Share

Chapter 2 Disini, Pertama Cinta Bersemi

Zaifa biasa dipanggil Zee dengan nama lengkap Belinda Idelina Zaifa yang berarti wanita cantik, berhati mulia dan tangguh (27 tahun). Kulitnya putih, hidungnya mancung, memiliki dua lesung pipi yang membuat parasnya menjadi terlihat semakin menawan. Rambutnya panjang dan hitam pekat, tingginya semampai. Tatapannya tajam meski sorot matanya tetap terlihat redup. Mungkin karena dibalik sorot matanya menyimpan sekelumit kisah yang sulit di tebak. Kelembutan hatinya membuat tak sedikit menarik perhatian pria di sekelilingnya.

Zee memang sosok wanita yang tegar dan kuat. Banyak sekali impian dan cita-cita yang sudah ia gantungkan, keinginannya menjadi dosen di salah satu kampus ternama di kotanya membuat pijakannya semakin mantap dan kuat.

Zee merupakan gadis yang sangat rajin dan pantang menyerah. Selain cantik, ia juga piawai dalam bidang public speaking sehingga dapat menarik perhatian investor. Hal ini tentu membuat Bagas sang direktur perusahaan terkesima melihat kepiawaian mahasiswi yang statusnya sedang melakukan penelitian begitu memberikan keuntungan besar bagi perusahannya.

Alvendra Bagas Adiguna. Sorot mata Bagas kerap kali mencuri pandang saat Zee sedang melakukan presentasi. Hingga di suatu hari Bagas memberanikan diri untuk mengajak Zee makan siang bersama. Lambat laun Bagas mulai menaruh hati kepada Zee, namun Bagas masih belum berani untuk mengungkapkan isi hatinya.

22 April 2013

Suatu hari, Zee terkejut dengan kedatangan pria yang mengaku sebagai teman Rio. Awalnya ayah Zee tidak mengizinkan pria tersebut masuk. Alvendra... nama yang tak asing bagi Zee, namun ia masih belum bisa mengingatnya dengan jelas.

"Assalamualaikum pak, bu." Sapa Alvendra dengan penuh ramah.

"Waalaikum salam." Jawab Dika dan Kinasih saat duduk di teras ruang tamu. Mereka adalah  orang tua Zee.

"Maaf dengan siapa dan hendak bertemu siapa ya?" Sambung Dika sambil mempersilahkan Alvendra duduk.

"Saya Alvendra, teman Zee. Apakah Zee ada di ruma jika diperbolehkan saya ingin bertemu dengannya."

"Tentu boleh, tunggu sebentar ya." Ujar Dika sambil masuk ke dalam rumah sambil memanggil Zee.

"Zee masih merapikan pekerjaannya. Sebentar lagi juga dia keluar. Kalo boleh tau ada keperluan apa datang kemari?" Tanya Dika.

"Mohon maaf Pak, Bu maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Zee, putri Bapak dan Ibu." Jelas Alvendra dengan santai namun tetap tegas dan berwibawa.

Alvendra Bagas Adiguna yang berarti anak pertama laki-laki yang berwibawa dan beruntung (35 tahun). Kulitnya sawo matang, rambutnya sedikit ikal, tinggi badan sekitar 170 cm, tubuhnya kekar dan sixpect, alisnya tebal serta hidungnya yang mancung membuat pria ini terlihat sangat gagah. Ia merupakan anak sulung dari Brameswara dan Martini, pasangan pengusaha sukses dan ternama di kota tersebut. Sekilas, Alvendra nampak seperti pria sempurna, namun entah mengapa Alvendra tergolong telat menikah. Jika dibilang ia terlalu sibuk dengan usaha garmennya, maka itu semua mustahil karena sudah menjadi rahasia umum jika pria berdarah Indo Australia ini sering bergonta ganti pacar.

"Atas dasar apa kau hendak melamar putriku, anakmuda?" Sambung  Dika dengan mata yang tajam.

"Saya sangat mencintai putri Bapak dan Ibu."Jawab Alvendra tanpa basa basi.

