Share

010. Suara Hati

Author: Juni Rev
last update Last Updated: 2024-02-17 10:00:37

“Hm?”

“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.

Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.

“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”

“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.

“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih baik dari dosen manapun di dunia.” Wira menggosok kepala Sofia penuh kasih.

“Banyak, dong, Bang, aku pengin tahu soal cara menanam bibit sampai menjadi hasil panen berlimpah dan berkualitas baik.”

“Bisa Abang ajarkan, gampang lah itu.” Wira melanjutkan menyantap sisa makanannya dengan santai.

Keesokan harinya, Sofia dibangunkan oleh kecupan hangat dari sang suami.

“Pulas sekali tidurmu, Dek. Sampai-sampai Abang mandi dan bersiap begini, kamu masih terlelap,” goda Wira cengengesan. “Capek sekali kamu Abang buat semalam, eh.”

Sofia menangkup wajah, menyembunyikan malu.

“Jam berapa ini, Bang?” tanya Sofia dengan suara serak. Ia menggeliat bangun, dan meregangkan otot.

Diliriknya Wira yang memperhatikan tubuh Sofia sambil tersenyum. Serta merta si gadis memeluk dirinya sendiri. Malu karena mendadak teringat kesibukan mereka semalam.

“Sudah mau jam enam⸻”

“Jam enam? Kenapa Abang nggak bangunin aku dari tadi? Aku, kan, belum subuhan.”

“Ya shalat, lah, sekarang.” Wira cekikikkan melihat Sofia melompat dari ranjang dan tunggang langgang menuju kamar mandi.

Setelah mandi, seperti biasa Sofia langsung menyiapkan sarapan untuk sang suami. Mereka makan bersama, sambil mengobrol ringan.

“Omong-omong, Brian kok nggak ikut sarapan?” Sofia mendadak berhenti mengunyah, dan celingukan cemas mencari keberadaan teman sekaligus anak tirinya tersebut.

“Dia pergi trekking subuh tadi, sama teman-teman sepedanya.” Wira memberi tahu.

“Lho, bukannya Abang menyita sepeda Brian?” Sofia mengerjapkan mata, menatap Wira yang menunduk.

“Yah … dia sudah janji akan lebih sopan sama kamu mulai sekarang, Sayang. Abang nggak punya alasan untuk menahan sepedanya lebih lama.” Wira beralasan. Padahal Sofia tahu betul, rasa sayangnya lah yang membuat Wira membatalkan sanksi penyitaan itu.

“Kalau dia membangkang lagi, atau bikin kamu kesal, bilang Abang, ya. Biar Abang sita lagi sepedanya.” Wira tersenyum pada Sofia yang kini tergelak.

Gadis itu mengangguk tanpa debat. Dalam hatinya ia sendiri tahu, Wira tidak akan tega menghukum Brian sedemikian keras hanya karena anak itu bersikap arogan.

Setelah mengantar Wira sampai ke sisi mobil untuk pergi berkegiatan hari itu, Sofia kembali masuk ke rumah. Ia mengambil kaus Brian yang dipakainya kemarin, lalu mencucinya sendiri tanpa bantuan asisten.

Menjelang sore, baik Brian maupun Wira belum ada yang kembali. Sofia yang menghabiskan waktu di dalam perpustakaan pribadi Wira, bergegas ke halaman belakang untuk mengambil kaus Brian dari jemuran, kemudian menyetrikanya.

Setelah memastikan baju sang anak tiri rapi dan wangi, Sofia membawanya ke kamar Brian dan menaruh kaus itu di atas meja belajar.

Wira kembali pulang sebelum jam makan malam. Sofia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur, langsung melepas apron memasak dan menyambut kedatangan sang suami.

“Sudah pulang, Bang?” Sofia mengambil jaket yang dilepas Wira, dan membiarkan pria gagah itu mencium pipinya mesra.

“Maaf terlambat, ada yang harus Abang urus di kota siang tadi. Jalanan macet, baru sampai kampung setelah Isya begini.” Wira mengusap wajah letih.

“Biar kusiapkan air hangat untuk Abang mandi, ya. Setelah itu, baru kita makan sama-sama.” Sofia mengusap lengan kokoh Wira yang langsung membelit di pinggangnya.

“Kamu sempurna sekali, Sayang. Sudah cantik, baik, pengertian. Ingatkan Abang untuk memperluas tanah kebun orangtuamu besok, ya. Semuanya gratis, tidak masuk catatan utang.” Wira menciumi kepala Sofia.

