“Wifey, bangun.” Bisikan lembut Alvaro membuyarkan alam mimpi Bunga. Matanya langsung bergerak-gerak gelisah. Sesaat kemudian langsung membuka matanya pelan.
Wajah tampak Alvaro tampak bersinar tertimpa cahaya matahari pagi yang menyelusup melalui sela-sela ventilasi jendela kamar mereka. “Tampan sekali,” gumam Bunga tak sadar. Dia mengira masih di dalam alam mimpi, dimana dirinya bebas bersuara memuji ketampanan sang suami tanpa merasa malu.“Oh, terimakasih, Wifey!” Kecupan Alvaro mendarat tepat di bibir Bunga. Kecupan itu membuatnya tersadar kalau itu adalah nyata, bukan mimpi sama sekali. Bunga langsung duduk, dia menggosok-gosok matanya pelan.“Sayang, astaga, aku kira sedang mimpi,” lirih Bunga, malu karena tadi terang-terangan memuji ketampanan sang suami.“Tidak, Sayang. Kau tidak hanya bermimpi jadi istriku. Kau benar-benar sudah menjadi istriku sekarang,” ujar Alvaro. Kecupan berikutnya bertubi-tubi menghujani pipi, kening, dan bibir BunDengan perasaan kesal, Alexa berjalan keluar dari ruang kerja Alvaro. ‘Awas! Rasakan saja nanti, sombong sekali,’ batin Alexa . Kekesalannya memuncak, dia langsung saja berjalan menuju parkiran.Alexa masuk ke dalam mobilnya. Dia membanting pintu mobil itu sampai menciptakan bunyi yang keras. Beberapa orang yang sedang melintas langsung menatap ke arah mobil Alexa . “Apa lihat-lihat?!” seru Alexa dari dalam mobil. Suaranya tentu saja tak terdengar sampai keluar, teredam di dalam kabin mobil itu.Kekesalan Alexa kembali memuncak ketika telepon genggamnya yang tersambung dengan audio mobil berbunyi. Dia melirik ke arah layar yang ada di dashboard mobil. Nama Sarah tertera di layar tersebut. “Duh, Nenek Lampir ini lagi. Gara-gara dia sendiri nih, coba dia lebih pintar,” maki Alexa .Alexa menerima panggilannya. “Halo, Bu. Aku di jalan. Alvaro marah padaku juga. Dia mengancam akan menyudahi kontrak kalau aku menimbulkan kecurigaan. Jadi Ibu sekarang
Alexa terkejut melihat Sarah dengan kopernya sudah berdiri di depan pintu unit apartemen yang ditinggali Alexa. ‘Untung saja tadi malam Gio tidak menginap disini,’ batin Alexa ketika membuka pintunya.“Kenapa, Bu? Kenapa mereka mengusir Ibu?” tanya Alexa. Dengan malas dia duduk di sofa yang ada pada ruang tamu di apartemen itu.“Kau bodoh, Gio juga bodoh! Kalian mark up terlalu banyak tagihan rumah sakit kemarin. Kalau saja kalian tidak menaikkan biayanya sebesar itu, pasti sekarang aku masih berada di rumah Al,” kecam Sarah.“Eh, itu bukan salah kami. Ibu mengatakan segitu jumlah hutang Ibu yang harus segera dibayarkan, kenapa sekarang menyalahkan kami?” tanya Alexa sengit. Dia tak menerima disalahkan oleh Sarah.“Memang, memang sebanyak itu. Tapi tidak juga dalam sekali jarah saja, Alexa.” Sarah lebih sengit lagi kepada Alexa. Dia merasa gadis itulah yang mengacaukan segalanya.“Bilang saja Ibu tak becus membujuk mereka berdua, Bu. Seka
“Wifey, bangun.” Bisikan lembut Alvaro membuyarkan alam mimpi Bunga. Matanya langsung bergerak-gerak gelisah. Sesaat kemudian langsung membuka matanya pelan.Wajah tampak Alvaro tampak bersinar tertimpa cahaya matahari pagi yang menyelusup melalui sela-sela ventilasi jendela kamar mereka. “Tampan sekali,” gumam Bunga tak sadar. Dia mengira masih di dalam alam mimpi, dimana dirinya bebas bersuara memuji ketampanan sang suami tanpa merasa malu.“Oh, terimakasih, Wifey!” Kecupan Alvaro mendarat tepat di bibir Bunga. Kecupan itu membuatnya tersadar kalau itu adalah nyata, bukan mimpi sama sekali. Bunga langsung duduk, dia menggosok-gosok matanya pelan.“Sayang, astaga, aku kira sedang mimpi,” lirih Bunga, malu karena tadi terang-terangan memuji ketampanan sang suami.“Tidak, Sayang. Kau tidak hanya bermimpi jadi istriku. Kau benar-benar sudah menjadi istriku sekarang,” ujar Alvaro. Kecupan berikutnya bertubi-tubi menghujani pipi, kening, dan bibir Bun
