia tatap wajah yang masih basah itu di cermin, merona.

"Aish!" Ia mendesis kesal. Mengusap-usap wajah dengan cepat. Radit berjalan ke pintu, membuka pintu kamar mandi perlahan. Kepalanya menyembul keluar, ia edarkan pandangan ke seluruh sudut kamar.

'Ke mana dia? Keluar? Bagus, deh. Aku aman!' pikirnya. Ia menghela napas lega. Meski telah menikah dan beberapa kali menggoda Dita pagi ini, tetapi lelaki itu merasa belum siap dengan peristiwa yang ia anggap memalukan.

Radit berdiri di depan lemari untuk mengambil pakaian. Belum sempat ia membuka pintu, dari kaca besar yang menempel di sana, terlihat sesuatu yang aneh di belakangnya.

'Selimut?' barin Radit heran. Kemudian menyeringai.

Ia melangkah perlahan mendekati buntalan selimut. Menariknya juga perlahan. Terlihat bergetar. Tampak rambut wanita dari atas.

Radit tersenyum geli. Ia tahu pasti tingkah konyol istrinya. Timbul niat untuk mengerjai Dita.

Ia berdiri di hadapan selimut yang membungkus tubuh Dita. Masih dengan tubuh hanya berbalut handuk. Membungkuk ke arahnya, kemudian memutar-mutar telunjuk tepat di kepala sang istri.

Perlahan Dita mengangkat kepala. Kemudian ….

"Baa …!" Radit berdiri mengejutkannya.

"Aaa …!" teriak Dita, terkejut. Ia kembali menutup kepalanya dengan selimut.

Radit tak mampu lagi menahan tawa. Ia terpingkal hingga membuat lilitan handuknya terlepas. Beruntung, Dita masih berada dalam selimut. Ia segera melilit kembali handuk di pinggangnya.

"Buka, dong, istriku …," goda Radit dengan suara manja.

"Mesum! Pergi gak, lo?!" teriak Dita dari persembunyiannya.

"Gak mau. Kita kan belum ehem-ehem tadi malam." Radit menahan tawa dengan menutup mulutnya.

"Mesum gila! Buruan pake baju!" umpat Dita. Jantungnya berdetak tak karuan.

"Pakein, dong …." Radit terpingkal dengan tetap menutup mulut dan memegang perut dengan tangan satunya.

"Radiiit …! Sarap, lo, ya!" Dita frustrasi. Tangisnya nyaris pecah. Ingin rasanya ia menendang bagian vital Radit sekuatnya.

"Begini ternyata rasanya punya istri polos," ucap Radit. Membungkuk dan mengelus lembut kepala sang istri yang masih terbungkus selimut. 

Napas Dita memburu. Ia sudah tidak sabar lagi menghadapi kelakuan Radit. Dengan gerakan cepat ia bangkit, berniat lari dari kamar. Namun sayang, kepalanya jistru menghantam wajah lelaki itu. Tepat mengenai hidung.

"Ak!" Radit mundur seketika seraya memegangi hidungnya. Perih.

"Radit! Lo gak apa-apa?" tanya Dita panik. Cairan kental berwarna merah mulai mengalir dari hidung mancung Radit. Ia mendekat, memeriksa kondisi hidung sang suami.

Dita meringis. "Berdarah … gue gak sengaja, Dit," ucapnya sambil memegang hidung Radit.

"Jangan dipencet. Tambah sakit!" Radit menepis pelan tangan Dita dari hidungnya. 

"Maafin gue …." Dita segera mengambil tisu di atas nakas. Perlahan membersihkan darah di hidung lelaki bertubuh atletis di hadapannya. Dita tak berani menunduk. Ia terus menatap ke atas, menghindari pemandangan dari dada bidang milik sang suami.

Posisi keduanya yang begitu dekat kembali menciptakan debaran dalam diri Radit. Hasrat lelaki sekaligus seorang suami mendadak muncul. Ia menahan tangan Dita yang sedang membersihkan hidungnya. Jika diteruskan, ia takut akan kehilangan kendali.

Dita menatap heran pada Radit yang menahan tangannya. Menatap dirinya begitu lekat. Seolah ia adalah mangsa yang siap diterkam.

