Home / Romansa / Menikahi Asisten Sang Presdir / 3 | Apartemen Bersama

Share

3 | Apartemen Bersama

last update Last Updated: 2024-06-26 22:29:57

“Teteh, kemarin pas nikah kenapa enggak ngabarin Ade?”

“Mau kasih kabar gimana, soalnya mendadak juga. Abah yang minta.”

“Bener kata Ambu statusnya masih nikah siri?”

Luna mendesis mendengar dua kata terakhir itu. “Waktunya mepet, Dimas. Abah enggak mempermasalahkan. Nanti Teteh sama suami juga bakal urus ke pengadilan agama buat urus buku nikah sama kebutuhan lain.”

Di ujung telepon, terdengar obrolan yang didominsi para ibu. Dimas pun menjauhkan ponsel sejenak sebelum meneruskan percakapan. “Maaf, ya, Teh, Ade datang telat sampai enggak lihat pemakaman Abah. Tapi buat keperluan tahlilah semuanya Ade yang tanggung.”

Sekesal apa pun pada Dimas, Luna tak dapat menegur, apalagi sampai membentak. Sejak dulu, sang adik punya backing kuat dari Puspa. Bagi sang ibu, anak laki-lakinya bersih dari kesalahan. Dikta bukannya tak mau menasehati, hanya saja istrinya bakal senewen dan memberikan pembelaan yang kurang masuk akal.

“Syukurlah kamu bantu-bantu Ambu. Teteh enggak bisa tinggal lama-lama karena suami dikejar banyak kerjaan.” Untuk kali pertama, Luna berterimakasih pada Rayyi dan kesibukannya sebagai asisten pribadi. “Udah dulu, ya, Teteh lagi di jalan. Kalau ada apa-apa, kabarin aja lewat chatting.”

Begitu percakapan berakhir, Luna menaruh ponsel di tas. Diliriknya Rayyi yang fokus menyusuri jalanan Jakarta Selatan. Meski kondisi fisiknya perlahan membaik, separuh jiwa Luna masih terasa hampa. Apa artinya menjalani hidup tanpa bimbingan dari seorang ayah?

Terutama selama dua tahun ke depan saat dirinya menjadi istri pura-pura Rayyi.

“Apa kamu mau masuk duluan?” Rayyi menawarkan kala mereka memasuki kawasan apartemen mewah di kawasan Kebayoran Lama. “Nanti saya kirimkan nomor unit dan kode untuk masuk.”

Mulanya, Luna ingin menerima tawaran itu, tetapi urung saat menyadari area tower apartemen yang luas. Bisa-bisa dia tersesat dan memicu kehebohan yang memalukan.

“Enggak, aku ikut kamu aja,” katanya. “Apa Mas Galuh udah kasih kabar?”

“Saya belum cek ponsel.” Perlahan, Rayyi menempatkan mobilnya tak jauh dari lift. “Sebaiknya kita ke atas dulu, lalu saya akan menghubungi Pak Galuh.”

*

Unit apartemen yang akan Luna huni bersama Rayyi rupanya adalah gabungan dua unit dengan sekat berupa pintu geser di tengah ruangan. Luna menempati bagian kiri yang lebih luas, sementara Rayyi berada di bagian kanan.

Kedua unit sama-sama mengusung desain interior minimalis dengan sentuhan mewah dari lantai marmer. Jendela-jendela panjang yang mengarah ke balkon menampakkan gedung-gedung pencakar langit yang menjadi ciri khas city view Jakarta. Pemandangan yang sering kali Luna jadikan pelarian untuk melepas tekanan di tengah padatnya pekerjaan.

“Pak Galuh sedang di jalan.” Kehadiran Rayyi mengejutkan Luna yang tengah mengamati langit malam yang baru merekah. “Saya harus ke bawah untuk mengambil makan malam. Apa kamu baik-baik saja ditinggal sendiri?”

Sebelum pernikahan ini terjadi, Luna pasti menjawab ya, semuanya akan baik-baik saja selama bersama Galuh. Momen kebersamaan mereka yang terhalang status dan kondisi finansial selalu dimanfaatkan sebaik mungkin. Pasalnya, Luna tak tahu kapan lagi Galuh dapat meluangkan waktu bersamanya.

