Share

Chapter 7 Main Dukun

Nud...nud... Alvendra nampak cemas dan menunggu Martini mengangkat telponnya.

"Hallo ada apa Alvendra?" Jawab Martini di seberang sana.

"Mah, Zee hamil" Jawab Alvendra singkat.

"Hamil? Bagus dong. Berati sebentar lagi kau akan menjadi Ayah."

"Masalahnya aku belum siap jadi ayah mah. Aku takut diganggu oleh banyak orang"

"Ssttt gak boleh ngomong gitu. Kamu kan masih punya pegangan dari mbah Tukiem. Gini saja, kamu carikan gunting dan jarum peniti lalu kau berikan kepada istrimu. Kau minta istrimu untuk membawa ke manapun gunting dan jarum itu?"

"Untuk apa semua ini mah?"

"Dasar bodoh! Ya untuk melindunginya dari serangan-serangan ghoib!"

"Oh ya. I know." Jawab Alvendra sambil menggaruk-garukkan kepala yang sebenarnya tidak gatal.

"Lalu kau cari dua telur ayam kampung beserta bunga tujuh rupa yang direndam di atas air seperti biasanya, dan kau letakkan di bawah tempat tidur kamar kalian." Tambah Martini di ujung telpon.

"Oke Mah akan segera kusiapkan semua itu." Jawab Alvendra singkat sebelum menutup telponnya.

Ritual-ritual semacam itu merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh keluarga besar Alvendra. Bahkan untuk memajukan perusahaan pun Alvendra meminta aji-aji atau jimat kepada mbah Tukiem selaku orang yang dianggap pintar oleh keluarganya.

"Assalamualaikum." Ujar Zee sambil membawa keranjang belanjaannya.

"Waalaikum salam." Jawab Kinasih sambil merapikan horden di ruang tamu.

"Loh Zee, kau ke pasar naik ojek? Kenapa bukan Alvendra yang mengantarmu?" Tanya Kinasih heran.

"Gak papa bu, kasian mas Alvendra kecapean baru pulang tadi pagi."

"Baru pulang?" Tanya Kinasih sambil mengerutkan kening.

"Ah sudahlah Bu. Siang ini aku ingin makan kepiting asam pedas. Aku sudah membeli kepiting di pak Yos tadi." Jawab Zee mengalihkan pembicaraan.

Huekkkk Tiba-tiba Zee merasa disambut oleh kunang-kunang. Rasa mual yang begitu hebat menyertainya saat itu.

"Zee, kamu kenapa? Alvendra Alvendra, sini Alvendra, istrimu pingsan." Teriak Kinasih.

Kemana lagi si anak itu. Dipanggil-panggil gak nyaut. Gerutu Kinasih dalam hati. Sia-sia ia memanggil Alvendra yang tak kunjung hadir. Akhirnya Kinasih berusaha sendiri untuk membaringkan Zee di sofa ruang tamu karena kamar Zee berada di lantai dua tentu Kinasih tak sanggup menggendongnya seorang diri.

"Assalamualaikum. Loh Zee kenapa Bu?" Tanya Alvendra di ambang pintu dan kemudian langsung lari menghampiri Zee yang sedang tak berdaya.

"Zee pingsan pulang dari pasar. Lagian kamu kenapa sih tidak menemani Zee ke pasar? Habis dari mana kau?" Tanya Kinasih kesal.

"Aku habis beli pulsa bu."Jawab Alvendra tenang.

"Beli pulsa kau bilang? Kenapa gak sekalian kau antar Zee ke pasar? Kasian dia, pulang-pulang malah pingsan"

"Ibu tenang aja. Zee pingsan mungkin karena dia sedang hamil." Jawab Alvendra santai seolah tak merasa bersalah.

"Apa? Hamil? Kamu ini gimana Alvendra. Sudah tau istri hamil kenapa tidak kau antar atau kau larang saja supaya tidak pergi ke pasar?!" Bentak Kinasih geram. Sementara Alvendra hanya terdiam sambil memberikan minyak kayu putih di hidung Zee.

