Menikah tak hanya menyatukan dua insan, namun juga dua keluarga. Menyatukan dua insan yang berbeda prinsip bukanlah hal yang mudah. Proses adaptasi terkadang menimbulkan percekcokan, entah itu karena hal-hal sepele berbau kecurigaan, kurangnya komunikasi, hingga kehadiran pihak-pihak tertentu yang dicurigai menjadi orang ketiga dalam tali percintaan yang mereka jalin.
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang memungkinkan perubahan dan pertumbuhan pada individu dan cara mereka mengekspresikan cinta mereka. Lelah itu biasa, kecewa itu wajar namun percayalah dalam pernikahan bukan tentang seberapa kali engkau lelah dan kecewa, tetapi tentang seberapa lama dan kuat engkau bertahan.
Pagi itu... sayup-sayup terdengar suara burung berkicau merdu, seolah mewakili Zee dan Alvendra selaku pengantin baru, Meski satu bulan telah berlalu, namun aura-aura pengantin baru masih menghiasi rona wajah mereka.
"Sayang gajiku bulan ini kamu yang pegang ya." Ucap Alvendra sambil memberikan amplop coklat.
"Makasih sayang" ucap Zee sambil membuka amplop.
"Setengahnya udah aku kasih ke Mamah kemarin. Sisanya kamu yang pegang ya." Sambung Alvendra.
"Loh kok aku dikasih sisanya mas? Kan aku istrimu." Ujar Zee kaget.
"Memangnya kenapa kalo kamu istriku? Mamah yang melahirkan, merawat dan membesarkanku. Apa aku salah ngasih uang ke Mamah?" Bentak Alvendra.
"Bukan begitu maksudku mas kita ini kan sudah menikah. Aku harap akulah yang pertama menerima apapun dari kamu. Aku tidak melarang kamu mau memberikan uang kepada mamahmu. Tapi alangkah baiknya berikanlah dulu uangnya kepadaku mas. Setelah itu baru kamu berikan kepada Mamah" jelas Zee pelan.
"Alah bilang aja kau iri sama mamah ku kan bilang aja kau sensi kepada mamahku. Kamu lihat Zee, Mamahku lumpuh! Dia harus terbaring lemah karena kedua kakinya diamputasi demi menyelamatkanku saat aku menjalani perawatan di London. Sudah sewajarnya aku berbakti kepadanya." bentak Alvendra lebih keras.
"Tapi mas..." belum selesai Zee memberi pengertian Alvendra segera meninggalkannya.
Debat kusir di pagi hari membuat jiwa dan hati Zee serasa disambar petir. Baru sebentar menikah tapi sudah bertengkar. Padahal Zee membayangkan jika menikah dengan Alvendra maka hidupnya akan bahagia. Karena dulu saat Zee praktik di perusahaan Alvendra, tentu saat dia masih dikenal sebagai Bagas, sungguh alangkah baiknya sosok Bagas alias Alvendra itu.
"Zee apa suamimu sudah sarapan? Sejak pagi Ibu belum melihatnya, ke mana dia?" Tanya Martini membuyarkan lamunan Zee.
"Mas Alvendra pergi ke rumah Mamah bu." Jawab Zee singkat.
"Loh kok kamu tidak ikut?"
"Lain kali aja Bu, aku capek. Mau tidur dulu." Zee segera beranjak dari ruang tamu. Tentu saja Zee tak merasa ngantuk, karena masih jam 10 pagi. Hal itu hanyalah sebuah alasan supaya Kinasih tak melihat butiran di pelupuk mata Zee.
Kekeh, gak biasanya Zee bersikap dingin seperti itu. Jangan-jangan... ah sudahlah... Gumam Kinasih dalam hati.
***
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Namun Alvendra tak kunjung pulang. Ke mana dia apa mungkin dia masih di rumah mamah ataukah pergi bersama teman-temannya. Gumam Zee dalam hati.
Kring... kring Whats App Zee berbunyi.
Malam ini aku menginap di rumah mamah. Kau tak usah menungguku pulang. Pesan singkat dari Alvendra membuat Zee bertanya-tanya.
Malam terlihat begitu indah bintang-bintang bertaburan. Angin sepoi-sepoi seolah merasuk memainkan helai demi helai rambut Zee. Ada rasa pedih, mengoyak batin tapi entah perasaan apa yang sedang berkecambuk dalam diri Zee. Yang jelas bukan perasaan berbunga-bunga atau bahagia seperti yang dirasakan oleh pengantin baru pada umumnya. Belum lama menikah namun sifat asli Alvendra seolah sudah terlihat semua. Realitanya tak seperti Alvendra yang Zee kenal dulu.
Di kediaman orang tua Alvendra
"Alvendra, kenapa kau masih di sini? Apa kamu tidak pulang?" Tanya Martini.