Sekarang, entah mengapa Luna memerlukan Rayyi. Mungkin demi mempetahankan kewarasannya. Perempuan mana yang tak murka bila pria yang dicintainya malah meminta mereka menikah dengan orang lain?

“Aku—aku bisa handle Mas Galuh,” dustanya. Berharap Rayyi hanya pergi sebentar. “Silakan keluar buat ambil makananmu.”

Selang sepuluh menit sepeninggal Rayyi, Luna mendengar bel pintu berbunyi. Diaturnya napas sambil mengecek penampilan. Rambut hitam sebahunya dibiarkan tergerai, jatuh tepat di atas blus biru navy selutut. Sekilas terlalu simpel untuk  seorang penghuni apartemen mewah, tetapi dia tak mau terlalu memusingkannya.

Ketika membuka pintu, beberapa tangkai bunga putih menyambut Luna. Di baliknya, wajah Galuh menyembul; berhiaskan senyum yang tak pernah gagal meluluhkan pertahanannya.

“Anggrek bulan.” Galuh menyerahkan tanaman hias itu pada Luna. “Kubeli khusus dari teman yang sudah lama jadi kolektor bunga.”

Meski awalnya ragu, Luna menerima anggrek itu. Satu hal yang belum berubah dari Galuh adalah mengingat hal-hal favoritnya. Padahal Luna sudah lama membuang keinginan merawat bunga ini, tetapi siapa sangka….

“Terima kasih.” Meski begitu, Luna tak mau cepat luluh. “Tapi bunganya kuterima bukan karena aku memaafkanmu, Mas."

Senyum di wajah pria itu mengisut. “Aku paham kamu perlu memproses semua kejadian yang berlangsung sejak minggu lalu, terutama kematian ayahmu.”

“Silakan duduk.” Luna enggan berbasa-basi. “Biar aku siapkan minum dulu.”

“Tidak perlu, tadi aku titip pesanan sama Rayyi saat kami bertemu di lobi.” Sial, Luna jadi tak bisa mengulur waktu. “Kemarilah. Bukannya kamu ingin mendengar penjelasan tentang apartemen ini?”

*

Galuh membeli unit apartemen mewah itu empat tahun lalu, tepat dua bulan sebelum pandemi melumpuhkan bisnis perhotelan. Sempat terpikir untuk menjual, tetapi dia mengurungkannya karena potensi rugi yang besar. Pada akhirnya, Galuh menyewakan tempat itu dengan tarif sewa terjangkau sebagai sumber pemasukan tambahan.

“Saat hotel-hotel kembali dipenuhi wisatawan, apartemen ini tak lagi disewakan,” pungkas Galuh sembari memindai ruang tengah. “Hampir aku jual sebelum, yah, kamu dan Rayyi—”

“Apa Naura tahu keberadaan unit ini?” potong Luna cepat.

Galuh mengangguk walau agak ragu. “Bukan hal mudah menyembunyikan properti, tetapi dia enggak terlalu mengulik alasanku membelinya. Toh dia punya aset lebih banyak.”

‘Dasar orang kaya,’ gerutu Luna dalam hati. “Apa menurutmu enggak berlebihan? Aku bekerja sebagai housekeeper di hotel. Lalu Rayyi, meski dia asistenmu, gajinya enggak akan cukup bayar sewa bulanannya.”

“Memangnya aku minta kalian buat bayar uang sewa?” Galuh mencondongkan tubuhnya. “Semua ini kulakukan demi meyakinkan orang-orang kalau kamu dan Rayyi adalah pasutri. Supaya mereka juga tidak mencurigai sesuatu di antara kita.”

Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Galuh seketika mengurungkan Luna yang hendak melempar protes. Keningnya mengernyit.

“Mas, apa maksudmu—apa ada orang yang mencurigai kita?” Luna menarik tangan Galuh yang hampir menghindarinya. “Cuma Rayyi yang tahu tentang hubungan kita, kan?”

Pria di hadapannya menepuk-nepuk punggung tangan Luna. “Tenang, Rayyi tidak akan semudah itu membocorkan semuanya. Hanya saja keluarga Naura hampir tahu kontrak nikah yang kami buat dulu.”

Pernikahan Galuh dan Naura tak jauh berbeda dari Luna dan Rayyi. Sama-sama berstatus kontrak. Bedanya, Galuh rela menerima perjodohan atas desakan kedua pihak keluarga demi mengembangkan bisnis.

Faktor itu pula yang membuat Luna, selama hampir satu dekade, yakin bila Galuh tak akan mudah berpaling darinya.

“Aku cemas, kalau mereka terus mengikuti kecurigaan itu, hubungan kita akan ikut terendus,” Galuh meneruskan. “Makanya aku rela mengeluarkan biaya supaya pernikahan kalian terlihat meyakinkan.”

Tidak, Luna tidak tersentuh. Keputusan yang Galuh ambil tetap menyakiti perasaannya. Malah setelah mendengar pengakuan tersebut, dia yakin menetap di apartemen semewah ini tak akan menenangkan hati dan pikirannya.

“Biar aku yang buka,” ujar Luna kala mendengar bel pintu berbunyi. Laparnya sudah hilang, tetapi dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari Galuh.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    39 | Bertemu Kawan Lama

    “Di mana Luna?”“Saya kurang tahu, Pak. Saya keluar apartemen sebelum dia bangun.”“Kamu tahu hari ini jadwalnya belanja bulanan?”“Ya, saya pasang reminder-nya dan berencana mengantar Luna setelah—”“Tidak perlu. Tadi aku telepon Luna dan dia sudah berangkat ke mal.”“Maaf, Pak. Lain kali—”“Mulai bulan depan, aku yang akan menemani Luna belanja. Next time, tahan dia di apartemen sampai aku datang.”Rayyi memandangi layar ponsel sejenak begitu Galuh mengakhiri percakapan. Syukurnya, dia mengikuti saran Luna. Di sisi lain, sikap Galuh membuatnya gusar meninggalkan Luna sendirian.‘Sebaiknya saya berjaga-jaga di sekitar mal.’ Karena belum bisa mengakses jalan utama yang masih dijejali ratusan pelari. Mengikuti arahan peta digital, dia membawa mobil menuju belokan yang akan menembus bagian belakang gedung pusat perbelanjaan.Rupanya, bukan hanya Rayyi yang mengakses jalur alternatif tersebut. Namun, kadung masuk, pria itu cuma bisa sabar dan menunggu antrean mengurai. Sesekali, matanya

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    38 | Mengatur Kebohongan

    Untuk kali pertama setelah sekian minggu, Luna dapat menarik napas lega di akhir pekan.Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat Luna bangun. Disingkapnya tirai untuk membiarkan cahaya matahari masuk. Sambil meneguk air mineral, dia membuka kulkas untuk mengecek stok bahan makanan dan—“Huh, udah hampir habis?” Kemudian, Luna mengecek kalender dinding. “Pantesan, udah jadwalnya aku belanja bulanan.”Selepas mandi dan berganti pakaian, Luna bergegas mengambil sepotong roti buat mengganjal lapar. ‘Brunch di luar aja nanti,’ batinnya.Langkahnya terhenti kala melewati pintu sekat. Rayyi pasti sudah bangun sejak sebelum waktu Subuh. Namun, untuk memastikan, Luna memilih memeriksa dan bisa sekalian pamit kalau pria itu belum pergi.“Eh, pagi,” sapa Luna kikuk kala beradu pandang dengan Rayyi yang tengah sarapan. Menilai dari pakaiannya, dia juga seperti akan pergi. “Aku cuma mau pamit belanja bulanan. Mungkin pulang sekitar jam makan siang.”“Sebentar.” Rayyi beranjak, lalu masuk ke kamar u

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    37 | Tarikan Luna

    Rayyi baru masuk mobil kala menerima pesan tersebut. Dari foto yang Galuh lampirkan, dia melihat Luna dan Naura yang duduk di restoran hotel. Jaraknya agak jauh; menyulitkannya mengecek raut wajah mereka.Namun, kalau Galuh sampai curiga, bisa dipastikan Naura membahas sesuatu yang tak mau didengar suaminya.“Rayyi!” Panjang umur, Luna muncul dari pintu keluar. Perempuan itu mempercepat larinya hingga berhasil masuk mobil. “Syukurlah kamu belum pulang.”“Apa semua pekerjaanmu sudah selesai?”Luna menyeringai kikuk. “Aku izin pulang lebih cepat. Untungnya ada Brenda yang mau beresin sisa kerjaanku.”Dari ekor mata, Rayyi menangkap bakmie pemberiannya dalam tas Luna. Itu berarti, Luna sengaja izin supaya bisa pulang bersamanya. Sensasi hangat seketika menjalari pipi Rayyi, tetapi cepat-cepat pria itu membawa mobilnya keluar basement.Ada misi lain yang harus segera dia jalankan.*Tak ada percakapan yang mengisi perj