Aduh... Zee mengaduh.

"Kau sudah siuman sayang, kamu kenapa tadi gak minta aku untuk mengantarkanmu ke pasar? Tau gitu aku saja yang ke pasar. Diminum dulu ni air putihnya." Ujar Alvendra sambil mengelus kepala Zee.

Apa perlu aku bilang ke kamu? Harusnya tadi kamu mengejarku. Mana rasa pengertianmu Alvendra. Gumam Zee dalam hati sambil menengguk segelas air putih.

"Zee, mulai sekarang kamu jangan terlalu lelah ya... kau harus menjaga baik-baik kandunganmu." Ujar Kinasih.

"Ibu sudah tau kalo aku hamil?"

"Alvendra yang memberi tau ibu tadi. Ya sudahlah biar kepitingnya ibu yang memasak. Kau istirahat saja." Ujar Kinasih sambil menahan kesal.

"Sayang, aku gendong kamu ke kamar ya. Supaya kamu bisa istirahat dengan tenang." Alvendra menggendong Zee.

Sesampainya mereka di kamar, Zee nampak kebingungan dengan buntelan plastik yang di bawa oleh Alvendra.

"Mas, apa yang kau bawa?" Tanya Zee sambil berbaring di tempat tidur.

"Oh, ini telur ayam kampung."

"Untuk apa? Aku tak pernah memintanya."

"Sudahlah, kau diam saja dulu Zee. Istirahat saja." Jawab Alvendra sambil menyiapkan rajahan yang disarankan Martini.

Astaghfirullohaladzim... bunga tujuh rupa direndam bersama telur. Untuk apa semua ini? Gumam Zee dalam hati. Sementara Alvendra sedang sibuk berkomat kamit membaca mantra yang entah apa artinya.

"Mas, untuk apa semua ini?"

"Untuk melindungi kita dari serangan-serangan setan."

"Astaghfirullohaladzim. " Jawab Zee setengah menjerit.

"Mas, ini semua berbuatan musrik. Sangat dibenci oleh Allah."

“Tau apa kau soal musrik Zee! Ini aku lakukan supaya kau dan calon anak kita dilindungi.”

“Dilindungi siapa mas? Justru ini akan membahayakan kita karena kita menyekutukan Allah.”

“Diam Zee!!!” Bentak Alvendra keras. Beruntung kamar Zee berada di lantai dua sehingga Kinasih jarang mendengar pertengkaran mereka karena Kinasih dan Dika lebih nyaman di lantai satu. Lelah kata mereka jika harus naik turun tangga.

“Mas, istighfar, aku tak menyangka kau sepicik ini menyekutukan Allah. Kembalilah ke jalan Allah mas. Mana Alvendra yang aku kenal dulu? Apakah semenjak kau operasi dan wajahmu berubah lalu kau juga merubah keyakinanmu kepada Allah? Sosok Alvendra alias Bagas yang aku kenal dulu adalah sosok laki-laki yang ta’at.” Jelas Zee sambil menitikkan air mata.

“Hahaha, asal kau tau Zee, perusahaanku bisa berdiri tegak dan sukses karena apa? Karena ini... pegangan yang diberikan oleh mbah Tukiyem.” Jawab Alvendra sambil menunjukkan buntelan hitam dari dompetnya.

“Astagfirullohaladzim, siapa mbah Tukiyem?” Tanya Zee lirih.

“Mbah Tukiyem adalah orang pintar yang selama ini melindungi keluargaku.” Jawab Alvendra sambil membereskan bunga-bunga yang sudah ia tenggelamkan dalam toples beserta telur ayam kampung di dalamnya.

“Sudahlah Zee, surga itu selain ada di bawah telapak kaki Ibu, tapi juga berada di bawah telapak kaki suami. Kau harus patuh kepada suami!” Jawab Alvendra singkat.

