Share

BAB 2

"Papi!"

Luna berjalan cepat menghampiri ayahnya yang terjatuh pingsan secara tiba-tiba. Tidak peduli berkali-kali Luna tersandung oleh gaunnya sendiri, wanita itu hanya menatap lurus ayahnya bersama dengan air mata yang akhirnya jatuh berderai.

"Pi! Bangun!" jerit Luna histeris. Dia duduk di sisi ayahnya yang tergeletak tak berdaya. Orang-orang seketika berkerumun di antara pria paruh baya itu. Membuat oksigen terasa semakin menipis.

"Panggil ambulans!" Samar-samar, Luna mendengar suara Adi berteriak di belakang.

Luna juga bisa mendengar Cale berusaha untuk membubarkan kerumunan dengan alasan yang terbersit di benak Luna, bahwa kondisi ayahnya akan semakin memburuk karena pasokan oksigen yang kurang.

Luna sendiri tidak dapat memikirkan apa pun sekarang. Segala sesuatu terasa berjalan dengan cepat. Dia bahkan tidak diberikan waktu untuk bisa memahami kondisi sebelumnya, kemudian ditempa lagi dengan kondisi baru yang lebih membuatnya terpuruk. Dalam waktu yang terasa begitu menyesakkan itu, Luna hanya bisa berusaha bertahan. Apa pun caranya.

***

"Makanlah dulu sebentar, Luna."

Luna yang masih menunggu kabar mengenai ayahnya di depan Unit Gawat Darurat menoleh saat Tania, ibu Liam, datang menghampiri. Selain memikirkan mengenai kondisi ayahnya, di benak Luna masih berkeliaran banyak pertanyaan tentang hilangnya Liam.

Ke mana Liam pergi? Apa yang sebenarnya terjadi hingga lelaki itu meninggalkan acara pernikahan begitu saja? Apa kesalahannya? Dan banyak hal lain yang Luna pertanyakan di benak.

Luna hendak bertanya pada Tania, tapi dia mengurungkan niatnya. Entah mengapa, Luna seakan kehabisan tenaga sekarang.

"Kamu harus makan agar memiliki tenaga. Banyak hal yang harus kamu lakukan setelah ini. Papi kamu juga tidak akan mau melihatmu seperti ini, bukan?"

Luna tidak menjawab, tetapi tangannya lekas mengambil alih roti di tangan Tania dan memakannya dengan enggan. Tenggorokannya terasa sakit, seolah sesuatu menghalangi Luna untuk menelan. Namun dia tetap memaksakan diri menelan makanannya.

"Sebenarnya ke mana Liam pergi?"

Cale tiba-tiba mendekat pada Tania dan melayangkan pertanyaan yang sejujurnya sangat ingin Luna tanyakan sejak tadi. Tapi dia terlalu lelah untuk berbicara apa pun.

Tania menunduk mendengar pertanyaan yang dilayangkan oleh Cale. Ada sesal yang terpatri di wajahnya.

"Kalian semua pasti tahu kenapa hal ini terjadi. Tidak mungkin kalian tidak tahu apa pun, bukan?" cecar Cale.

Luna lekas memegang tangan Cale, menenangkan lelaki itu. Bagaimana pun, hal ini juga membuat Tania merasa terguncang, bukan mereka saja.

"Sebenarnya, Liam sempat menolak perjodohan," gumam Tania setelah beberapa saat. Tentu, hal itu membuat Luna terhenyak.

"Apa maksud Tante?" Akhirnya Luna bersuara.

"Seminggu sebelum pertunangan kamu dan Liam berlangsung, Liam sempat menyuarakan mengenai ketidaksetujuannya dalam perjodohan ini. Dia bilang, dia tidak bisa menikahi gadis yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri."

Jantung Luna mencelus mendengar penjelasan yang diberikan oleh Tania. Membuatnya sadar, bahwasanya sejak awal hanya dia yang terus mengejar Liam. Bahwasanya, hanya dia yang menganggap Liam istimewa. Sementara Liam, dia menganggapnya demikian?

"Tapi sikapnya baik-baik saja selama ini, seolah-olah Liam tidak keberatan," gumam Luna. Atau mungkin tidak?

Mungkin, Liam telah menyiratkan beberapa hal bahwa dia tidak menyetujui perjodohan ini. Namun Luna tidak menyadarinya. Dia dibutakan oleh euforia karena akhirnya akan menikah dengan lelaki yang sudah lama dia puja-puja.

Mungkin, sikap dingin Liam yang selama ini Luna anggap wajar karena berpikir begitulah ia adalah salah. Mungkin, Liam benar-benar dingin karena tidak menyukainya.

"Kami pikir juga begitu, Luna." Tania menunduk penuh sesal. "Setelah Om Adi meyakinkan Liam, Liam akhirnya menerima perjodohan ini dengan baik."

"Lantas?"

Tania menggeleng pelan. "Tante tidak tahu mengapa dia memutuskan pergi di hari-H pernikahan dan apa yang membuatnya begitu nekat."

Luna memejamkan matanya dengan lelah mendengar hal itu. Tanpa terasa, air mata merembes membasahi pipinya. Hatinya bukan hanya patah, tapi nyaris hancur.

"Sementara menunggu kabar mengenai keadaan Papi, aku akan berusaha mencari keberadaan Liam."

Cale, meski terkadang menyebalkan, tetapi lelaki itu adalah pria yang akan selalu menjadi garda paling depan untuk melindunginya menggantikan Okta. Dia selalu sigap melakukan apa pun untuk Luna, tidak peduli hal apa yang akan dia lalui untuk melindungi Luna dan ibunya.

Lagi-lagi, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Luna. Perempuan itu hanya memberikan anggukan pelan dan membiarkan Cale pergi menghubungi seseorang.

Namun sebelum sempat Cale kembali, ponsel Tania berdering singkat, menandakan notifikasi pesan. Lekas wanita itu membuka layar ponsel dan seketika tertegun.

Menyadari hal itu, Luna tahu ada yang tidak beres. Namun Luna tidak tahu bahwa ternyata, pesan yang pada akhirnya Tania biarkan Luna baca meninggalkan luka yang teramat dalam untuk perempuan itu.

Liam:

[Maaf, aku meninggalkan acara pernikahan begitu saja. Aku tidak bisa melanjutkan hal yang tidak aku ingini. Aku tahu Mama atau Papa akan marah padaku setelah ini, tapi aku harus melakukannya demi Raisa dan anak yang dia kandung. Maaf aku tidak bisa menjadi anak yang berbakti, aku memilih menjadi ayah yang bertanggung jawab.]

Raisa dan anak yang dia kandung. Ayah yang bertanggung jawab. Luna berusaha mencerna dengan baik kalimat demi kalimat itu, sampai akhirnya dia bisa menyimpulkan bahwa Liam pergi bersama dengan kekasihnya yang tengah hamil.

Jelas, hati Luna remuk. Namun hal itu membawa benak Luna berkelana pada momen tujuh hari yang lalu saat dia dan Liam tengah berjalan-jalan di Karnaval, saat lelaki itu mengatakan hal yang berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status