Kita memang tak pernah tahu kapan cinta itu datang dan pergi. Pun tak bisa mengusir atau menjamahnya dengan sesuka hati. Kenyataan pahit yang hampir merenggut nyawa Bagas menjadi tamparan keras. Pandangan Bagas menerobos menerawang jauh, mencoba menelisik kembali apa yang pernah ia alami.
"Kecelakaan maut itu membuat seluruh wajahku rusak parah. Akibatnya aku harus menjalani perawatan di London selama empat bulan lebih. Hanya ada dua pilihan usai kecelakaan itu. Aku bertahan seperti Bagas yang mereka kenal dengan wajah yang tak jelas bentuknya. Atau aku menjalani operasi plastik guna mengobati luka diwajahku, meski aku harus menerima kenyataan jika ternyata operasi plastik ini merubah total seluruh wajahku."
Zee terbelenggu mendengar penjelasan Alvendra.
"Berbulan-bulan aku menyendiri, mencoba beradaptasi dengan wajah baru namun teman-temanku tak percaya jika aku adalah Bagas yang mereka kenal. Sebagian besar mengira jika Bagas telah meninggal atas kecelakaan maut itu. Hanya Papa dan Mamah yang mendampingiku di London. Semua orang terpukul atas kecekakaan itu, kecelakaan yang nyaris melenyapkan nyawaku. Beruntung aku masih diberi kesempatan hidup meski aku harus kehilangan jari kelingking di tangan kiriku. Itulah sebabnya aku mengganti nama panggilanku dengan nama Alvendra. Aku berharap semuanya bisa membuka lembar baru dan mau menerima kehadiranku dengan bentuk fisik yang baru." Jelas Alvendra.
“Lalu siapa yang menyelamatkanmu saat kecelakaan maut itu?” Tanya Pak Dika sambil menggenggam tangan Alvendra.
“Menurut keterangan warga di TKP, aku ditemukan di semak belukar. Kondisi hutan belantara saat itu sangat mencekam terlebih banyak serpihan-serpihan pesawat dan puluhan jenazah yang belum berhasil di evakuasi. Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup dan menemui putri Bapak.” Jelas Alvendra sambil memeluk Dika.
"Lalu kenapa kau tak segera menemuiku?" Sambung Zee sambil menghapus isak tangis.
"Aku tak siap jika kau menolakku. Itulah sebabnya selama ini aku hanya mengintai dan mengawasimu, bahkan pernah mengaku sebagai teman Rio saat kau pergoki kami di sebuah restoran" Jelas Alvendra sambil berlutut di hadapan Zee.
"Zee, kini kau sudah mngetahui siapa aku, aku adalah Bagas yang kau kenal. Meski bentuk fisikku telah berubah total namun percayalah tidak ada yang berubah dalam diriku termasuk rasa Cintaku padamu. Sehari sebelum aku kecelakaan, aku telah menyiapkan kejutan untukmu, bahkan aku berniat untuk melamarmu. Namun semuanya sirna akibat kecelakaan melanda diriku." Jelas Alvendra sambil menunjukkan cincin berlian yang sangat cantik. Terlebih jika disematkan di jari kelingking Zee, tentu akan menambah keindahan di wanita cantik itu.
Zee masih menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya atas keterangan yang disampaikan Alvendra. Bukan karena wajah Alvendra yang tak setampan Bagas, meski Alvendra tergolong tampan, namun selama ini Zee hanyalah gadis desa sang pejuang mimpi, anak buruh tani yang memiliki cita-cita dan impian yang tinggi. Zee masih tertegun dan hanya bisa menatap Alvendra.
"Lalu bagaimana Zee, maukah kau menjadi pendamping hidupku?" Alvendra meneruskan pertanyaannya dengan nada gemetar sementara Zee hanya bisa menatap ayah dan ibunya seolah meminta izin atas permintaan Alvendra.
"Bagaimana Zee, apa kamu bersedia menerima lamaran nak Al? " Tanya Pak Dika mengulangi pertanyaan Alvendra.
Sementara Zee hanya mengangguk pelan seraya memberi tanda bahwa Ia menerima lamaran Alvendra.