"Enggak ah mah, aku menginap di sini saja. Males di rumah Zee." Jawab Alvendra acuh.
"Kok gitu, apa yang membuat kamu males Alvendra? Bukankah pengantin baru itu lagi mesra-mesranya ya?"
"Zee bawel mah. Masa dia ngatur-ngatur aku. Kan udah biasa ya gajianku aku kasih ke mamah. Lah dia ngomel-ngomel gara-gara aku ngasih uang ke mamah." Dengus Al kesal.
"Surga itu di bawah telapak kaki ibu Alvendra. Jadi kamu harus berbakti sama mamah. Meskipun kamu sudah menikah. Lagian kamu kan laki-laki gak boleh kalah sama istri."
"Iya Mah, makanya aku bete jadi ya aku balik aja ke sini."
"Ya udah Al, kalo kamu capek tidur gih mamah juga mau istirahat."
"Nanti ah Mah, aku mau ke cafe dulu ngumpul sama temen-temen. Semenjak menikah, aku belum pernah hangout sama temen-temen."
"Loh kok bisa?" Tanya Martini terbelalak kaget.
"Zee melarang aku mah." Jawab Alvendra singkat sambil meninggalkan Martini.
Emang dasar tu perempuan gak beres ya. Gumam Martini kesal.
Sebagai ibu mertua harusnya menjadi penengah. Bukan malah menjadi api di tengah kehidupan rumah tangga anaknya. Akankah Zee mampu bertahan?
***
Malam itu begitu indah, kemerlap lampu clubing beserta seisinya membuat jiwa Alvendra meraung-raung. Sungguh ia sangat merindukan suasana ini. Pandangannya menyebar, mengamati setiap sudut ruangan itu."Hai guys, long time no see." Sapa Alvendra kepada teman-temannya."Eh ada pengantin baru." Jawab Gio meledek."Mana istri lo Al? Ajakin ke sini dong. Hahaha." Sambung Keke."Ah mana mau dia ke clubing. Dia mah mainnya ke perpustakaan, ke masjid atau ke sekolah. Hahaha." Jawab Alvendra."Gila lu Al, Pengantin baru bukanya lembur malah kluyuran ke sini. " Jawab Rendi sambil tertawa geli."Ah biasa aja kali. Gue kangen sama lu lu pada." Jawab Alvendra sambil menikmati secangkir kopi.Alvendra memang sosok yang tak suka diatur, moody person, and easy going. Sikap coolnya memang kerap kali membuat gadis-gadis penasaran dengan Alvendra. Tak heran jika sejak dulu dia sering gonta ganti pacar, sehingga saat menikahi Zee usianya sudah terlampau
Kelut kemelut langit yang seolah takut menghadapi kenyataan. Takut menitikkan air hujan. Hanyalah gerimis dan kabut yang berani menyapa pagi ini. Tak ada burung yang berkicau seperti biasanya. Hanyalah hembusan angin dingin yang berani menyapa Zee di bibir pintu."Assalamualaikum." Sapa Alvendra di ambang pintu sambil melepaskan sepatunya."Waalaikum salam. Alhamdulillah akhirnya kau pulang juga." Zee begitu gembira melihat suaminya sudah kembali setelah semalaman sulit dihubungi."Sayang, udah sarapan? aku udah bikinin kamu tongseng loh. Spesial. Makananan kesukaan mu kan?" Ujar Zee sambil memeluk Alvendra."Aku masih kenyang. Habis makan bubur ayam tadi sama Rio." Jawab Alvendra singkat.Rio memang adik Alvendra yang cukup patuh. Kebiasaannya tak berubah yakni membelikan bubur ayam untuk orang satu rumah sebagai menu sarapan favorit keluarga mereka.Melihat wajah Alvendra yang masih terlihat kesal, Zee semakin bersemangat untuk menunjukan hasil
Nud...nud... Alvendra nampak cemas dan menunggu Martini mengangkat telponnya."Hallo ada apa Alvendra?" Jawab Martini di seberang sana."Mah, Zee hamil" Jawab Alvendra singkat."Hamil? Bagus dong. Berati sebentar lagi kau akan menjadi Ayah.""Masalahnya aku belum siap jadi ayah mah. Aku takut diganggu oleh banyak orang""Ssttt gak boleh ngomong gitu. Kamu kan masih punya pegangan dari mbah Tukiem. Gini saja, kamu carikan gunting dan jarum peniti lalu kau berikan kepada istrimu. Kau minta istrimu untuk membawa ke manapun gunting dan jarum itu?""Untuk apa semua ini mah?""Dasar bodoh! Ya untuk melindunginya dari serangan-serangan ghoib!""Oh ya. I know." Jawab Alvendra sambil menggaruk-garukkan kepala yang sebenarnya tidak gatal."Lalu kau cari dua telur ayam kampung beserta bunga tujuh rupa yang direndam di atas air seperti biasanya, dan kau letakkan di bawah tempat tidur kamar kalian." Tambah Martini di ujung