Surga memang di bawah telapak kaki Ibu, namun apakah jika sang Ibunda mengajari kita hal yang tidak baik harus dituruti juga? Zee masih diam membisu, terpaku dan terbelenggu. Tak disangka bahwa suaminya ternyata penganut kepercayaan-kepercayaan ghoib. Ya Allah aku mohon beri aku kekuatan dan ketegaran untuk melewati ini semua.

Beberapa menit berlalu... Zee memilih untuk keluar dari kamarnya dan menuju lantai satu. Tentu sekedar untuk menonton TV atau menikmati secangkir teh. Barang kali bisa sedikit memecahkan rasa gundah yang terus menyelubungi hati Zee.

Aduh... aaaaaaaa tiba-tiba Zee mengaduh kesakitan, ada rasa ngilu di perutnya. Rasa sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Zee, kamu kenapa?” Tanya Dika panik.

“Gak tau pak, perut ku sakit sekali.” Jelas Zee sambil menahan sakit.

“Alvendra!! Alvendra!!” Dika berteriak memanggil Alvendra.

“Ada apa pak?” Tanya Alvendra sambil berlarian menuju ruang tengah.

“Perut Zee sakit, tolong kamu bawa ke bidan terdekat.” Pinta Dika.

Tanpa pikir panjang Alvendra segera menggendong Zee memasuki mobil dan membawanya ke Bidan Dini, bidan terdekat dari rumahnya.

Sesampai di tempat praktik bidan, Zee sudah tak sadarkan diri, beberapa perawat terlihat keluar masuk dari ruang praktik seraya menangani Zee. Sesaat setelah beberapa suster keluar masuk dengan membawa alat-alat medis, Bidan Dini keluar dan memanggil Alvendra.

“Adakah keluarga dari Ibu Zee di sini?” Tanya bu bidan di bibir pintu ruang praktik.

“Saya suaminya bu.” Jawab Alvendra santai.

“Silahkan masuk pak, ada yang ingin saya sampaikan.” Pinta Bidan Dini.

“Apa sebelumnya istri bapak jatuh atau terpeleset?” Tanya Bidan Dini sambil memeriksa buku riwayat ibu hamil milik Zee.

“Tidak Bu.” Jawab Alvendra.

“Apakah selama ini bu Zee rajin kontrol ke dokter kandungan atau mengikuti posyandu?” Tanya Bidan Dini lagi.

“Semenjak istri saya mengetahui kehamilannya ia selalu rajin untuk check up bu.” Jelas Alvendra. 

“Hemmmmmmm” Bidan Dini terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Lalu apakah bu Zee selama ini terlalu lelah atau banyak pikiran?”

Sambung Bidan Dini sambil menatap Alvendra dalam-dalam.

“Saya rasa tidak Bu, istri saya hanya mengajar di Madrasah dekat rumah, dan saya lihat dia sangat menikmati profesi ini. Sebenarnya apa yang terjadi pada istri saya Bu?” Tanya Alvendra dengan nada yang serius.

“Begini Pak, kandungan istri Anda sangat lemah terlebih masih dalam trimester pertama. Usia kandungan istri Anda baru 3 minggu. Sehingga perubahan-perubahan hormon pasti mempengaruhi kondisi baik psikis  maupun fisiknya. Istri Anda mengalami pendarahan. Beruntung segera dibawa ke sini sehingga tadi sudah saya beri obat penguat kandungan. Namun lebih baik, Anda membawa bu Zee ke dokter spesialis kandungan untuk menindaklanjuti hal ini. Karena jika tidak, nyawa istri Bapak dan calon janin yang dikandung istri Bapak bisa terancam.” Jelas Bidan Dini.

“Lalu apa yang harus saya lakukan Bu?

“Ini saya beri surat rujukan untuk ke RS Bunda, di sana ada dokter spesialis kangungan yang terkenal bagus. Biasanya jam segini praktik sudah ditutup tapi Anda tidak perlu khawatir, setelah ini saya akan menelpon suster di sana supaya istri Anda diperbolehkan mendaftar. Sesampai disana Anda cukup menunjukkan surat rujukan ini.” Jelas Bidan Dini sambil memberikan selembar kertas rujukan.