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    36 | Kecurigaan Naura

    Luna akhirnya dapat mengembuskan napas lega kala masuk ke lift. Mengutus pengunjung dari luar negeri kerap menguras energi, apalagi saat bahasa menjadi salah satu kendala. Syukurnya salah satu dari wisatawan Belanda yang bermalam fasih berbahasa Inggris meski sama-sama terbata.Barangkali hanya kelelahan, tetapi pesan Brenda membuat matanya berkaca-kaca. Belakangan Luna makin kesulitan bertemu kedua sahabatnya, bahkan buat sekadar tegur sapa. Perhatian simpel ini bak pengingat bila mereka belum melupakannya.Tak sampai semenit, Brenda membalas.Ding!Luna termenung sesaat kala pintu lift terbuka. Sepanjang hari nyaris tak berpapasan, Rayyi malah sempat mampir buat membelikan camilan. Bukan perkara yang perlu dia pusingkan, tetapi mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan…“Eh, Luna?” Suara perempuan itu mengejutkannya. “Benar, kan, Luna? Istrinya Rayyi.”‘Aduh, kenapa juga aku harus melamun?’Di hadapannya, Naura melambai sembari mengembangkan senyum. Namun, sosok di belak

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    35 | Menjaga Jarak

    “Maaf, Bapak malah menyusahkanmu, Rayyi. Seandainya Bapak lebih hati-hati dan teliti, masa depanmu tak bakal suram.”Kala Guntur ditangkap atas tuduhan penggelapan dana, Rayyi merasa kehilangan pijakan untuk melangkah. Tanpa sosok ibu yang telah lama lesap dalam kehidupan, hari-harinya terasa hampa. Bahkan pekerjaan sebagai asisten pribadi Galuh yang penghasilannya menggiurkan tak serta-merta memperbaiki suasana hati.Karena satu-satunya yang Rayyi inginkan adalah membebaskan Guntur. Jauh dalam lubuk hati, pria itu yakin ayahnya hanya dijebak.Maka wajar bila Rayyi mengambil tawaran Galuh untuk jadi suami sementara Luna. Toh, dia sudah terlalu kebal untuk jatuh cinta. Namun, semestinya dia juga mengingat pesan Guntur sebelum dijebloskan ke dalam penjara:“Jangan ulangi kesalahan Bapak,” katanya. “Saat berurusan dengan orang-orang beduit, tetap pertahankan akal dan nuranimu. Imbangi langkah mereka supaya kamu tak gampang ditekan.”Kata-kata itu terngiang kala Rayyi memutuskan menyematk

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    34 | Harta, Tahta, Wanita

    ‘Mas Galuh kenapa makin nekat, sih?’Kedatangan Galuh saat Rayyi mengantar Puspa ke stasiun tak hanya mengejutkan Luna. Perempuan itu was-was tamunya bakal bertindak macam-macam. Apalagi kemarin dia tak sungkan menyentuhnya walau hanya berbeda ruangan dengan sang ibu.“Ngapain kamu di sini, Mas?” Luna sadar pertanyaan itu terdengar bodoh, terutama saat Galuh mengeluarkan sesuatu dari kantung celana.“Kamu lupa aku yang membeli properti ini?” Pria itu menunjukkan kunci cadangan unit apartemen. “Aku bisa leluasa menemuimu tanpa perlu minta akses pada Rayyi.”Jika hal ini terjadi tahun lalu, Luna tak bakal memprotes. Justru dia akan menyambut Galuh dengan penuh suka cita karena mereka punya waktu bersama lebih banyak.Namun, tekanan yang Galuh berikan padanya—mungkin juga pada Rayyi tanpa sepengetahuannya—mulai mengganggu. Membayangkan Naura yang tengah hamil anak kedua saat suaminya bersama perempuan terasa salah walau selama ini Luna yang jadi prioritas pria itu.“Hari ini aku mau isti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status