"Love?"Panggilan lirih dari Hiro berhasil membuat Aira mengangkat wajahnya. Bekas air mata masih tampak membasahi pipinya, baru terhapus setelah Hiro menyeka dengan ibu jari yang terasa begitu hangat.Senyum yang terukir di wajah tampan pria ini berhasil menyita atensi Aira. Meski sedu sedan tangisnya masih tersisa satu dua. Namun, kehadiran Hiro yang terus memeluknya selama menangis tadi, seolah memberikan kekuatan yang amat sangat berarti."Sudah merasa lebih baik?" Hiro kembali bersuara, bertanya dengan nada lembut. Satu tangannya naik, mengusap puncak kepala wanita yang amat sangat disayanginya, sedangkan tangan lain masih bersemayam di wajah sebelah kanan Aira. Tetap mengelusnya.Aira mengangguk lemah, sudah bisa mengendalikan perasaannya.Perlahan namun pasti, Hiro membimbing Aira untuk meninggalkan lantai tempatnya bersimpuh. Mereka duduk di atas kursi sofa yang ada di ruang tengah, menghadap televisi layar datar berukuran super besar yang kini tampak gelap seluruhnya.Hingga
"Selamat malam, Love," sapa Hiro begitu melihat wanita di hadapannya membuka mata.Mengerjap dua kali, Aira berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Lampu berbentuk lingkaran yang tertanam di atas sana begitu menyilaukan. Mau tak mau dia harus memejamkan matanya lagi, mengambil napas dalam setelahnya. Aroma lavender terasa menenangkan, membuatnya nyaman."Ah, tunggu sebentar."Tanpa diminta, Hiro bergegas meraih remote di atas laci dan menekan salah satu tombol mungil yang ada di sana. Detik berikutnya, lampu neon padam dan membuat Aira bisa membuka matanya lebih lebar.Dibandingkan Ken yang suka memerintah, tentu saja Hiro amat sangat berbeda. Pria ini lebih pengertian, juga bisa memperlakukan wanita layaknya manusia. Perlahan, Aira semakin jatuh hati pada semua perhatian suami keduanya. Dia luluh melihat senyumnya yang tulus."Maaf membuatmu kelelahan." Sebuah kecupan mendarat di kening Aira, membuat matanya terbuka sempurna."Apa kau lapar?"Aira tak menjawab, menatap pria
"Senang membuat orang lain khawatir, heh?!" pertanyaan ketus segera terdengar begitu Aira membuka kelopak mata. Penglihatannya masih agak buram, juga kepala yang terasa berat.Aroma cairan antiseptik tercium samar, membuatnya segera tahu di mana dirinya berada. Dinding putih bersih dengan tiang infus di sebelah kanan tubuhnya mengonfirmasikan dugaannya. Ah, tentu dirinya ada di rumah sakit. Dia kehilangan kesadaran setelah menghubungi Kosuke, asisten pribadi suaminya.Aira mengambil napas dalam-dalam sebelum coba membuka mata untuk ke dua kalinya. Sosok pria duduk di atas kursi roda menjadi satu-satunya manusia yang tertangkap indra penglihatannya. Tidak ada dokter, perawat, ataupun yang lainnya. Termasuk tidak terlihat sosok pria yang dengan ramah mematikan lampu utama ruangan saat dia merasa silau.Gerakan kepala Aira yang menoleh ke kanan kiri tentu saja tertangkap oleh mata Hiro. Sebuah senyum miring terukir di separuh wajah. Sisanya masih tersembunyi topeng hitam yang menambah ke
“Ayolah, Ken. Berhenti bermain-main. Aku tahu kamu ingin melihat kesungguhan istrimu, tapi bukan berarti dengan menindasnya semacam itu. Kondisi fisiknya berbeda dengan wanita lain. Dia sedikit lebih lemah.” Suara Kaori terdengar tidak sabaran, menatap pria yang sedang merokok di depan jendela.Ken menghela napas, coba mengendalikan emosi. Kursi roda miliknya teronggok di samping pintu, ditinggalkan begitu saja sejak beberapa menit lalu. Ah, tepatnya dihempaskan sedemikian rupa setelah sampai di ruangan pribadi milik Kaori. Tidak akan ada yang berani masuk ke sana kecuali pemiliknya sendiri. Salah satu fasilitas yang disiapkan untuk dokter yang bekerja di rumah sakit ini.Ingatan Kaori kembali ke belakang, tepatnya saat dia masih ada di ruang perawatan Aira. Tentu saja dengan Ken yang pura-pura lumpuh di atas kursi berjalannya. Dia masih menepuk-nepuk punggung Aira, merasa bersalah membuat wanita itu sampai terbatuk-batuk. Tersedak oleh air mineral yang diminumnya.“Apa pertanyaanku m