"Cinta kau bilang? Tau apa kau tentang cinta?" Tanya Kinasih dengan nada yang serius.

"Saya memang belum lama kenal dengan Zee. Namun sejak pertama saya bertemu dengan Zee hati saya yakin jika dialah jodoh saya" Jelas Alvendra berusaha meyakinkan.

"Pak, Bu, mas Al, silahkan tehnya diminum dulu." Ujar Zee sambil meletakkan secangkir teh di atas meja.

"Zee, sini duduk nak," Pinta Kinasih dengan sangat lembut.

"Zee, aku sangat mencintaimu, maukah kau menjadi pendampingku untuk selamanya?" Tanpa basa basi Alvendra  menyatakan cintanya.

"Bagamana Zee?" Tanya Dika.

"Maaf mas, aku kan masih study lanjut S2. Aku tidak mau beasiswaku dicabut hanya karena aku menikah ditengah studyku. Meskipun tidak ada pernyataan tidak boleh menikah sebelum lulus study, namun aku takut tak dapat mencintaimu dengan baik nantinya." Jelas Zee.

"Itu semua tak akan menjadi masalah bagiku Zee, bukankah jika kita sudah memiliki niat baik alangkah baiknya segera dilaksanakan? Aku tak mau terjebak dalam jurang kemaksiatan Zee." Tutur Alvendra.

"Jurang kemaksiatan kau bilang? Apa maksudmu Al?" Tanya Dika.

"Mohon maaf Pak, bukannya saya menggurui, saya hanya tidak mau berpacaran dengan Zee karena saya takut terjerumus di lubang kemaksiatan. Izinkan saya taaruf dengan Zee Pak, Bu, sambil mempersiapkan acara pernikahannya kelak dan tentunya sambil menunggu Zee menyelesaikan studynya." Ujar Alvendra.

"Pernikahan kau bilang? Memangnya kau yakin anak saya akan menerimamu?" Sambung Kinasih.

"Mas Al, maafkan Zee. Bukannya aku tak menghargai niat baikmu. Justru aku sangat terharu dan berterima kasih atas kejujuranmu malam ini. Namun, apa sebaiknya kau pikirkan ulang lagi? Aku hanya anak dari buruh tani. Sedangkan kau anak pengusaha garmen ternama di kota ini. Kau lulusan S2 luar Negeri. Sedangkan aku masih menyelesaikan tesisku. Pun aku bisa kuliah berkat beasiswa, terlepas dari hal itu aku hanyalah guru Madrasah. Tak seperti kau yang bergelut di perusahaan garmen." Tutur Zee.

"Betul nak Al, status kita sangat berbeda jauh, mungkin lebih baik kau mencari wanita diluar sana yang sederajat denganmu nak. Bukan seperti kami." Jelas Dika.

"Tidak pak, bu. Hati saya Insya Allah sudah mantap dengan Zee. Saya memang belum lama mengenal Zee. Namun saya sering berinteraksi secara tidak langsung dengan Zee selama ini." Ujar Alvendra.

"Berintraksi tidak langsung? Maksudnya?" Tanya Zee sambil mengeruntukan kening.

"Zee, kau ingat tidak saat kau penelitian di PT. Abadi Sejahtera guna menyelesaikan tugas kuliahmu?" Tanya Alvendra sambil menunjukkan foto sebuah perusaha dari ponselnya.

"Tentu aku mengingatnya. Di sana aku disambut dengan baik oleh pak Bagas beserta segenap jajarannya." Ujar Zee.

"Dengan lancarnya kau mempresentasikan hasil penelitianmu kemudian kau merekomendasikan ide-ide briliant di perusahaan tersebut hingga akhirnya kami bisa menang tender." Tutur Alvendra sambil menunjukkan foto-foto Zee saat beraktivitas di perusahaan tersebut.

Zee memang calon magister pendidikan bisnis dan managemen di salah satu universitas favorit di Indonesia. Sehingga tak heran jika dia benar-benar piawai dalam menjalankan strategi bisnis.