“Baik Bu. Terima kasih. Kira-kira apakah istri saya harus dirawat inap?” Tanya Alvendra.

“Maaf Pak, saya tidak bisa memastikan. Yang terpenting adalah sekarang juga Anda harus membawa istri Anda ke RS tersebut.” Jelas Bidan Dini.

“Baik bu. Terima kasih.”

“Mbak, tolong ambilkan kursi roda untuk bu Zee.” Pinta Bidan Dini kepada salah satu perawatnya.

“Baik bu.” Jawab Aqila singkat.

“Mbak tolong antarkan istri saya ke mobil saya. Saya akan menelpon orang rumah dulu.” Pinta Alvendra sambil menunjuk mobilnya di pojok parkiran.

“Baik Pak.” Jawab Aqila sambil menganggukkan kepala.

Nuudddddd... belum ada satu orang pun yang menjawab telpon Alvendra.

"Hallo Alvendra. Bagaimana dengan Zee?" Tanya kinasih panik saat menerima telpon dari Alvendra.

Bidan menyarankan Zee untuk di rujuk ke RS Bunda bu, di sana ada dokter spesialis kandungan. Aku sudah diberi surat rujukan oleh bidan. Sekarang juga aku akan membawa Zee ke sana. Jelas Alvendra.

"Apa?!!!! Rumah Sakit?!!! Memangnya kenapa Zee? Apakah harus dirawat inap?" Tanya Kinasih sambil menahan isak tangis.

“Belum tau bu... mohon doa terbaiknya saja. Tapi aku minta tolong untuk disiapkan baju ganti dan segala keperluan lainnya karena barang kali Zee harus diopname. Sesampai di sana nanti aku segera memberi tau Ibu. Udah dulu ya bu aku buru-buru.” Jelas Alvendra.

"Baiklah... hati-hati Al." Tanpa menjawab perkataan kinasih Alvendra segera menutup telpon.

“Mbak terimakasih sudah mengantarkan istri saya.” Ujar Alvendra sambil menggendong Zee ke dalam mobil.

“Sama-sama pak.” Jawab Aqila singkat.

Tanpa basa-basi lagi Alvendra segera menstater mobilnya dan melaju ke Rumah Sakit Sejahtera. Sementara Zee hanya bisa terkulai lemas dan bersandar di kursi mobil sambil memegangi perutnya.

“Kenapa sayang?” Tanya Alvendra sambil memegang tangan Zee.

Sementara Zee hanya menggelengkan kepala sambil menahan sakit dan nyeri di perutnya.

“Sabar ya sayang, kamu pasti kuat.” Ujar Alvendra sambil mengelus perut Zee. Semoga dengan adanya dukungan spiritual ini calon janinnya bisa merasakan bahwa kedua orang tuannya begitu menunggu kehadirannya di dunia.

Tepat pukul 16.00 WIB Alvendra dan Zee sampai di Rumah Sakit tersebut. Dengan sigap Alvendra segera mencari kursi roda atau dlakbar supaya Zee bisa segera dibawa ke IGD. Sementara satpam yang bertugas saat itu langsung membantu Alvendra.

Begitu sampai di IGD suster segera memasang infus di tangan kiri Zee yang sudah sangat terkulai lemas dan setengah tak sadarkan diri.

“Ini sus, surat rujukan atas nama pasien Zee Bungawijaya.” Ujar Alvendra sambil memberikan surat rujukan kepada suster.

“Oh ya, tadi bu Dini sudah memberi tau lewat telpon. Kalo begitu langsung saja masuk ke ruang praktik dokter Pak. Nanti akan dibantu oleh Suster Laila.” Jelas Suster Citra.

“Suster Laila, tolong bawa pasien ini ke ruang praktik Dokter Afandi sekarang juga karena keadaannya cukup gawat.” Pinta suster Citra.