“Jangan berlebihan,” ucap Sofia tenang.

Wira merengut. “Nggak berlebihan, dong. Abang sangat bersyukur punya istri seperti kamu, dan sudah selayaknya juga Abang berterima kasih pada orangtuamu yang sudah melahirkan anak seperti kamu ke dunia untuk Abang nikahi. Sepetak tanah nggak sebanding dengan kebahagiaan Abang memiliki kamu.”

Wajah Sofia memerah. Ia menatap lengan Wira yang semakin erat memeluknya.

“Bang, boleh aku tanya sesuatu?” ucap Sofia lirih.

“Tanya saja.”

“Benarkah Abang menikahiku karena cinta? Bukan untuk tebusan utang semata?”

Wira tersenyum lembut. Dibelainya pipi kemerahan Sofia, lalu mengecupnya pelan.

“Seandainya Abang katakan kalau utang itu hanya alasan belaka agar Abang bisa menikahi kamu, apa kamu akan marah?” Suara Wira terdengar sangat lembut di telinga Sofia.

Gadis itu menatap suaminya sungguh-sungguh. “Kenapa aku harus marah?”

Wira mengedikkan bahu. “Mungkin, kamu merasa aku sudah memanipulasi kehidupanmu.”

“Orangtuaku tidak bisa membayar utang itu diluar rencana, Bang. Orang-orang bilang, aku beruntung harus membayar dengan menikahi Abang, bukan diusir seperti kebanyakan para warga lain yang menunggak.”

“Awalnya aku nggak setuju karena kupikir menikahi manusia paling galak di muka bumi akan jadi kesengsaraan tak berujung. Tapi ….” Sofia diam sejenak saat menatap air muka Wira yang berubah.

Bukan marah, pria itu malah menahan gemas tak tertahan dengan gigi saling terkatup dan senyum mengembang.

“Tapi?” pancing Wira tak sabar.

“Tapi ternyata Abang memperlakukan aku sangat baik.” Sofia menyentuh dada Wira dengan jemari, mengagumi kegagahan di balik kulit langsatnya yang mungil.

Wira mengikuti arah manik mata Sofia yang berkilauan indah, dan menggenggam tangan kecil itu erat.

Menelan ludah, Wira membawa jemari mungil dalam genggamannya ke kelopak bibir dan mengecup lembut ujung lentiknya yang harum.

“Abang mencintaimu, Sofia. Lebih dari yang bisa kamu rasakan.” Wira bicara dengan mata terpejam. Suaranya rendah tak jelas, seperti deburan ombak di bibir pantai yang timbul tenggelam.

Tanpa kata, tangan Wira menjamah kedua pipi halus Sofia yang kini kemerahan karena desakan emosinya sendiri. Gadis itu tidak mengerti apa yang membuat jantungnya memompa seribu kali lebih cepat dari biasanya. Ia bisa merasakan seluruh darahnya terpompa naik di kepala, berpadu dengan napas panas Wira yang menerpa wajah, hingga membuatnya pusing.

Meniru Wira, Sofia memejamkan mata tepat ketika birai bibir keduanya saling terpagut. Lama dan lembut. Saling mencari kekosongan yang lama tak bertuan. Hasrat yang sejak dulu ada namun tertahan.

Sebelah tangan Wira meninggalkan pipi Sofia dan beralih ke lekukan pinggangnya yang molek. Ditariknya mendekat tubuh ramping itu hingga tiada jarak. Si gadis bahkan bisa merasakan keras garis otot perut sang suami, membuat hatinya semakin bergolak.

Keduanya terombang-ambing badai asmara hingga sekitar tak lagi berarti. Seolah kaki-kaki mereka melayang meninggalkan lantai dapur, terbang tinggi ke awang-awang. Tak tahu sepasang mata menatap keduanya dengan cibiran tak suka.

Brak!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Ayah Temanku   025. Di Balik Jeruji Hati

    Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke

  • Menikahi Ayah Temanku   024. Luka yang Disembunyikan Malam

    Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan

  • Menikahi Ayah Temanku   023. Kue Keju, Susu, dan Taman Bacaan

    “Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.

  • Menikahi Ayah Temanku   022. Jalan Bareng

    “Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,

  • Menikahi Ayah Temanku   021. Silih Asuh

    Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per

  • Menikahi Ayah Temanku   020. Distraksi

    “Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status