"Sebentar, kok mas Al punya semua foto-fotoku?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening.

"Zee... apa kau masih ingat dengan pak Bagas?"

"Tentu Zee masih ingat nak Al, karena pak Bagas dulu pernah ke sini mengantarkan Zee saat ia jatuh pingsan di depan loby perusahaan" Jelas Pak Dika sambil menikmati teh hangat.

"Nah ternyata bukan hanya Zee yang mengingat tentang pak Bagas. Namun bapak juga mengingatnya." Sambung Alvendra sambil tertawa geli.

“Zee, aku rindu padamu.” Ungkap Al dengan nada sendu. Tatap matanya tak asing bagi Zee. Namun siapa dia sebenarnya, mengapa dia dengan mudah mengungkapkan kata-kata rindu? Pernahkah mereka bertemu?

Bukan hanya Zee yang kaget, tetapi orang tuanya juga terkejut. Mengapa pria ini terlihat begitu mengenal Zee? Bahkan tatap mata Zee dan Al kerap kali saling bertemu, ada rindu yang kian menyiksa. Namun siapa Al?

"Sebentar, Ibu kok bingung ya, dari tadi kalian membahas pak Bagas. Lalu apa hubungannya dengan maksud dan tujuan nak Al datang kemari?" Tanya Kinasih sambil menggaruk-garukkan kepala padahal kepalanya tak gatal.

"Sudah, sudah, mari nak Al tehnya diminum dulu, ini ada brownies buatan Zee loh." Sambung Dika seraya memecah ketengangan.

"Brownies ini rasanya sama seperti yang Zee berikan kepada pak Bagas saat acara ulang tahun perusahaan malam itu." Ujar Alvendra santai sambil mengunyah brownies.

Sebenernya mas Al ini siapa sih, kok sampe segitunya mengerti seluk beluk perjalananku di perusahaan itu. Padahal  aku kenal mas Al baru beberapa bulan lalu. Gumam Zee dalam hati.

"Zee, sosok perempuan pantang menyerah, tegas namun lembut hatiya. Sigap dalam menghadapi segala situasi serta mampu berpikir kritis. Sangat piawai dalam menjalani bisnis, dan penyayang anak-anak. Itulah salah satu alasanku ingin menjadi pendampingmu Zee." Jelas Alvendra sambil menatap Zee.

"Dari mana Mas Al tahu semua tentang aku?" Tanpa basa basi lagi Alvendra membuka ponselnya dan menunjukkan foto sosok pria yang gagah dan tampan.

"Pak Bagas! kok Mas Al bisa menyimpan foto pak Bagas?" Mata Zee terbelalak kaget saat melihat foto sosok laki-laki yang sudah ia kagumi sejak lama itu.

"Zee, kau lupa kalo nama direktur itu adalah Alvendra Bagas Adiguna?"

Sontak Zee terkejut. Sangkin terkejutnya ia sampai menjatuhkan secangkir kopi yang sedang ia genggam.

"Ya aku tau, tapi bukan berati kau itu pak Bagas kan? Mana mungkin, mustahil!"

"Tidak ada yang tidak mungkin Zee, nampaknya kau belum mengenal siapa aku sebenarnya." Terang Alvendra sambil memberikan sehelai sapu tangan biru. 

“Zee, masih ingatkah kau dengan sapu tangan ini? Masih ingatkah kau dengan foto-foto ini?” Pria itu  menunjukkan sapu tangan biru kotak-kotak yang tentu tak asing bagi Zee.

Tidak! Bagaimana mungkin. Sapu tangan itu buatanku. Aku sangat mengingat betul. Gumam Zee dalam hati sambil sesekali matanya melotot dan memperhatikan saputangan itu.

Semenjak Bagas dikabarkan meninggal, Zee melewati hari-harinya dengan penuh suka cita. Kenangan bersama Bagas dulu meski sangat sederhana tak kan pernah lekang oleh waktu. Terlebih saat Zee dengan sigap membungkus jari Bagas dengan saputangannya saat ia terluka oleh pecahan gelas yang tak sengaja jatuh saat meeting. Bola mata mereka saling bertemu dan bermuara di satu tempat yang kini masih menjadi misteri.

