Malam itu begitu indah, kemerlap lampu clubing beserta seisinya membuat jiwa Alvendra meraung-raung. Sungguh ia sangat merindukan suasana ini. Pandangannya menyebar, mengamati setiap sudut ruangan itu.
"Hai guys, long time no see." Sapa Alvendra kepada teman-temannya.
"Eh ada pengantin baru." Jawab Gio meledek.
"Mana istri lo Al? Ajakin ke sini dong. Hahaha." Sambung Keke.
"Ah mana mau dia ke clubing. Dia mah mainnya ke perpustakaan, ke masjid atau ke sekolah. Hahaha." Jawab Alvendra.
"Gila lu Al, Pengantin baru bukanya lembur malah kluyuran ke sini. " Jawab Rendi sambil tertawa geli.
"Ah biasa aja kali. Gue kangen sama lu lu pada." Jawab Alvendra sambil menikmati secangkir kopi.
Alvendra memang sosok yang tak suka diatur, moody person, and easy going. Sikap coolnya memang kerap kali membuat gadis-gadis penasaran dengan Alvendra. Tak heran jika sejak dulu dia sering gonta ganti pacar, sehingga saat menikahi Zee usianya sudah terlampau cukup. Tentu usia 35 tahun bukanlah usia yang masih remaja. Pada usia ini pria sudah tergolong matang secara lahir dan batin. Umumnya laki-laki di usia tersebut sudah memiliki rasa tanggung jawab yang sangat besar terlebih jika sudah menikah.
Kring... kring... ponsel Alvendra berdering. Rupanya telpon dari Zee.
"Handphone lu bunyi terus Alvendra dari tadi, kenapa gak lu angkat telponnya." Tanya Keke penasaran.
"Males." Jawab Alvendra sambil mengibaskan tangan.
Namun ponsel Alvendra masih terus berdering, sehingga membuatnya geram dan merasa terganggu. Tanpa pikir panjang Alvendra segera menonaktifkan ponselnya.
"Sebenernya telpon dari siapa si Al? Sampe HP nya lu matiin segala." Tanya Gio sambil mengunyah potatto crunch .
"Bukan urusan lo. Kepo amat si lo. Udah lah malam ini gue pengin seneng-seneng bareng lo semua. Kangen kali semenjak gue menikah lo jarang banget ngajakin gue hangout." Jelas Alvendra kesal.
"Gak banget Al ngajakin elu hangout. Kan sekarang lu udah ada yang punya. Nanti bisa-bisa kita disate sama istri lo. Hahaha." Jawab Keke.
"Ke, kita dansa yuk." Alvendra berusaha mengalihkan pembicaraan, dan segera menarik tangan Keke.
Sial... dasar playboy kelas kakap. Udah merit tetep aja nglirik gebetan gue. Gue laporin ke Zee baru tau rasa lu... hhh. Gumam Rendi sambil mengepalkan tangan.
"Ren, lu ga usah cari penyakit sama si Alvendra. Lu mau dia menarik investasinya di perusahaan lo?" Cegah Gio saat Rendi hendak mengabadikan kemesraan Alvendra bersama Keke di Handphonenya.
"Ah! Gue cabut duluan!" Rendi mengurungkan niatnya untuk mengabadikan momen Alvendra dan Keke sambil meninggalkan Gio dengan wajah yang kesal.
"Ren, ren tunggu dong jangan main cabut aja. Terus gue ngobrol sama siapa dong?"
"Sama nyamuk!” Jawab Rendi sambil membalikkan punggung.
"Ya elah, susah deh kalo urusannya sama mereka berdua. Si Alvendra yang keras kepala dan susah dibantah sementara Rendi cowok baperan tingkat akut, hhh" Gio menggerutu sambil menepuk jidatnya.
"Ke, kamu gak berubah ya?" Ucap Alvendra saat sedang berdansa dengan Keke.
"Gak berubah apanya Al? Aku sekarang gendut loh kebanyakan makan, habisnya aku kaget aja kok kamu tiba-tiba menikah dengan Zee. hemmm" Jawab Keke sambil melepaskan pelukan Alvendra.
"Kata siapa kamu gendut An? kamu masih tetap cantik seperti Keke yang aku kenal dulu. Malah makin sexy." Jelas Alvendra sambil memegang pinggang Keke.
"Cukup Alvendra. Jangan kau lukai aku lagi." Jawab Keke sambil meninggalkan Alvendra.
"Melukaimu? Apa maksudmu Keke?" Tanya Alvendra sambil mengejar Keke.
"Gio. Rendi ke mana, kok lu sendirian?" Tanya Keke saat kembali ke meja duduk mereka.
"Rendi udah cabut." Jawab Gio singkat.
"Loh kok cabut?" Sambung Alvendra.
"Jeles ngliat kalian mesra-mesraan" Jawab Gio sambil mengepulkan rokoknya.
“Hahaha, ngaco lu gi." Jawab Alvendra sambil mengibaskan tangan.
"By the way gak kerasa udah midnight ya. Balik yuk."Keke mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Biar gue anter Ke." Ajak Alvendra.
