Share

Menikahi CEO Duda
Menikahi CEO Duda
Author: Tagetesnim

BAB 1

"Jangan terlalu gugup, Sayang. Rileks. Jangan sampai membuat kesalahan."

Luna, gadis dengan balutan gaun pengantin berwarna putih, tersenyum kecil menanggapi ucapan ayahnya. Dia melirik pada tangan ayahnya yang sesekali saling bertaut agak gemetar.

"Pi, mungkin seharusnya aku yang mengatakan hal itu padamu," tandas Luna.

Wanita itu menarik tangan Okta, ayahnya. Menepuk-nepuk pelan punggung tangan Okta yang sudah mulai mengkeriput. Luna tahu, ayahnya bahkan lebih gugup daripada dirinya saat ini.

Okta tersenyum canggung. "Apakah sikap Papi terlalu kentara?" tanyanya.

Luna mengangguk pelan. "Iya. Papi terlihat begitu jelas sedang merasa gugup." Dia tersenyum, melirik pada tas kecilnya di atas meja rias. "Mau minum pil penenang?" tawarnya kemudian. Ingat bahwa dia memiliki benda itu untuk berjaga-jaga.

"Memang boleh?"

Luna terkekeh pelan mendengar pertanyaan spontan yang diajukan oleh ayahnya. Pada saat seperti ini, entah mengapa Luna merasa bahwa ayahnya lebih kekanakkan daripada dirinya sendiri.

"Tentu boleh, Papiiii. Tidak ada yang melarang sama sekali," gumam Luna. Dia merogoh tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi obat penenang yang diresepkan oleh dokter pribadinya.

Luna memberikan satu butir pil yang dia ambil dari botol tersebut pada ayahnya. Memperhatikan setiap gerak-gerik yang ayahnya lakukan saat meminum pil tersebut. Tiba-tiba saja, Luna teringat akan kenangan masa lalu dengan pria paruh baya tersebut. Kenangan yang terasa baru saja terjadi kemarin hari, saat dirinya merengek tidak mau naik ke panggung untuk memperoleh penghargaan yang hendak diberikan padanya sebagai murid terbaik.

Luna kecil saat itu kesal karena ayahnya tidak datang di hari perpisahan Taman Kanak-Kanak. Dia tidak ingin naik ke podium meski wali kelas terus membujuk. Semakin dipaksa, semakin Luna enggan. Bahkan Vika, ibunya, sudah tidak bisa melakukan penawaran apa pun lagi dengannya. Luna terus kekeh ingin kehadiran ayahnya saat itu juga. Untunglah, sesaat sebelum Vika hendak naik mewakili Luna, Okta datang. Lekas saja Luna berhambur ke pelukan lelaki itu, memintanya untuk naik ke atas panggung bersama.

Lebih daripada Luna, pada saat itu, justru Okta yang gugup bukan main. Di saat Luna menyampaikan pidato singkatnya, Okta hanya berdiri diam dengan tangis yang hampir pecah.

Luna pernah bertanya pada ibunya, "Bagaimana bisa Papi berakhir menjadi seorang pimpinan perusahaan besar, sementara Papi memiliki demam panggung seperti itu?"

Vika yang kebetulan dulu adalah sekretaris pribadi Okta menjawab dengan seulas senyum hangat yang membuat Luna merasa damai, "Papi kamu hebat dalam pekerjaannya. Dia selalu menyampaikan isi kepalanya dengan lugas, entah saat rapat, persentasi, atau saat berbicara dengan siapa pun. Dia luwes berkomunikasi serta selalu percaya diri. Tapi jika itu menyangkut tentang kamu dan kakakmu, sayangnya, dia tidak pernah sepercaya diri itu."

"Kenapa?" Luna bingung dengan jawaban yang diberikan Vika.

"Sebab dia terlalu mencintai kalian berdua," gumam Vika, mengelus rambut Luna yang tengah tertidur di pangkuannya. "Dia tidak takut salah dalam pekerjaannya, tetapi takut salah dalam hal mendidik dan membesarkan anaknya. Baginya, kalian berdua adalah hal paling berharga yang dia miliki. Hal yang selalu membuatnya antusias sekaligus takut."

Mungkin sejak saat itu, Luna mulai berpikir bahwa ayahnya lebih hebat daripada superhero apa pun yang pernah dia tonton. Ayahnya harus dihormati, lebih dari siapa pun manusia berpengaruh di dunia ini. Ayahnya adalah cinta pertama baginya. Sosok yang menjadi inspirasi, sosok yang takkan tergantikan.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Luna, menerima botol air mineral yang baru saja ditenggak oleh Okta.