"Sudah lah mas tak usah berbelit-berbelit lagi. Aku semakin bingung dengan kedatanganmu yang tiba-tiba meminta aku untuk menjadi istrimu, dan tiba-tiba kau mengungkit-ungkit soal pak Bagas. Memangnya kau mengenal pak Bagas? Kau siapanya pak Bagas?" Tanya Zee gemas sambil membersihkan tangannya dengan tisyu karena sempat terkena tumpahan kopi.

“Hahaha, aku adalah Bagas yang selama ini kau kenal Zee."

Uhuk uhuk sontak Zee tersedak saat mendengar pengakuan Alvendra.

"Mana mungkin mas, sore hari menjelang malam perpisahan itu, sekretaris pak Bagas menelfonku dan memberi kabar bahwa beliau mengalami kecelakaan pesawat dengan penerbangan Singapore - Indonesia. Hari itu, pak Bagas memang sedang berada di Singapore guna menangani salah satu bisnisnya.” Jelas Zee sambil menyembunyikan air matanya.

“Lalu...?” Tanya Alvendra penasaran.

“Sore itu aku sedang berjalan menusuri koridor kampus yang cukup ramai. Karena bertepatan dengan hari ulang tahun kampus dan suasananya begitu brisik sekali, belum sempat aku bertanya tentang keadaan pak Bagas, Phonecellku terjatuh ke selokan akibat ada seseorang yang mendorongku tak sengaja. Saat itu aku sangat cemas dan tak henti-hentinya memikirkan pak Bagas. Akupun bingung saat itu, HPku rusak padahal semua kontak ada di HP, sehingga aku semakin tak sabar untuk menunggu hari esok karena pada saat itu aku ditunjuk oleh Dosen koordinator supaya aku mengantarkan beberapa berkas hasil penelitianku untuk PT. Abadi Sejahtera yang sudah berkenan mengizinkan tim kami untuk melakukan research meski dalam kurun waktu yang cukup singkat. Namun qodarulloh, sesaat setelah handphoneku jatuh, sayup-sayup kudengar teriakan seseorang yang memanggil dan semakin mendekatiku di tengah kerumunan. Dialah Rani teman dekatku. Dia memberi tahu bahwa aku dipanggil Pak Brameswara, dosen koordinator tim kami." Jelas Zee sambil menahan getir.

"Kau mencintai pak Bagas?" Tanya Alvendra.

"Entahlah, yang jelas pada hari itu hatiku begitu hancur mendengar pak Bagas kecelakaan dan yang membuatku lebih hancur adalah saat aku ditunjuk Pak Robby untuk menggantikannya mengisi materi seminar di Kuala Lumpur lusa. Padahal esok harinya adalah jadwalnya ke PT. Abadi Sejahtera. Artinya aku bisa menanyakan kabar pak Bagas keesokan harinya, namun karena aku ditunjuk untuk berangkat ke KL malam itu juga maka niat untuk ke PT tersebut digantikan oleh temanku. Setelah itu, sampai sekarang aku tak mengetahui bagaimana kabar pak Bagas. Tak satu pun temanku yang tau tentang hal itu."

"Lalu kenapa kau tak mengunjungi perusahaan itu setelah kau pulang dari KL?” Tanya Alvendra.

"Untuk apa?" Belum dijawab pertanyaan dari Alvendra, namun Zee melempar pertanyaan lagi dengan tatap mata yang berkaca-kaca.

"Ya, sekedar mencari tau keberadaan pak Bagas, mendengar cerita dan sorot matamu aku semakin yakin jika kau mencintai pak Bagas" Ujar Alvendra.

"Mungkin tanpa kusadari aku memang sudah jatuh hati kepada pak Bagas, namun semua itu aku kubur dalam-dalam. Karena percuma sampai sekarangpun aku belum mengetahui keberadaan pak Bagas. Jika aku mencari tahu di berita, nama Pak Bagas sudah dinyatakan meninggal saat kecelakaan pesawat itu. Aku tak punya nyali jika aku harus datang ke perusahaan, dan aku takut barang kali teryata pak Bagas sudah memiliki pasangan atau ahh... aku tak mampu membayangkan lebih jauh mas, karena itu terlalu sakit" Jelas Zee.

"Bapak jadi semakin bingung dengan pembicaraan kalian, lebih baik bapak masuk saja ya, di dalam bapak harus membereskan ubi yang akan dijual besok." jelas Pak Dika sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Sebentar Pak, mohon maaf boleh saya bertanya sesuatu kepada Bapak?" Ujar Alvendra saat Pak Dika hendak beranjak dari tempat duduknya. Sementara Pak Dika hanya mengangguk pelan seraya memberikan tanda setuju.

"Jika sosok Bagas yang dari tadi putri Bapak ceritakan tadi datang kemari apakah Bapak akan merestui hubungan mereka?” Tanya Alvendra.

"Semua itu terserah putri bapak saja" Jawab Dika.

"Zee, masihkah kau ingat ini?" Tanya Alvendra sambil menunjukkan design konyol yang pernah mereka buat di sela-sela waktu makan siang.

“Loh, kenapa gambar itu ada di kamu? Padahal dulu aku sudah meminta Pak Bagas untuk membuangnya.” Tanya Zee terkejut sambil memegang kertas yang sudah terlihat kusam dan lecek, namun goresan pensil seraya menunjukkan design rumah mewah tapi tetap elegan masih nampak terlihat jelas.

Ya, siang itu Bagas mengajak Zee ke restoran. Sekedar untuk lunch. Namun sambil menunggu pelayan mengantarkan pesanan mereka, Zee menggambar sesuatu di kertas. Ya, bakat yang terpendam. Selain piawai di bidang bisnis, design Zee juga tak kalah menarik dengan design arsitek-arsitek ternama.

“Mana mungkin Bagas membuang kenangan ini Zee. Secara design ini merupakan rumah impianmu. Percayalah kelak aku pasti akan mewujudkannya!” Jelas Alvendra mantap.

"Kamu masih ingat ini Zee?" Sambung Alvendra lagi sambil menunjukkan foto-foto Zee bersama Bagas.

Tak terasa derai air mata Zee tak dapat dibendung, butiran bening seolah berlomba-lomba jatuh. Bagaikan hati Zee yang kian berlomba-lomba menepis atau menerima pernyataan dari Alvendra.

"Sebenarnya kau tau apa tentang pak Bagas? Di mana dia sekarang?" tanya Zee sambil mengusap butiran bening yang jatuh selayak mutiara di pipinya.

"Di depanmu." Jawab Alvendra sambil menatap Zee dengan wajah yang serius.

"Terima kasih kau telah mencintaiku selama ini. Meski kau tak pernah mengutarakannya tapi aku tau jika kau tulus mencintaiku. Kita memang tak pernah ada hubungan spesial selama ini. Namun sorot matamu tak dapat berbohong jika selama ini kau mencintaiku. Akulah Bagas yang selama ini kau cari dan kau tunggu." jelas Alvendra sambil mengusap air mata Zee.

Belum sempat Zee menjawab, isak tangis Zee kembali membuncah, butiran bening seolah berlomba-lomba berjatuhan.

"Apa yang kau katakan Mas Al?! Aku tau namamu sama seperti pak Bagas. Namun bukan berati kau menyamakan dirimu dengan pak Bagas!" Bentak Zee sambil beranjak dari tempat duduk.

"Zee..." Al mencoba menggenggam tangan Zee sementara gadis cantik itu mengibaskan tangannya.

"Sabar nak, duduklah kembali sayang." Bujuk Kinasih sambil memegang tangan Zee seraya menenangkan putrinya.

Akankah Zee kembali memutar memorinya? Menguak kembali kisahnya bersama Bagas? Bagaimana respon Zee?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status