"Terima kasih Zee, aku tau kau pasti akan menerimaku. Insya Allah pernikahan kami akan dilaksanakan tiga bulan lagi bu, pak. Sambil menunggu Zee menyelesaikan tugas akhirnya saya akan memepersiapkan segala sesuatunya." Jelas Alvendra penuh semangat.
Semilir angin menerpa wajah Zee, langit-langit malam seolah memberikan siluet pembeda di antara manusia biasa entah apa namanya yang jelas inilah realitanya. Pernikahan yang ia tunggu-tunggu akan segera tiba waktunya.
Menikah tak hanya menyatukan dua insan, namun juga dua keluarga. Menyatukan dua insan yang berbeda prinsip bukanlah hal yang mudah. Proses adaptasi terkadang menimbulkan percekcokan, entah itu karena hal-hal sepele berbau kecurigaan, kurangnya komunikasi, hingga kehadiran pihak-pihak tertentu yang dicurigai menjadi orang ketiga dalam tali percintaan yang mereka jalin.Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang memungkinkan perubahan dan pertumbuhan pada individu dan cara mereka mengekspresikan cinta mereka. Lelah itu biasa, kecewa itu wajar namun percayalah dalam pernikahan bukan tentang seberapa kali engkau lelah dan kecewa, tetapi tentang seberapa lama dan kuat engkau bertahan.Pagi itu... sayup-sayup terdengar suara burung berkicau merdu, seolah mewakili Zee dan Alvendra selaku pengantin baru, Meski satu bulan telah berlalu, namun aura-aura pengantin baru masih menghiasi rona wajah mereka."Sayang gajiku bulan ini kamu yang pegang ya." Ucap Alvendra sambil memb
Malam itu begitu indah, kemerlap lampu clubing beserta seisinya membuat jiwa Alvendra meraung-raung. Sungguh ia sangat merindukan suasana ini. Pandangannya menyebar, mengamati setiap sudut ruangan itu."Hai guys, long time no see." Sapa Alvendra kepada teman-temannya."Eh ada pengantin baru." Jawab Gio meledek."Mana istri lo Al? Ajakin ke sini dong. Hahaha." Sambung Keke."Ah mana mau dia ke clubing. Dia mah mainnya ke perpustakaan, ke masjid atau ke sekolah. Hahaha." Jawab Alvendra."Gila lu Al, Pengantin baru bukanya lembur malah kluyuran ke sini. " Jawab Rendi sambil tertawa geli."Ah biasa aja kali. Gue kangen sama lu lu pada." Jawab Alvendra sambil menikmati secangkir kopi.Alvendra memang sosok yang tak suka diatur, moody person, and easy going. Sikap coolnya memang kerap kali membuat gadis-gadis penasaran dengan Alvendra. Tak heran jika sejak dulu dia sering gonta ganti pacar, sehingga saat menikahi Zee usianya sudah terlampau
Kelut kemelut langit yang seolah takut menghadapi kenyataan. Takut menitikkan air hujan. Hanyalah gerimis dan kabut yang berani menyapa pagi ini. Tak ada burung yang berkicau seperti biasanya. Hanyalah hembusan angin dingin yang berani menyapa Zee di bibir pintu."Assalamualaikum." Sapa Alvendra di ambang pintu sambil melepaskan sepatunya."Waalaikum salam. Alhamdulillah akhirnya kau pulang juga." Zee begitu gembira melihat suaminya sudah kembali setelah semalaman sulit dihubungi."Sayang, udah sarapan? aku udah bikinin kamu tongseng loh. Spesial. Makananan kesukaan mu kan?" Ujar Zee sambil memeluk Alvendra."Aku masih kenyang. Habis makan bubur ayam tadi sama Rio." Jawab Alvendra singkat.Rio memang adik Alvendra yang cukup patuh. Kebiasaannya tak berubah yakni membelikan bubur ayam untuk orang satu rumah sebagai menu sarapan favorit keluarga mereka.Melihat wajah Alvendra yang masih terlihat kesal, Zee semakin bersemangat untuk menunjukan hasil