"Gak usah. Nanti istri lo ngamuk." Jawab Gio sambil menarik lengan Keke seraya mengajaknya pulang. Tanpa pikir panjang Keke pun segera mengikuti langkah Gio dan meninggalkan Al.
Mereka kenapa si, gue join bukannya disambut dengan hangat malah gak jelas gitu. Gumam Alvendra sambil menengguk kopi panas di cangkirnya.
***
Derap langkah Alvendra kian terdengar. Alvendra terhenti sejenak melihat pemandangan di meja makan. "Ini ada apa, kok kalian malah berpelukan?" Raut muka Alvendra terlihat begitu heran. "Udah kaya teletubies aja." Sambung Alvendra sambil tertawa geli. "Al, sejak kapan kau berdiri disitu?" Tanya Keke sambil menghapus air matanya. "Sejak mamah dan kamu menangis dan berpelukan. Kalian kenapa si?" Tanya Alvendra sambil mengusap air mata Keke. "Keke, apa kamu masih mencitai Alvendra?" Tanya Martini dengan wajah serius. "Mencintai? Apa maksud tante?" "Ayolah Keke, jawab jujur. Tante melihat ada cinta yang tertinggal di sorot matamu." "Mah, tolonglah jangan desak Keke." "Mamah gak mendesak Keke. Dulu dia meninggalkanmu karena terdesak oleh keadaan. Bukan karena dia tak mencintaimu lagi kan?" "Tapi mah, semua sudah berlalu. Sekarang juga aku sudah menikah dengan Zee." "Mamah punya solusinya. Mamah hanya ingin anak
Rio masih membereskan percahan beling yang sempat tertunda. Sementara Keke hanya diam sambil mengunyah makanannya, kehadiran Zee di tengah suasana dinner kala itu memang membuat Keke terkejut sekaligus geram. "Mbak Zee itu rajin sekali, dalam kondisi sakit seperti tadipun ia masih bisa masak ini semua." Rio menggerutu sambil berjalan membuang percahan beling. "Beruntungnya Mas Alvendra punya istri kayak Mbak Zee. Udah rajin, pinter masak, pinter cari duit, cantiknya alami lagi." Rio melirik tajam Keke. "Gak kaya si onoh, cantiknya karena di touch up." "Apa maksudmu Rio." Keke meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya sambil melipatkan tangan di dadanya. Rio duduk sambil meneruskan makan. "Gak ada maksud." Ujar Rio sambil mengunyah makananya. Martini mengatupkan rahangnya. "Sudah-sudah, Rio kalau kamu disini hanya akan merusak suasana mending kamu segera selesaikan..." "Selesaikan makan terus beranjak dari sini?" Rio menatap tajam Mar
Meskipun angin diluar nampak ganas, namun tak menjadi penghalang dalam suasana di meja makan malam itu. "Mamah seneng deh ngliat kalian begini. Coba dulu kalian...." Cetar...Tak sengaja tangan kanan Rio menjatuhkan gelas. Kejadian ini justru membuat Zee kaget. Padahal dari tadi ia terkulai lemah di kamar. "Suara apa itu ya." Zee berusaha bangun sambil memegangi kepalanya. "Astaga sudah pukul 8 lewat. Kira-kira mas Al udah pulang belum ya. Berati dari tadi aku ketiduran." Zee berusaha beranjak dari tempat tidurnya. "Rio. Apa-apaan si kamu?" "Maaf mah gak sengaja." Jawab Rio singkat sambil membereskan percakan-percakan beling. "Keke, maafin Rio ya. Ya udah biarin Rio membereskannya. Ayo kita lanjut makan." "Gak apa-apa tante." "Keke..." Tangan Alvendra membersihkan kecap yang terselip di bibir Keke. Mungkin tadi dia kaget karena Rio memecahkan gelas sehingga membuat kecap itu menghampiri bibir sexynya.
"Zee! Zee!"Teriakan Martini membuat Rio kaget. Segeralah ia mematikan kran dan sower. Tanpa ia sadari kamar mandi sudah sangat becek. Air dimana-mana, belum lagi percikan air di wastafel yang membasahi cermin karena sangkin derasnya ia memuar air kran."Sial! Kenapa aku harus melamun disini sih? Kaya orang bego aja." Rio menggerutu sambil mematikan kran dan sower."Ada apa si mah?" Rio keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Martini."Mana kakak iparmu? Kenapa meja makan masih kosong?""Ya ampun aku lupa, harusnya tadi aku membereskan meja makan. Astaga..." Rio menepuk jidatnya."Apa? Apa maksudmu? Kemana Zee?""Tenang mah tenang. Mbak Zee tadi nyaris pingsan. Perutnya kram lagi jadi aku bawa dia ke kamar biar istirahat." Jelas Rio sambil mengelus pundak Martini."Bagaimana bisa tenang? Sebentar lagi tamu mamah mau datang.""Sebenernya tamu siapa si mah? Gak biasanya mamah perfect seperti ini menyiapkan semuanya de
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih