Share

2 | Janji Basi

last update Last Updated: 2024-06-26 16:15:07

Hujan menyambut Luna setibanya di Braga. Jalanan yang biasanya dipadati orang-orang yang sibuk mengambil foto kini lebih lengang sekaligus muram. Seakan-akan mewakili suasana hatinya yang masih dirundung duka.

Sementara di kursi supir, Rayyi tampak fokus membawa mobil menuju sebuah hotel mewah yang berada di ujung kawasan tersebut.

“Hati-hati,” ujar Rayyi kala membukakan pintu untuk Luna. Pria itu bahkan mengulurkan tangan untuk berpegangan, tetapi dia memilih pinggiran jendela untuk menopang bobot tubuh agar tak terjatuh. “Saya akan mengantarmu ke kamar Pak Galuh. Dia menunggu kita di sana.”

“Boleh aku tahu urusan apa yang mendesak kita harus menemuinya sekarang?”

Rayyi memalingkan wajah. Respons itu menandakan satu hal: Galuh ingin menyampaikan semuanya pada Luna secara empat mata.

“Baiklah, kita—” Saat hendak melangkah salah satu bagian kepala Luna berdenyut yang lantas disusul nyeri. Namun, sebelum Rayyi sempat memberi bantuan, perempuan ini segera menepis tangannya. “Bisa kamu belikan… paracetamol?”

“Kalau paracetamol, saya selalu sedia di mobil.” Rayyi berjalan memutar untuk mengambil kotak obat-obatan di dasbor. Kemudian, dia membuka pintu penumpang di samping supir agar Luna bisa duduk. “Apa saya perlu memberitahu Pak Galuh tentang kondisimu?”

Luna menggeleng cepat sembari meminum obat yang diberikan Rayyi. Menunda hanya membuat emosi yang dipendamnya meledak di tempat dan waktu yang salah. “Beri aku lima menit, lalu kita masuk ke hotel.”

*

Kepergian sang ayah yang begitu mendadak serta pernikahan yang tak diharapkan bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik Luna. Otaknya pun memproses hal-hal trivial lebih lambat dari biasanya. Karena bagaimana mungkin dia baru menyadari hotel yang didatanginya sekarang adalah salah satu bisnis yang dikelola Galuh.

Ralat, bisnis milik keluarga istri Galuh, lebih tepatnya.

Ding! Ketika pintu lift terbuka, Rayyi mempersilakan Luna keluar terlebih dulu. Mereka berada di lantai teratas yang hanya ditempati tamu-tamu kamar kelas suite. Keduanya lalu melangkah sampai berhenti di depan kamar yang berada di ujung lorong.

Rayyi menoleh pada Luna. Hanya perasaannya atau sekilas dia menangkap kecemasan berkilat pada sorot mata pria itu?

“Apa kamu sudah siap menemui Pak Galuh?”

“Jangan bikin dia menunggu lama.” Luna meremas ujung jemarinya yang mendingin. “Aku juga ingin cepat-cepat istirahat.”

Rayyi mengangguk, lalu menekan bel dua kali. Jantung Luna berdegup kencang kala pintu terbuka perlahan dan menampakkan sosok tinggi tegap yang begitu dia benci sekaligus rindukan.

Matanya memanas kala pandangan mereka bertemu. Senyum penuh penyesalan yang terkembang di wajah pria itu pun tak menolong banyak.

“Selamat datang,” katanya. Tatapannya lantas beralih pada Rayyi. “Tolong siapkan kamar untuk Luna. Lalu, temui kami setengah jam lagi di sini.”

*

Ada banyak umpatan yang siap Luna lontarkan saat pintu kamar tertutup di belakangnya. Namun, kondisi fisiknya yang belum pulih menyekat tenggorokannya yang serak akibat terlalu lama menangis dalam diam. Menyadari kekacauan tersebut, Galuh membimbing Luna untuk duduk di sofa yang terletak di samping jendela panjang.

Alih-alih duduk di hadapannya, Galuh malah bersimpuh; mengejutkan Luna yang sedang menahan tangis. Tangannya yang panjang dan kokoh meraih tangan perempuan itu. Jemari mereka kemudian tanpa dikomando saling bertaut.

“Maafkan aku, Luna,” ujar Galuh. Meski penerangan agak remang, Luna dapat melihat kedua matanya yang kemerahan. “Saat Rayyi mengabari kematian ayahmu, aku—aku sangat menyesal. Seandainya aku bisa menepati janjiku untuk menikahimu….”

