Kelut kemelut langit yang seolah takut menghadapi kenyataan. Takut menitikkan air hujan. Hanyalah gerimis dan kabut yang berani menyapa pagi ini. Tak ada burung yang berkicau seperti biasanya. Hanyalah hembusan angin dingin yang berani menyapa Zee di bibir pintu.
"Assalamualaikum." Sapa Alvendra di ambang pintu sambil melepaskan sepatunya.
"Waalaikum salam. Alhamdulillah akhirnya kau pulang juga." Zee begitu gembira melihat suaminya sudah kembali setelah semalaman sulit dihubungi.
"Sayang, udah sarapan? aku udah bikinin kamu tongseng loh. Spesial. Makananan kesukaan mu kan?" Ujar Zee sambil memeluk Alvendra.
"Aku masih kenyang. Habis makan bubur ayam tadi sama Rio." Jawab Alvendra singkat.
Rio memang adik Alvendra yang cukup patuh. Kebiasaannya tak berubah yakni membelikan bubur ayam untuk orang satu rumah sebagai menu sarapan favorit keluarga mereka.
Melihat wajah Alvendra yang masih terlihat kesal, Zee semakin bersemangat untuk menunjukan hasil tespack. Sebetulnya Zee berniat memberitahu kabar kehamilannya kemarin. Namun belum selesai Zee menjelaskan Alvendra sudah berhambur pergi.
"Ya udah kalo kamu belum mau sarapan. Gak papa buat nanti aja. By the way aku mau ngomong penting mas." Ujar Zee sambil mengelus pipi Alvendra.
"Ngomong aja kali." Jawab Alvendra cuek sambil memainkan game ponselnya.
"Ini mas." Ujar Zee sambil menunjukkan hasil tespack dengan mata yang berbinar.
"Kamu hamil?" Tanya Alvendra sambil melirik Zee.
"Iya mas, kamu seneng kan?"
"Iya. Alhamdulillah." Jawab Alvendra sambil tersenyum tipis dan kembali bermain game di ponselnya.
Ya Allah, apakah mas Al ga suka kalo aku hamil? Kenapa responnya biasa aja? Gumam Zee dalam hati.
"Mas, kamu pengin anak cewek apa cowok?" Tanya Zee berusaha mencuri perhatian Alvendra.
"Ah, cewek apa cowok sama aja. Yang penting dia gak nyusahin."
"Mas, kok kamu ngomongnya gitu?" Zee tersentak kaget.
"Biasanya anak kecil bisanya cuma nyusahin doang. Jadi kita ga bisa melakukan ini itu." Jelas Alvendra sambil melotot kesal.
"Mas, anak itu anugrah dan titipan dari Allah. Diluar sana banyak kok orang yang masih belum hamil padahal udah lama menikah." Zee mencoba mengelus pundak Alvendra, berharap bisa memecah suasana.
"Sudah lah Zee, kamu hamil ya hamil aja ga usah mendadak jadi tukang ceramah gitu!hhh" Bentak Al kesal sambil meraih handuk di lemarinya.
"Mas!! Anak ini kelak akan menjadi penyejuk hati kita. Aku percaya itu mas." Bentak Zee. Nampaknya Zee sudah tak mampu menahan emosinya.
"Hey, kamu berani membentakku? Emangnya kamu siapa? Hah?! Mamah orang yang mengandung dan melahirkanku pun tak pernah berkata kasar sepertimu. Ingat ya Zee, kalau kamu macam-macam aku akan...." Ucapan Al terhenti saat mendengar alrm HPnya berbunyi.
"Akan apa mas? Jawab pertanyaanku?"
"Ah, sudahlah... ga penting banget pagi-pagi berantem sama kamu. Buang-buang energi saja." Ucap Alvendra sambil menuju kamar mandi.
"Mas aku mau ke pasar dulu." Ujar Zee sambil mengambil dompet di lacinya. Tentu alasan ke pasar hanyalah sebuah alibi belaka, sekedar untuk menghibur diri dan menahan kesedihannya, menyimpan perih di hatinya. Sementara Alvendra tak peduli dengan itu semua.