Okta mengangguk seraya mengusap peluh yang membasahi dahi. "Ya, Papi baik-baik saja," jawabnya. Namun Luna masih bisa melihat kegugupan di wajahnya.

"Pi," panggil Luna. "Liam adalah pria yang baik. Papi mengenalnya sejak dia kecil. Dia menghormati Papi dan selalu menjagaku sejak dulu. Jangan terlalu mengkhawatirkan apa pun. Pada akhirnya aku jatuh pada pelukan lelaki yang Papi pilihkan sendiri untukku, bukan?"

Sepasang mata Okta berkaca-kaca. Sampai akhirnya, buliran bening jatuh di pipi lelaki itu. "Papi hanya tidak mengira bahwa sudah saatnya Papi melepaskan tanggung jawab atasmu pada pria lain, Sayang. Rasanya baru kemarin Papi menggendong bayi kecil yang menangis keras di rumah sakit. Mengajarimu berjalan, membawamu keliling kota, lalu membersamaimu setiap kali kamu lulus dari sekolah."

Hati Luna tercubit mendengar ucapan Okta. Pernikahan anak perempuan selalu menyisakan kesedihan yang terasa lebih pekat untuk seorang ayah.

Tak terasa, tetes demi tetes air mata akhirnya jatuh di wajah Luna. Sama seperti Okta, Luna juga merasakan hal serupa. Perasaan sedih, hampa, kosong, dan takut kehilangan semua momen kebersamaan yang dulu mereka lakukan semakin menyelimuti hati keduanya.

Luna berdiri dari duduknya. Lekas memeluk tubuh tegap Okta. "Aku masih anak Papi meski statusku sudah menjadi istri Liam, bukannya begitu?" hibur Luna pada ayahnya, serta pada dirinya sendiri.

Okta mengangguk. Balas memeluk tubuh putrinya yang terbalut gaun putih panjang yang terlihat menawan dan pas di tubuh Luna. Namun momen syahdu tersebut harus terinterupsi saat seseorang tiba-tiba saja membuka pintu dengan sekali gebrakan. Cale, kakak Luna.

"Cale, kau baik-baik saja, eh?" Okta bertanya setelah mengatasi keterkejutannya.

Pria dengan tuxedo hitam di ambang pintu berdiri diam. Wajahnya menyiratkan berbagai hal, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir ranumnya. Tentu saja, hal itu membuat perasaan Luna dan Okta seketika menjadi tak karuan. Mereka berdua mulai berpikir hal yang tidak-tidak. Lalu benar saja, Cale selanjutnya mengatakan hal paling mengejutkan yang pernah Luna dan Okta dengar. Hal yang sama sekali tidak pernah mereka harapkan serta bayangkan.

"Liam tidak ada. Dia kabur dari pernikahan."

Jantung Luna rasanya berhenti berdenyut untuk sesaat. Isi kepalanya mendadak kosong. Luna bagaikan dihantam oleh badai saat tengah tenang.

"Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal, Cale!" pekik Okta, lekas menangkis ucapan Cale. "Papi tahu kamu selalu mengganggu adikmu. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Dewasalah!"

Okta mengira bahwa Cale mempermainkan mereka. Namun Luna tahu bahwa hal itu bukan akal-akalan Cale. Bahkan sesaat setelah Cale datang, Luna sudah mulai memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dia dengar. Kemungkinan yang baru saja dia pikirkan beberapa saat lalu, ketika pikirannya tiba-tiba berkelana pada hari saat dia melihat Liam bersama dengan wanita lain.

Saat Cale hanya diam tak merespons kembali ucapannya, Okta tampaknya tahu bahwa sesuatu yang salah benar-benar terjadi. Lelaki itu lantas dengan secepat kilat meninggalkan ruang tunggu.

Luna sendiri tidak bisa hanya berdiri diam. Dia menyusul ayahnya, bersama Cale yang dengan segera mendampingi dirinya seraya membawakan ekor gaun Luna.

Terdengar keributan di ballroom hotel tempat acara dilaksanakan. Begitu tiba, Luna tahu itu adalah ayahnya. Namun yang mengejutkan, secara tiba-tiba, dia melihat pemandangan yang membuat dirinya seketika akan tumbang.

"Papi!" jerit Luna keras, menghampiri pria paruh baya yang jatuh pingsan di kerumunan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status