Malam ini atmosfer kembali asing. Hanya keheningan yang mendominasi. Bahkan Gesa pun melewatkan makan malam karena ia tak mood untuk makan malam.Sekitar jam sembilan, Gesa keluar kamar. Ia ingin mengambil air. Ketika ia melangkah keluar, matanya bertemu dengan mata Evan yang tengah duduk di ruang tengah dengan laptop di hadapannya. Keduanya terdiam sekian detik seakan tatapan menjadi satu-satunya cara untuk berbicara. Gesa mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa suara, ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air.Gesa duduk sejenak di ruang makan. Ia meneguk air putih lalu merenungi nasibnya. Gesa menopang dagu dengan tangannya. Ia berpikir ulang, apa keputusan menikahi Evan adalah keputusan terburuk dalam hidupnya? Ia pikir, tak mengapa menjalani pernikahan perjodohan dengan kesepakatan meski tanpa cinta. Nyatanya, jauh di hati kecilnya, ia merindukan pernikahan yang normal.Mendadak hatinya bergerimis. Tiba-tiba ia merindukan kehidupan lamanya. Rumah yang ia tinggali sekarang
Pagi ini terasa lebih sibuk dibanding pagi sebelumnya. Orang tua Evan telah pulang, Evan dan Gesa kembali tidur terpisah. Namun, kesibukan sebelum berangkat kerja masihlah sama.Gesa inisiatif bangun lebih pagi. Ia siapkan menu yang praktis untuk sarapan. Roti panggang dioles selai coklat dan buah pisang menjadi pilihan. Dua cangkir kopi tak ketinggalan. Evan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya duduk tenang di ruang makan. Ia melirik sepiring roti panggang di hadapannya. Aroma harum kopi juga menyeruak dan menarik minatnya untuk meneguknya.Gesa duduk di hadapannya tak lama kemudian. Netra mereka kembali bertemu. Setiap menatap Sang Suami selalu ada debaran yang merajai. Namun, Gesa berusaha bersikap setenang mungkin."Kamu menyiapkan semua ini? Good... Makasih," ucap Evan seraya menyuapkan sepotong roti panggang."Gimana rasanya?" tanya Gesa dengan satu senyum manis.Evan berhenti mengunyah lalu menatap Gesa datar. "Hmm tidak bisa dibilang enak, tapi juga nggak bisa dibilang ngg
Gesa mengerjap lalu perlahan membuka mata. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Gesa berpikir, apa dia kesiangan? Evan sedang mandi itu artinya ia kesiangan. Gesa melirik jam dinding. Ternyata masih jam empat pagi. Namun, Evan sudah mandi sepagi ini?Tak lama kemudian, Evan keluar dari kamar mandi. Handuk terlilit di pinggangnya. Tubuh atletis Evan ditambah perut sixpack-nya membuat dada Gesa bergemuruh tak menentu."Kamu mandi pagi sekali," ucap Gesa. Netranya mengamati Evan yang tengah mengambil baju di lemari. "Iya, soalnya Ayah udah pasti ngajakin Subuhan di Masjid depan. Ayah tahunya kan semalam kita habis cocok tanam. Makanya aku mandi untuk lebih meyakinkan." Gesa mengamati rambut Evan yang memang tampak basah. Evan kembali menoleh ke arah Gesa."Kamu menghadap sana ya. Aku mau ganti baju. Jangan berbalik sebelum aku minta." Evan menegaskan kata-katanya. Gesa menuruti kemauan Evan. Ia membalikkan badan. "Udah belum, Van?""Belum, sebentar lagi." "Udah," ucap Ev
Gesa semakin deg-degan kala Evan semakin mendekatkan wajahnya. Gesa bertanya-tanya, apa Evan akan menciumnya? Evan menatap Gesa dengan ekspresi wajah tak terbaca. Kondisi mendukungnya untuk setidaknya melalui malam ini dengan sesuatu yang berbekas dan meninggalkan kesan mendalam. Namun, ia teringat akan kesepakatan yang mereka buat. Tidak ada kontak fisik, termasuk ciuman dan pelukan.Evan perlahan mundur. Gesa mencelos. Evan meyakinkan diri berulang kali jika pernikahannya dengan Gesa hanya untuk menyenangkan orang tua, tidak ada cinta, dan tak akan ada hal-hal romantis di antara dirinya dan Gesa.Gesa membeku. Pikirannya melayang pada kesepakatan yang sudah mereka buat. Entah karena teringat pada kesepakatan atau memang Evan tak menginginkannya, laki-laki itu seolah sengaja menciptakan jarak. Drama masa lalu sudah begitu pahit bagi Gesa. Ia tak ingin berharap apa-apa. Evan masih sama dengan yang dulu. Meski dalam beberapa hal sudah lebih melunak, tapi ia tahu, yang ia hadapi adala
Andre dan Maya, istrinya mengamati sekeliling ruangan. Malam ini mereka akan menginap di rumah baru Evan dan Gesa. Cukup rapi, tapi ada beberapa penataan barang yang kurang cocok di mata Maya."Gesa, sepertinya pot tanaman ini harusnya diletakkan di sebelah jendela agar ikut terkena sinar matahari." Maya menunjuk salah satu pot yang diletakkan di sebelah rak buku mini.""Oh, baik, Bunda, nanti saya pindahkan." Gesa mengangguk dan tersenyum. Ia segera memindahkan pot tersebut.Maya melangkah menuju dapur. Ia memeriksa lemari bumbu. "Gesa, coba kamu tata bumbu-bumbu ini berdasarkan teksturnya. Yang tekstur kasar di bawah, atau di sebelah kanan, yang teksturnya lebih halus di sebelah kiri. Atau bisa juga ditata urut berdasarkan namanya." Penataan jar-jar bumbu itu sudah cukup rapi, hanya saja masih kurang sempurna di mata Maya.Lagi-lagi Gesa mengangguk. "Baik, Bun.""Terus untuk selera makan Evan, kamu juga harus belajar, Gesa. Evan itu tidak suka makanan yang terlalu berminyak. Jadi k
Gesa merasa suntuk seharian merevisi karyanya. Sudah tiga kali dia merevisi, barulah di revisi ketiga, Evan menerimanya. Tiba-tiba Evan mengirim pesan, meminta Gesa ke ruangannya. Gesa menghela napas panjang. Ada apa lagi? Gesa berpikir, apa akan ada tugas baru lagi yang harus ia kerjakan? Atau Evan akan komplain hasil kerjanya lagi?Dengan gontai, Gesa melangkah menuju ruangan Evan. Evan mempersilakan Gesa duduk begitu wanita itu tiba di ruangannya."Ada apa lagi Evan?" tanya Gesa dengan nada bicara yang sekenanya. Dia sudah terlalu lelah."Evan? Mana panggilan "Bapaknya"?" Evan mendelik. Mereka sudah sepakat untuk tetap profesional ketika berada di kantor."Aku akan memanggilmu "Bapak" jika ada karyawan lain. Kalau kita sedang berdua, aku bebas memanggilmu apa saja," balas Gesa. Ia tak nyaman harus tetap memanggil "Bapak" sementara status mereka sudah suami istri. "Aku sudah dapat rumah. Kita akan tinggal di kompleks perumahan. Sesuai yang kamu mau. Ada tetangga dekat, halaman ru