Nud...nud... Alvendra nampak cemas dan menunggu Martini mengangkat telponnya."Hallo ada apa Alvendra?" Jawab Martini di seberang sana."Mah, Zee hamil" Jawab Alvendra singkat."Hamil? Bagus dong. Berati sebentar lagi kau akan menjadi Ayah.""Masalahnya aku belum siap jadi ayah mah. Aku takut diganggu oleh banyak orang""Ssttt gak boleh ngomong gitu. Kamu kan masih punya pegangan dari mbah Tukiem. Gini saja, kamu carikan gunting dan jarum peniti lalu kau berikan kepada istrimu. Kau minta istrimu untuk membawa ke manapun gunting dan jarum itu?""Untuk apa semua ini mah?""Dasar bodoh! Ya untuk melindunginya dari serangan-serangan ghoib!""Oh ya. I know." Jawab Alvendra sambil menggaruk-garukkan kepala yang sebenarnya tidak gatal."Lalu kau cari dua telur ayam kampung beserta bunga tujuh rupa yang direndam di atas air seperti biasanya, dan kau letakkan di bawah tempat tidur kamar kalian." Tambah Martini di ujung
Klinik praktik Dokter Afandi memang sangat luas, terdapat kolam ikan di tengah-tengah ruang tunggu pasien, percikan air dan ikan-ikan emas koi yang terus saling mengejar satu sama lain cukup menghibur hati pasien di sela-sela menunggu antrean periksa.Zee masih duduk termenung mengamati ikan-ikan dalam kolam tersebut. Air terjun di tengah kolam menambah keindahan dan kesejukan bagi siapa pun yang melihatnya. Pandangannya menerobos menerawang jauh, menerka-nerka apa yang telah terjadi. Merangkum kembali semua memori dan membungkusnya dalam ingatan secara sangat rapi. Namun semakin Zee merangkum memori-memori tersebut terlebih saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Alvendra sebelum menikah, hal itu justru semakin membuat Zee merasa sakit hati. Ia hanya tertegun saat mendengar kata-kata Alvendra tadi di depan Dokter Afandi.Perasaannya seolah hanyut bersama percikan air yang mengalir di dalam kolam ikan. Terlebih saat angin sepoi-sepoi turut menghampiri dedaunan, karen
Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam
Jarum jam semakin menunjukkan angka tertingginya. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran Alvendra. Malam semakin senyap, sambil menatap lentera di pojok teras, Zee nampak cemas menunggu Alvendra. Gejolak tak menentu sesekali hadir dalam benaknya. "Apa aku telpon mas Al aja ya..." Tanya Zee kepada dirinya sendiri sambil melirik handphonenya."Tapi kalo aku telpon nanti mas Al marah-marah lagi karena merasa diganggu." Jawabnya lagi."Tapi ini kan udah jam 11 malam. Masa mas Al ga pulang lagi si." Bantahnya lagi."Ya udah aku telpon sekarang aja deh." Jawabnya lagi sambil meraih handphone di mejanya. Setelah melewati perdebatan dengan diri sendiri, Zee memutuskan untuk menghubungi Alvendra. Nud nud nud... nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Terdengar suara operator di seberang sana. Zee semakin cemas, detak jantungnya tak menentu. Namun tiba-tiba terdengar suara mobil di depan gerbang. Yups. Tak salah lagi, mobil Alvendra
"Mas, ini tehnya." Zee menyodorkan secangkir teh celup. "Gimana kabar mamah sama papah?" Tanya Zee mencoba memecah suasana."Mereka baik." Jawab Alvendra datar sambil menyeruput kopinya."Lantas Rio gimana, aku dengar dia udah punya pacar ya?" Tanya Zee lagi sambil tersenyum tipis."Ya begitulah, namanya Dina." Jawab Al sambil menengguk tehnya lagi."Wah, Dina mantan sekretaris Rio ya?" Zee nampak terkejut saat mendengar nama kekasih Rio."Yups.""Ya ampun... Dina kan baik banget mas. Cantik, pintar, seksi lagi. Ga nyangka ya mereka bisa jadian. Hihihi" Jawab Zee sambil tertawa geli."Bagaimana bisa kau kenal dengan Dina?" Tanya Alvendra heran."Kamu lupa? Saat kamu kecelakaan dan dinyatakan meninggal, Rio yang mengambil alih perusahaan. Rio juga yang menggantikan posisimu. Saat itu, Rio keresafel sejumlah karyawan dan memilih Dina sebagai sekretarisnya." Jelas Zee sambil melempar senyum."Wait, jangan-jangan Dina yang w