Kemarahan Alvaro“Maafkan kami berdua karena selama ini menutupinya,” ujar Alvaro. Alvaro adalah bos yang dingin dan kaku di kantor dalam urusan pekerjaan. Namun, ketika ada acara di luar kerja seperti yang digelar malam ini, maka dia lebih santai dan lebih mampu membawakan suasana.Para karyawan tampak senang, mereka yang ada di kantor pusat selama ini juga sudah banyak yang menduga kalau Alvaro memang memilik hubungan dengan Bunga. Kecuali Vanessa yang hanya bisa meringis. Teman-teman yang duduk dalam satu meja dengannya pun mengatakan kalau Vanessa membawa gosip yang tidak akurat.Yang paling senang dengan semua itu adalah Kakek Bram. Begitu Bunga dan Alvaro kembali turun dari panggung, Kakek Bram langsung memeluk Alvaro dan juga Bunga. “Kakek senang, sekarang langkah kalian akan lebih mudah lagi. Tidan usah bersembunyi-sembunyi,” ujar Kakek Bram. Bunga sendiri merasa konyol. Sebenarnya masih saja ada keinginannya untuk memberontak pada Alvaro. Setidakn
“Sayang! Cepatlah bersiap. Biarkan Ibu istirahat!” ujar Alvaro berdiri di pintu ruang makan. Dia menatap tajam pada Bunga. Alvaro tal sengaja mendengar perkataan Bunga tadi. Dia sangat menyesalkan itu. Alvaro tadi kembali ke ruang makan juga untuk menjauhkan Bunga dari Sarah yang penuh intrik.‘Kurang ajar, ternyata selama ini dia belum melimpahkannya pada Alvaro. Jadi bagaimana mungkin aku mengambil alih dari Alvaro?’ pikir Sarah yang duduk terdiam di ruang makan itu sendirian. Tak ada jalan lain agar Alvaro bisa secepatnya menerima warisan dari Kakek Bram kecuali mereka memiliki anak.Di kamar, Alvaro cepat menutup pintu setelah Bunga masuk ke kamar bersamanya. “Sayang, kau tidak bisa mengatakan apapun pada Ibu dengan semudah itu. Aku tahu kalau dia adalah ibu kandungku, tapi bukan berarti aku buta. Aku hanya tak mau dia terlantar walaupun dulu dia menelantarkan aku,” ujar Alvaro. Dia berjalan gelisah di dalam kamar.“Aku rasa tidak ada salahnya, daripada Ibu terus bertanya,” ujar B
Sarah dan Alexa hanya melirik ketika Bunga mengantar Alvaro menuju ke pintu. “Jangan pulang lama-lama,” rengek Bunga. Alvaro hanya menaikkan alisnya. Dia tidak berencana pulang cepat. Alvaro ingin pulang kembali ke rumah kalau semua orang sudah tertidur.Setelah mengantarkan Alvaro , Bunga kembali ke kamarnya. Sarah sebenarnya memanggil Bunga agar bergabung dengannya dan Alexa, namun Bunga ingin menghubungi Nabila untuk menanyakan hasil investigasi mereka.Sampai di kamar, Bunga langsung mengunci pintunya. Dia mengambil telepon genggamnya dari dalam tas kemudian langsung menghubungi Nabila. “Halo, Bila. Bagaimana?” tanya Bunga penuh harap.“Kami baru saja pulang. Ini masih di jalan. Om Angga mengatakan kalau nota itu memang mencurigakan, tapi semuanya juga ditandatangani oleh seorang dokter senior yang menjadi direksi di rumah sakit. Om Angga mengatakan akan mencoba memeriksa rekam medis dari pasien yang bersangkutan. Tenang saja, Lia. Nan