Janji itu, janji yang juga Galuh katakan saat bertatap muka dengan Dikta. Sayangnya, sang ayah saat itu belum menerima restu karena menganggap Galuh belum sanggup memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. ‘Biarkan putriku bekerja dulu,’ katanya mengingat Luna baru lulus kuliah.

Kesal, sedih, kecewa. Semua emosi itu bercampur sampai Luna bingung mencari kata untuk mendeskripsikannya.

“Mau gimana lagi, Mas? Kamu yang menyarankanku menikahi asistenmu sebagai pengganti karena aku menolak jadi istri keduamu.” Napas Luna tersekat sesaat. “Janjimu hanya delapan tahun, makanya aku pede bilang sama Abah bakal bawa calon suami tahun ini. Aku senang bisa membuktikan kamu udah mapan dan bertanggungjawab.

“Tapi, kamu malah memperpanjang kontrak pernikahanmu tanpa kasih penjelasan padaku.”

“Semuanya di luar rencanaku maupun Naura.” Genggaman Galuh kian menguat. “Aku juga belum bisa memberi alasannya dalam waktu terdekat. Menikahkanmu dan Rayyi adalah satu-satunya ospi yang dapat menyelamatkan kita sementara waktu.”

“Menyelamatkan kita?” Luna tersenyum getir. “Hanya menyelamatkanmu lebih tepatnya, karena aku malah malu dan kesal harus membawa pria lain untuk jadi suamiku.”

“Luna, tunggu sebentar—”

“Minggir, Mas!”

Sekuat mungkin, Luna melepaskan cengkeraman tangan Galuh dan beranjak dari kursi. Namun, pandangannya yang mengabur menyulitkannya melangkah sampai akhirnya dia tersandung kaki kursi. Kali ini, Luna tak dapat menyelamatkan diri dan membiarkan gravitasi menarik tubuhnya ke lantai.

“Luna!”

Kala matanya tertutup, Luna mendengar pintu terbuka, disusul sepasang tangan yang menangkap tubuhnya beberapa detik sebelum terhempas ke lantai marmer. Hidungnya lalu menangkap aroma parfum musk yang seharian menemaninya bepergian.

Matanya membelalak. Sesuai dugaan, bukan Galuh yang menyelamatkannya.

“Maaf, saya….” Perlahan, Rayyi membawa Luna ke kursi terdekat, sementara Galuh mengambilkan secangkir teh. “Saya hanya mau mengabarkan kamar untuk Luna sudah siap.”

“Antar aku ke sana, Rayyi.” Bersama sisa tenaga dan harga diri, Luna beranjak dari kursi. Galuh hendak mencegah, tetapi perempuan itu menatap tajam Rayyi yang kebingungan karena terjepit di antara dua pihak. “Kamu suamiku, bukan? Ayo, tunjukkan di mana aku harus beristirahat."

*

Galuh berusaha menghubungi Luna berkali-kali. Persis seperti yang dilakukannya dulu saat mengabari perjodohannya dengan Naura. ‘Kedua orangtua kami sudah menyiapkan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku maupun dia,’ dalihnya pada saat itu. Luna pun pada akhirnya harus mengorbankan hubungan mereka yang telah berjalan selama lima tahun.

Luna tak pernah menduga akan mengalaminya untuk kali kedua.

Bunyi bel mengalihkan perhatian Luna. Apakah ini usaha baru Galuh untuk membujuknya keluar? Ck, benar-benar keras kepala. Perempuan itu mengabaikannya, lalu kembali bergelung di bawah selimut.

Selang dua menit kemudian, bel berbunyi lagi. Luna sempat tergoda untuk mengecek, tetapi masih mampu bertahan agar tak meninggalkan ranjang. Namun, pada percobaan ketiga, Luna menyerah demi bisa mendapatkan waktu istirahat yang dibutuhkan.

“Apa, sih, yang kamu—” Luna terkesiap kala mendapati sosok yang berdiri di depan kamar adalah Rayyi. “Ya ampun, kukira Mas Galuh. Kenapa kamu enggak telepon aku dulu?”

“Sudah, tapi sepertinya teleponmu sedang tidak aktif.”

Luna mengusap wajah; menyembunyikan malunya. Demi menghindari gangguan Galuh, dia mematikan perangkat tersebut.

“Lalu, ada perlu apa kamu sampai menyusulku ke sini?”

“Pak Galuh ingin memastikan kondisimu baik-baik saja.” Tentu, pria itu bakal mengutus asistennya sebagai upaya terakhir. “Besok pagi, dia juga akan pulang ke Jakarta karena ada meeting penting yang harus dikejar.”

Jika Galuh pergi, berarti Rayyi kemungkinan besar ikut untuk mengurus kebutuhan kerja.

“Aku bisa ke Jakarta sendiri seandainya Mas Galuh perlu kamu buat ngurus kerjaan.”

Rayyi menatapnya kebingungan. “Saya tidak akan ikut Pak Galuh. Justru dia meminta saya menemanimu pulang ke, umh, apartemen yang sudah disiapkan.”

Rencana apa lagi yang Galuh siapkan untuknya? Apakah pernikahannya dengan Rayyi belum cukup menyiksa?

“Apartemen dari Pak Galuh,” Rayyi meneruskan, “letaknya dekat dengan hotel tempatmu bekerja. Saya juga akan tinggal di sana.”

“Kita tinggal satu atap?” Luna ternganga. Meski status mereka suami istri, ganjil rasanya mendapati fakta mereka harus menetap di apartemen yang sama. “Di mana dia sekarang? Apa masih di kamarnya? Biar aku—”

“Luna, sebentar.” Dengan cepat, Rayyi menahan langkah Luna sampai mereka hampir bertubrukan. “Pak Galuh sedang tidak bisa diganggu. Untuk membahas tentang apartemen, dia akan menemui kita langsung di unit itu.”

Benar-benar merepotkan. “Sesibuk apa dia malam ini? Siapa yang dia temui?”

Tiba-tiba, wajah Rayyi mengeras. Matanya mengawasi lorong menuju kamar Galuh.

“Tadi sore, keluarga Bu Naura datang,” jawabnya yang serta-merta membungkam mulut Luna. “Untuk itu, Pak Galuh meminta saya mengawasimu dan menemanimu sampai kita ke Jakarta besok siang.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    39 | Bertemu Kawan Lama

    “Di mana Luna?”“Saya kurang tahu, Pak. Saya keluar apartemen sebelum dia bangun.”“Kamu tahu hari ini jadwalnya belanja bulanan?”“Ya, saya pasang reminder-nya dan berencana mengantar Luna setelah—”“Tidak perlu. Tadi aku telepon Luna dan dia sudah berangkat ke mal.”“Maaf, Pak. Lain kali—”“Mulai bulan depan, aku yang akan menemani Luna belanja. Next time, tahan dia di apartemen sampai aku datang.”Rayyi memandangi layar ponsel sejenak begitu Galuh mengakhiri percakapan. Syukurnya, dia mengikuti saran Luna. Di sisi lain, sikap Galuh membuatnya gusar meninggalkan Luna sendirian.‘Sebaiknya saya berjaga-jaga di sekitar mal.’ Karena belum bisa mengakses jalan utama yang masih dijejali ratusan pelari. Mengikuti arahan peta digital, dia membawa mobil menuju belokan yang akan menembus bagian belakang gedung pusat perbelanjaan.Rupanya, bukan hanya Rayyi yang mengakses jalur alternatif tersebut. Namun, kadung masuk, pria itu cuma bisa sabar dan menunggu antrean mengurai. Sesekali, matanya

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    38 | Mengatur Kebohongan

    Untuk kali pertama setelah sekian minggu, Luna dapat menarik napas lega di akhir pekan.Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat Luna bangun. Disingkapnya tirai untuk membiarkan cahaya matahari masuk. Sambil meneguk air mineral, dia membuka kulkas untuk mengecek stok bahan makanan dan—“Huh, udah hampir habis?” Kemudian, Luna mengecek kalender dinding. “Pantesan, udah jadwalnya aku belanja bulanan.”Selepas mandi dan berganti pakaian, Luna bergegas mengambil sepotong roti buat mengganjal lapar. ‘Brunch di luar aja nanti,’ batinnya.Langkahnya terhenti kala melewati pintu sekat. Rayyi pasti sudah bangun sejak sebelum waktu Subuh. Namun, untuk memastikan, Luna memilih memeriksa dan bisa sekalian pamit kalau pria itu belum pergi.“Eh, pagi,” sapa Luna kikuk kala beradu pandang dengan Rayyi yang tengah sarapan. Menilai dari pakaiannya, dia juga seperti akan pergi. “Aku cuma mau pamit belanja bulanan. Mungkin pulang sekitar jam makan siang.”“Sebentar.” Rayyi beranjak, lalu masuk ke kamar u