"Biar gue aja," ucap Radit pelan lalu berbalik membelakangi Dita. Segera memakai kaus yang ia ambil sembarang dari lemari.

Dita terpaku. Menatap punggung lebar lelaki itu. Wajah Radit yang semula penuh tawa, kini berubah menjadi serius. Ada ekspresi yang tak dapat diartikan olehnya.

Radit membawa celana ke kamar mandi dan memakainya di sana. Meninggalkan Dita yang masih terpaku tak percaya.

Wanita lugu itu masih bergeming di tempatnya. Tidak menyadari apa yang membuat suasana hati Radit berubah secepat kilat. 'Radit marah hidungnya berdarah? Tapi, gue kan gak sengaja.' batinnya. Berusaha menerka apa yang ada di pikiran lelaki itu.

Tak lama, Radit keluar dari kamar mandi. Berjalan mendekati Dita. "Buruan mandi. Kita sarapan bareng," pintanya dan berlalu meninggalkan sang istri seorang diri.

Dita hanya bisa melongo melihat sikap Radit.

"Radit kenapa, sih? Moodnya gampang banget berubah," gumam Dita.

Di depan kamar, Radit menarik napas dalam-dalam. Berusaha menetralisir gejolak yang masih bertengger di dada. Ia harus berperang melawan diri sendiri. Hingga Dita mau membuka hati dan menganggapnya sebagai seorang suami. Meski entah kapan ….

***

Dita menghampiri Radit di ruang makan. Orang tua, mertua, juga Dito telah menunggunya di sana. Ia menarik kursi di sebelah lelaki yang kini telah menjadi suami. Sebuah senyuman hangat dari lelaki itu menyambut kehadirannya. Berbeda sekali dengan ekspresi ketika Radit meninggalkan kamar.

Dengan cekatan Radit mengambilkan nasi dan lauk pauk ke piring Dita. Wanita cantik itu hanya terperangah melihat sikapnya yang seolah begitu memanjakan sangvistri. Sandiwara yang sangat baik di depan orang tua mereka.

"Sarapan yang banyak, Sayang. Biar kuat," kata Radit. Tak lupa senyum manis ia lemparkan pada Dita.

'Biar kuat? Maksudnya?' tanya Dita dalam hati. Meski di depan Radit dan keluarga ia mengangguk, tetapi dibayangannya melintas hal-hal yang dilakukan oleh sepasang pengantin baru pada umumnya. Dita berusaha menepis dugaan. Ia tak ingin pikirannya terkontaminasi oleh pikiran mesum Radit.

"Oh ya, Pa, Ma, hari ini Radit dan Dita akan mulai pindah ke rumah sendiri," ucap Radit kemudian.

Dita menoleh ke arah sang suami. Ia merasa Radit mengambil keputusan sepihak, tanpa membicarakan dulu kepadanya. Keputusan itu terasa sangat tiba-tiba. Dita belum siap tinggal berdua saja dengan Radit.

"Cepat sekali. Baru juga nikah kemarin," kata Bu Meri.

"Iya, Ma, maaf," jawab Radit singkat.

"Ya udah, nanti kami bantu pindahan," kata Pak Indra.

"Gak usah, Pa. Kami cukup bawa baju aja. Semua peralatan rumah tangga udah lengkap di sana."

Lagi, Dita mendelik pada Radit. Ia bahkan tidak tahu apa pun tentang rumah yang akan mereka tempati.

Radit membalas tatapan Dita dengan senyum. Mengelus lembut kepalanya dan berkata, "Mau makan sendiri atau kusuapin?"

"Ciee … mau disuapin!" celetuk Dito.

"Apaan, sih, anak kecil!" Bibir wanita itu manyun. Rasa penasaran, kesal, semua menyatu di hatinya. Ia langsung memasukkan makanan ke dalam mulut. Mengunyah dengan cepat.

Radit hanya tertawa kecil melihat tingkah istri dan adik iparnya yang setiap hari selalu seperti itu. Tingkah kakak dan adik yang penuh warna. Juga wajah menggemaskan Dita yang tak pernah bisa menyembunyikan emosi yang sedang melanda. 

***

Mobil hitam yang dikendarai Radit kini menepi di halaman sebuah rumah. Taman depan yang cukup luas dan asri. Terdapat beberapa jenis tumbuhan dan kolam ikan yang tak begitu besar.