Nud...nud... Alvendra nampak cemas dan menunggu Martini mengangkat telponnya."Hallo ada apa Alvendra?" Jawab Martini di seberang sana."Mah, Zee hamil" Jawab Alvendra singkat."Hamil? Bagus dong. Berati sebentar lagi kau akan menjadi Ayah.""Masalahnya aku belum siap jadi ayah mah. Aku takut diganggu oleh banyak orang""Ssttt gak boleh ngomong gitu. Kamu kan masih punya pegangan dari mbah Tukiem. Gini saja, kamu carikan gunting dan jarum peniti lalu kau berikan kepada istrimu. Kau minta istrimu untuk membawa ke manapun gunting dan jarum itu?""Untuk apa semua ini mah?""Dasar bodoh! Ya untuk melindunginya dari serangan-serangan ghoib!""Oh ya. I know." Jawab Alvendra sambil menggaruk-garukkan kepala yang sebenarnya tidak gatal."Lalu kau cari dua telur ayam kampung beserta bunga tujuh rupa yang direndam di atas air seperti biasanya, dan kau letakkan di bawah tempat tidur kamar kalian." Tambah Martini di ujung
Klinik praktik Dokter Afandi memang sangat luas, terdapat kolam ikan di tengah-tengah ruang tunggu pasien, percikan air dan ikan-ikan emas koi yang terus saling mengejar satu sama lain cukup menghibur hati pasien di sela-sela menunggu antrean periksa.Zee masih duduk termenung mengamati ikan-ikan dalam kolam tersebut. Air terjun di tengah kolam menambah keindahan dan kesejukan bagi siapa pun yang melihatnya. Pandangannya menerobos menerawang jauh, menerka-nerka apa yang telah terjadi. Merangkum kembali semua memori dan membungkusnya dalam ingatan secara sangat rapi. Namun semakin Zee merangkum memori-memori tersebut terlebih saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Alvendra sebelum menikah, hal itu justru semakin membuat Zee merasa sakit hati. Ia hanya tertegun saat mendengar kata-kata Alvendra tadi di depan Dokter Afandi.Perasaannya seolah hanyut bersama percikan air yang mengalir di dalam kolam ikan. Terlebih saat angin sepoi-sepoi turut menghampiri dedaunan, karen
Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam
Jarum jam semakin menunjukkan angka tertingginya. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran Alvendra. Malam semakin senyap, sambil menatap lentera di pojok teras, Zee nampak cemas menunggu Alvendra. Gejolak tak menentu sesekali hadir dalam benaknya. "Apa aku telpon mas Al aja ya..." Tanya Zee kepada dirinya sendiri sambil melirik handphonenya."Tapi kalo aku telpon nanti mas Al marah-marah lagi karena merasa diganggu." Jawabnya lagi."Tapi ini kan udah jam 11 malam. Masa mas Al ga pulang lagi si." Bantahnya lagi."Ya udah aku telpon sekarang aja deh." Jawabnya lagi sambil meraih handphone di mejanya. Setelah melewati perdebatan dengan diri sendiri, Zee memutuskan untuk menghubungi Alvendra. Nud nud nud... nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Terdengar suara operator di seberang sana. Zee semakin cemas, detak jantungnya tak menentu. Namun tiba-tiba terdengar suara mobil di depan gerbang. Yups. Tak salah lagi, mobil Alvendra