Klinik praktik Dokter Afandi memang sangat luas, terdapat kolam ikan di tengah-tengah ruang tunggu pasien, percikan air dan ikan-ikan emas koi yang terus saling mengejar satu sama lain cukup menghibur hati pasien di sela-sela menunggu antrean periksa.Zee masih duduk termenung mengamati ikan-ikan dalam kolam tersebut. Air terjun di tengah kolam menambah keindahan dan kesejukan bagi siapa pun yang melihatnya. Pandangannya menerobos menerawang jauh, menerka-nerka apa yang telah terjadi. Merangkum kembali semua memori dan membungkusnya dalam ingatan secara sangat rapi. Namun semakin Zee merangkum memori-memori tersebut terlebih saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Alvendra sebelum menikah, hal itu justru semakin membuat Zee merasa sakit hati. Ia hanya tertegun saat mendengar kata-kata Alvendra tadi di depan Dokter Afandi.Perasaannya seolah hanyut bersama percikan air yang mengalir di dalam kolam ikan. Terlebih saat angin sepoi-sepoi turut menghampiri dedaunan, karen
Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam
Jarum jam semakin menunjukkan angka tertingginya. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran Alvendra. Malam semakin senyap, sambil menatap lentera di pojok teras, Zee nampak cemas menunggu Alvendra. Gejolak tak menentu sesekali hadir dalam benaknya. "Apa aku telpon mas Al aja ya..." Tanya Zee kepada dirinya sendiri sambil melirik handphonenya."Tapi kalo aku telpon nanti mas Al marah-marah lagi karena merasa diganggu." Jawabnya lagi."Tapi ini kan udah jam 11 malam. Masa mas Al ga pulang lagi si." Bantahnya lagi."Ya udah aku telpon sekarang aja deh." Jawabnya lagi sambil meraih handphone di mejanya. Setelah melewati perdebatan dengan diri sendiri, Zee memutuskan untuk menghubungi Alvendra. Nud nud nud... nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Terdengar suara operator di seberang sana. Zee semakin cemas, detak jantungnya tak menentu. Namun tiba-tiba terdengar suara mobil di depan gerbang. Yups. Tak salah lagi, mobil Alvendra
"Mas, ini tehnya." Zee menyodorkan secangkir teh celup. "Gimana kabar mamah sama papah?" Tanya Zee mencoba memecah suasana."Mereka baik." Jawab Alvendra datar sambil menyeruput kopinya."Lantas Rio gimana, aku dengar dia udah punya pacar ya?" Tanya Zee lagi sambil tersenyum tipis."Ya begitulah, namanya Dina." Jawab Al sambil menengguk tehnya lagi."Wah, Dina mantan sekretaris Rio ya?" Zee nampak terkejut saat mendengar nama kekasih Rio."Yups.""Ya ampun... Dina kan baik banget mas. Cantik, pintar, seksi lagi. Ga nyangka ya mereka bisa jadian. Hihihi" Jawab Zee sambil tertawa geli."Bagaimana bisa kau kenal dengan Dina?" Tanya Alvendra heran."Kamu lupa? Saat kamu kecelakaan dan dinyatakan meninggal, Rio yang mengambil alih perusahaan. Rio juga yang menggantikan posisimu. Saat itu, Rio keresafel sejumlah karyawan dan memilih Dina sebagai sekretarisnya." Jelas Zee sambil melempar senyum."Wait, jangan-jangan Dina yang w
Bunga kian bermekaran, mereka mulai menampakkan keceriaannya terlebih saat embun melewati pori-pori dan setiap sudut dedaunan. Lebih lengkap lagi karena sinar mentari mulai menampakkan keberadaannya. Angin sepoi-sepoi menyapa wajah Zee dan memainkan rambut hitamnya.Pagi itu terlihat sangat cerah. Namun sepertinya tak secerah hati Zee. Bagaimana tidak? 'Besok aku akan membuatkan surat pengunduran diri untukmu' kata-kata Alvendra semalam masih sangat terngiang.Sesekali ingatan Zee kembali mencuak. Terputar kembali saat-saat kebersamaannya dengan Andrea, Cika, Doni, dan si kembar Rara Rere. Ya... merekalah murid terdekat Zee. Tak jarang Zee mendengar curhatan-curhatan mereka."Bunda Zee, cantik deh. Aku minta maaf ya Bunda." Terngiang kembali kata-kata rayuan khas Andrea jika ia melakukan kesalahan."Bunda kenapa? Bunda lelah? Sini Rara bantu." Atau tingkah si kembar yang baik hati. Dan,,, ahhh masih banyak lagi kenangan-kenangan yang pastinya