Radit segera turun dari mobil. Membuka pintu untuk sang istri.

"Silakan, Tuan Putri. Selamat datang di rumah kita," ucapnya dengan gaya bak seorang pelayan.

Dita mengedarkan pandangan ke seluruh sudut taman. Indah, asri, dan terlihat begitu nyaman. Sebuah rumah bercat biru langit di bagian depan. Dua pilar kukuh menyangga di serambi. Terdapat kursi panjang yang siap diduduki untuk menikmati indahnya suasana sore hari.

"Gimana menurut lo, Ta?" tanya Radit.

"Rumah ini lo beli jadi atau bangun dari awal, Dit?" Dita malah balik bertanya.

"Bangun. Lo kurang suka?"

Dita menggeleng.

"Asri, nyaman. Gue suka banget," jawab Dita. Lengkung senyum membuat keindahan di wajahnya semakin terpancar.

"Syukurlah kalau lo suka. Ayo masuk," ajak Radit sambil membawa dua koper miliknya dan Dita.

Dita mengikuti Radit dari belakang. Memasuki rumah bercat putih dan krem di bagian dalam. Terdapat tiga kamar di rumah itu. Satu kamar yang lebih luas dari lainnya, serta memiliki kamar mandi di dalam. Sebuah ruang tamu, ruang keluarga, juga dapur.

Radit mengajak Dita melihat seluruh ruangan yang tidak terlalu luas itu. Terdapat alat-alat rumah tangga yang terlihat masih baru. Televisi, sofa, lemari es, meja makan, kompor, serta peralatan lainnya. Lemari pakaian dan juga dua buah tempat tidur di kamar utama dan satu kamar lainnya 

"Dit, kapan lo beli semua barang-barang ini?" tanya Dita penasaran. Cukup lengkap dan semuanya masih baru.

"Minggu kemarin."

"What? Kenapa gak beli sebagian aja? Kan sebagiannya bisa gue beli."

"Ta, meski pernikahan kita pura-pura. Tetep aja status gue itu suami lo. Semua kebutuhan lo jadi tanggung jawab gue. Selama gue mampu, gue bakal belikan buat lo," jelas Radit. Ucapannya membuat Dita kehilangan kata-kata.

"Gak usah terharu gitu, ah. Gue emang baik orangnya," kata Radit memecah kesunyian.

"Ih, pede lo gak luntur ya dikit pun!" Dita menjulurkan lidah, meledek Radit. 

"Haha … lo gemesin banget sih, Ta kalau kayak tadi. Coba melet lagi? Biar gue cipok!"

"Kayaknya otak lo mesum banget ya semenjak kita nikah? Atau jangan-jangan lo punya pikiran kotor ke gue udah dari dulu?"

"Ada makanan lezat dan halal di depan mata, gak boleh disia-siain, kan? Apalagi gak ada siapa-siapa di sini," ucap Radit. Mendekati Dita perlahan. Ia lemparkan senyum yang menggoda. Kerlingan matanya membuat wanita itu merasa diri sedang terancam.

Radit semakin mendekat, membuat Dita terpojok di dinding. Terkunci oleh kedua lengan kukuhnya. Wajah tampan itu semakin dekat ke wajah Dita yang tampak tegang. Memajukan bibir ke arah bibir ranum sang istri. Semakin dekat dan ….

'Pluk!' 

Telapak tangan Dita menempel tepat di bibirnya.

"Radit menghela napas. "Yaah, gagal lagi," keluhnya.

Dita mendorong tubuh Radit dengan cepat.

"Awas aja lo macem-macem sama gue!" ancam Dita.

"Au … takuut," ejek Radit, menurukan gaya centil remaja putri dengan merapatkan kedua tangan di dada.

Dita melengos. Tak ingin melayani keusilan Radit.

Lelaki itu tertawa kecil, lalu berjalan menuju kamar utama. Dita mengekor di belakangnya.

"Ini kamar lo. Gue tidur di kamar sebelah." Radit memberikan koper Dita, lalu berjalan menuju kamar lainnya.

"Dit," panggil Dita. Membuat lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

"Ya?"

"Thanks for all."

Radit tersenyum. Sesaat menatap lekat ke manik hitam Dita. Kemudian memasuki kamarnya sendiri.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status