"Mas, ini tehnya." Zee menyodorkan secangkir teh celup. "Gimana kabar mamah sama papah?" Tanya Zee mencoba memecah suasana."Mereka baik." Jawab Alvendra datar sambil menyeruput kopinya."Lantas Rio gimana, aku dengar dia udah punya pacar ya?" Tanya Zee lagi sambil tersenyum tipis."Ya begitulah, namanya Dina." Jawab Al sambil menengguk tehnya lagi."Wah, Dina mantan sekretaris Rio ya?" Zee nampak terkejut saat mendengar nama kekasih Rio."Yups.""Ya ampun... Dina kan baik banget mas. Cantik, pintar, seksi lagi. Ga nyangka ya mereka bisa jadian. Hihihi" Jawab Zee sambil tertawa geli."Bagaimana bisa kau kenal dengan Dina?" Tanya Alvendra heran."Kamu lupa? Saat kamu kecelakaan dan dinyatakan meninggal, Rio yang mengambil alih perusahaan. Rio juga yang menggantikan posisimu. Saat itu, Rio keresafel sejumlah karyawan dan memilih Dina sebagai sekretarisnya." Jelas Zee sambil melempar senyum."Wait, jangan-jangan Dina yang w
Bunga kian bermekaran, mereka mulai menampakkan keceriaannya terlebih saat embun melewati pori-pori dan setiap sudut dedaunan. Lebih lengkap lagi karena sinar mentari mulai menampakkan keberadaannya. Angin sepoi-sepoi menyapa wajah Zee dan memainkan rambut hitamnya.Pagi itu terlihat sangat cerah. Namun sepertinya tak secerah hati Zee. Bagaimana tidak? 'Besok aku akan membuatkan surat pengunduran diri untukmu' kata-kata Alvendra semalam masih sangat terngiang.Sesekali ingatan Zee kembali mencuak. Terputar kembali saat-saat kebersamaannya dengan Andrea, Cika, Doni, dan si kembar Rara Rere. Ya... merekalah murid terdekat Zee. Tak jarang Zee mendengar curhatan-curhatan mereka."Bunda Zee, cantik deh. Aku minta maaf ya Bunda." Terngiang kembali kata-kata rayuan khas Andrea jika ia melakukan kesalahan."Bunda kenapa? Bunda lelah? Sini Rara bantu." Atau tingkah si kembar yang baik hati. Dan,,, ahhh masih banyak lagi kenangan-kenangan yang pastinya
"Assalamualaikum." Alvendra mengetuk pintu kepala sekolah. "Waalaikum salam. Silahkan masuk." Terdengar suara serak-serak basah dari dalam ruangan. "Wah, mas Al, mba Zaifa. Silahkan duduk." Ucap pak Dody sambil beranjak dari tempat duduknya. Pak Dody merupakan kepala sekokah di Madrasah tempat Zee mengajar. Sekilas tampangnya terlihat sangar, kumisnya menjulang nampak seperti pak raden, hihihi. Bodynya kekar, berjalannyapun tegap. Tapi jangan salah, beliau ini pandai sekali memainkan alat musik. Terlebih jika beliau menyanyi... uwwwhhh suaranya gak kalah kaya Pasha Ungu. Hahaha "Ada apa mas Al? Tumben datang kemari?" Tanya Pak Dody sambil membuka tutup toples dan menyuguhkan air mineral yang selalu ready di mejanya. "Silahkan diminum dulu mas, mba" "Terimakasih Pak." Jawab Zee singkat sambil menengguk air putih. Berharap air ini dapat mencairkan suasana hatinya, mendinginkan pikirannya dan menenangkan suasana. "Jadi begini pak, maksud dan tuju
Kebersamaan Zee bersama rekan kerjanya kini hanya tinggal kenangan. Sepertinya sulit bagi Zee untuk menemukan kenyamanan seperti itu lagi. Zee masih duduk terbelenggu. Sementara Alvendra asyik mendengarkan musik jazz kesukaannya. Sambil sesekali memencet tlakson mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Alvendra, Zee hanya diam. "Mas, kita bisa berhenti sebentar gak di taman depan?" Pinta Zee sambil menunjuk taman di pinggir lampu merah. "Hah? Berhenti? What for?" Tanya Alvendra heran. "Aku mohon mas." Zee menempelkan kedua telapak tangannya serya memohon. Sebetulnya Alvendra malas untuk menuruti keinginan Zee, namun apa boleh buat. "Oke, tapi jangan lama-lama." Jawab Alvndra singkat sambil memarkirkan mobilnya. "Terimaksih mas." Ucap Zee sambil melepaskan sabuk pengamannya. "Ayok mas, temani aku sebentar." "Aduh, apalagi sih Zee." Al nampak begitu kesal. Tsngannya mengepal sambil memukul setir mobil. "Sebentar... saja