Sementara suster Laila segera mendorong dlakbar menuju ruang Dokter Afandi. Harap-harap cemas sambil komat kamit entah apa yang dilantunkan di bibir Alvendra, doa ataukah mantra yang jelas Alvendra terlihat sangat tegang saat mengikuti suster Laila menuju ruangan Dokter Afandi.

“Permisi dok, ini pasien atas nama Zee Bungawijaya yang mendapat surat rujukan dari Bidan Dini.” Jelas suster Laila.

“Assalamualaikum ibu, perkenalkan saya Dokter Afandi. Apakah ibu bisa mendengar suara saya?” Tanya dokter sambil memeriksa Zee.

Sementara Zee hanya mengangguk pelan sedangkan matanya masih tertutup rapat.

“Suster tolong ambilkan minum untuk ibu Zee.” Pinta Dokter Afandi kepada suster Lila.

“Ini dok, ” Suster Laila segera mengambilkan segelas air putih dan memberikannya kepada Dokter Afandi.

“Biar saya saja dok.” Pinta Alvendra saat dokter hendak memberikan minum kepada Zee.

“Ibu, coba Ibu buka matanya.” Pinta Dokter Afandi.

“Apa yang tejadi bu? Kenapa Ibu sampai bisa pendarahan? Apakah Ibu terlalu lelah?”

“Entahlah dok, bagaimana dengan kandungan saya?” Tanya Zee dengan nada yang sangat lirih.

“Ibu coba lihat layar USG, saya periksa dulu ya.” Ujar Dokter Afandi sambil mempersiapkan peralatan.

“Kandungan Ibu masih sangat lemah. Usianya baru 3 minggu. Artinya Ibu masih berada pada trimester pertama, sehingga hal ini sangat rawan sekali terjadi pendarahan. Oleh sebab itu orang hamil itu harus bahagia, tak boleh sedih, tidak boleh terlalu lelah dan harus makan makanan yang bergizi.” Jelas Dokter Afandi.

“Tapi perut saya sangat kram dok, terlebih saya mengalami pendarahan. Apakah artinya kandungan saya nyaris keguguran dok?” Tanya Zee cemas.

“Sebelumnya apakah Ibu habis jatuh atau terpeleset atau perutnya terbentur?” Tanya dokter sebelum menjawab pertanyaan Zee.

“Tidak dok, namun dari kemarin perut saya memang mengalami kram yang luar biasa.” Jelas Zee.

“Apakah Ibu sedang mengalami banyak masalah? Atau banyak memikirkan sesuatu?” Tanya Dokter Afandi.

“Ah tidak dok, saya rasa istri saya selalu bahagia. Setiap hari saya memanjakan dan memperhatikan dia. Sayapun membantu pekerjaan-pekerjaan istri saya baik pekerjaan di rumah maupun dikantornya.” Jelas Alvendra santai.

Enak sekali kau mengatakan seperti itu mas Alvendra. Tak kusangka jika kau sepicik itu, padahal aku belum sempat menjawab pertanyaan dari dokter. Gumam Zee dalam hati.

“Baguslah pak. Alangkah baiknya menjadi suami siaga, karena kandungan istri Bapak sangat lemah. Sehingga butuh dukungan moril dari lingkungan sekitar. Jangan biarkan istri Bapak terlalu banyak pikiran apalagi sampai sakit hati karena hal ini akan mempengaruhi kandungan istri Bapak.” Jelas Dokter Afandi.

“Tentu dok, saya akan menjadi suami siaga, karena saya sangat mencintai istri saya.” Jawab Alvendra sambil menguntai senyum.

“Bagaimana Bu, apakah ada hal yang ingin disampaikan lagi?” Tanya Dokter Afandi kepada Zee.

“Tidak dok, terima kasih.” Jawab Zee singkat.

“Kalo begitu saya berikan resep obat penguat kandungan, kalau ada keluhan lagi bisa segera dibawa ke sini ya.” Jelas Dokter Afandi sambil menyerahkan selembar kertas berisikan resep.

“Terima kasih dok. Kami permisi.” Ujar Alvendra sambil merangkul Zee.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status