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    37 | Tarikan Luna

    Rayyi baru masuk mobil kala menerima pesan tersebut. Dari foto yang Galuh lampirkan, dia melihat Luna dan Naura yang duduk di restoran hotel. Jaraknya agak jauh; menyulitkannya mengecek raut wajah mereka.Namun, kalau Galuh sampai curiga, bisa dipastikan Naura membahas sesuatu yang tak mau didengar suaminya.“Rayyi!” Panjang umur, Luna muncul dari pintu keluar. Perempuan itu mempercepat larinya hingga berhasil masuk mobil. “Syukurlah kamu belum pulang.”“Apa semua pekerjaanmu sudah selesai?”Luna menyeringai kikuk. “Aku izin pulang lebih cepat. Untungnya ada Brenda yang mau beresin sisa kerjaanku.”Dari ekor mata, Rayyi menangkap bakmie pemberiannya dalam tas Luna. Itu berarti, Luna sengaja izin supaya bisa pulang bersamanya. Sensasi hangat seketika menjalari pipi Rayyi, tetapi cepat-cepat pria itu membawa mobilnya keluar basement.Ada misi lain yang harus segera dia jalankan.*Tak ada percakapan yang mengisi perj

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    36 | Kecurigaan Naura

    Luna akhirnya dapat mengembuskan napas lega kala masuk ke lift. Mengutus pengunjung dari luar negeri kerap menguras energi, apalagi saat bahasa menjadi salah satu kendala. Syukurnya salah satu dari wisatawan Belanda yang bermalam fasih berbahasa Inggris meski sama-sama terbata.Barangkali hanya kelelahan, tetapi pesan Brenda membuat matanya berkaca-kaca. Belakangan Luna makin kesulitan bertemu kedua sahabatnya, bahkan buat sekadar tegur sapa. Perhatian simpel ini bak pengingat bila mereka belum melupakannya.Tak sampai semenit, Brenda membalas.Ding!Luna termenung sesaat kala pintu lift terbuka. Sepanjang hari nyaris tak berpapasan, Rayyi malah sempat mampir buat membelikan camilan. Bukan perkara yang perlu dia pusingkan, tetapi mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan…“Eh, Luna?” Suara perempuan itu mengejutkannya. “Benar, kan, Luna? Istrinya Rayyi.”‘Aduh, kenapa juga aku harus melamun?’Di hadapannya, Naura melambai sembari mengembangkan senyum. Namun, sosok di belak

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    35 | Menjaga Jarak

    “Maaf, Bapak malah menyusahkanmu, Rayyi. Seandainya Bapak lebih hati-hati dan teliti, masa depanmu tak bakal suram.”Kala Guntur ditangkap atas tuduhan penggelapan dana, Rayyi merasa kehilangan pijakan untuk melangkah. Tanpa sosok ibu yang telah lama lesap dalam kehidupan, hari-harinya terasa hampa. Bahkan pekerjaan sebagai asisten pribadi Galuh yang penghasilannya menggiurkan tak serta-merta memperbaiki suasana hati.Karena satu-satunya yang Rayyi inginkan adalah membebaskan Guntur. Jauh dalam lubuk hati, pria itu yakin ayahnya hanya dijebak.Maka wajar bila Rayyi mengambil tawaran Galuh untuk jadi suami sementara Luna. Toh, dia sudah terlalu kebal untuk jatuh cinta. Namun, semestinya dia juga mengingat pesan Guntur sebelum dijebloskan ke dalam penjara:“Jangan ulangi kesalahan Bapak,” katanya. “Saat berurusan dengan orang-orang beduit, tetap pertahankan akal dan nuranimu. Imbangi langkah mereka supaya kamu tak gampang ditekan.”Kata-kata itu terngiang kala Rayyi memutuskan menyematk

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    34 | Harta, Tahta, Wanita

    ‘Mas Galuh kenapa makin nekat, sih?’Kedatangan Galuh saat Rayyi mengantar Puspa ke stasiun tak hanya mengejutkan Luna. Perempuan itu was-was tamunya bakal bertindak macam-macam. Apalagi kemarin dia tak sungkan menyentuhnya walau hanya berbeda ruangan dengan sang ibu.“Ngapain kamu di sini, Mas?” Luna sadar pertanyaan itu terdengar bodoh, terutama saat Galuh mengeluarkan sesuatu dari kantung celana.“Kamu lupa aku yang membeli properti ini?” Pria itu menunjukkan kunci cadangan unit apartemen. “Aku bisa leluasa menemuimu tanpa perlu minta akses pada Rayyi.”Jika hal ini terjadi tahun lalu, Luna tak bakal memprotes. Justru dia akan menyambut Galuh dengan penuh suka cita karena mereka punya waktu bersama lebih banyak.Namun, tekanan yang Galuh berikan padanya—mungkin juga pada Rayyi tanpa sepengetahuannya—mulai mengganggu. Membayangkan Naura yang tengah hamil anak kedua saat suaminya bersama perempuan terasa salah walau selama ini Luna yang jadi prioritas pria itu.“Hari ini aku mau isti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status