“Ai-chan, bagaimana keadaanmu?” Hirota masuk ke dalam ruang perawatan dengan wajah khawatir. Tiga puluh menit lalu, Kosuke menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi dengan putri angkat kesayangannya.“Kau baik-baik saja, Sayang?” Sebuah kecupan mendarat di kening Aira. Hal yang sama juga dilakukan oleh Asami, istrinya.“Maaf karena kami baru bisa menjengukmu, Nak.”Aira tersenyum, merasa begitu beruntung memiliki keluarga seperti mereka. Meskipun tidak memiliki hubungan darah, tapi mereka tetap menyayanginya seperti putri sendiri. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Sakura, kakak angkatnya, merasa kalau Aira lebih disayang oleh ayah ibu mereka.“Aku baik, Ayah, Ibu. Maaf sudah membuat kalian cemas.”Asami kembali memeluk putrinya, memerhatikan wajah bulat Aira yang masih tampak sedikit pucat. Hari ke tiga dirawat di rumah sakit setelah pingsan malam itu.“Aku akan menemui dokter, kau t
“Hati-hati, Sayang.” Asami membantu Aira turun dari mobil hitam yang membawanya kembali. Seorang asisten rumah tangga segera mendekat, mengambil alih tas yang dibawa oleh tuannya. Hirota bergegas memutari mobil dan ikut memapah Aira, membimbingnya ke beranda.“Aku bisa jalan sendiri, Ayah, Ibu.”“Tidak perlu sungkan. Kondisimu masih lemah, Sayang. Ayo.” Lagi-lagi Asami tidak membiarkan putri angkatnya mandiri. Dia ingin memanjakannya, termasuk sebagai penebus rasa bersalah karena sudah menggadaikan kebebasan gadis itu.Satu persatu anak tangga dilewati bersama. Hirota begitu posesif, seperti memperlakukan putri raja agar tidak tersandung kerikil kecil sekalipun. Aira layaknya intan permata yang amat berharga bagi keduanya.Dari lantai dua, tampak tatap mata yang iri melihatnya. Dia Sakura, putri kandung pasangan tuan dan nyonya Nagasawa. Sejak kecil dia merasa kalau kedua orang tuanya lebih menyayangi Aira, melebihi dirinya sendiri. Padahal, Asami dan Hirota berusaha adil pada keduany
"Salahmu sendiri!"Tawa Kaori terdengar menggema begitu Ken selesai mengungkapkan kegundahan yang dirasakannya."Siapa suruh kamu berpura-pura. Aku sudah mengingatkannya sejak awal. Sebagai seorang konsultan cinta yang tidak mendapat imbalan apa-apa, aku hanya bisa menyuruhmu bersabar. Hanya itu yang bisa kamu lakukan sekarang. Tidak masalah datang ke keluarga Aira sedikit terlambat. Dengan begitu, kamu bisa melihat sikapnya. Dia mengabaikan keberadaanmu atau tetap mau mengurusmu. Lihat ketulusannya. Aku yakin dia akan melupakan sakit hatinya dan memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Dia akan menunduk takzim, bahkan menarik kursi agar kamu bisa bergabung dengan mereka di meja makan."Ken tidak bisa berkomentar. Lagi-lagi yang Kaori katakan benar. Jika dia datang lebih awal, pastilah tuan Hirota dan nyonya Asami yang sibuk melayaninya."Karena nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang perlu kamu cemaskan lagi, Ken. Fokus saja mencari lauk pauk agar nasi itu masih bisa masuk ke perutmu."
"Sayang, bangun. Sebentar lagi makan malam." Asami menggoyang lengan Aira perlahan. Senyum hangat terukir di wajahnya, menyaksikan gadis kesayangannya mengerjap beberapa kali."Pukul berapa sekarang, Bu?" Aira duduk bersandar kepala ranjang, memperhatikan wajah cantik wanita yang telah merawatnya bertahun-tahun ke belakang.Asami mengangkat jam digital di atas meja dan mendekatkannya ke depan Aira."6.30. Masih ada waktu beberapa menit untukmu membersihkan diri. Kalau kamu masih lemah, ibu akan mengantarkan makanannya ke sini."Aira menggeleng, sudah merasa lebih baik."Aku akan bergabung dengan kalian di meja makan.""Sungguh? Kamu tidak pusing atau lemas?""Aku baik-baik saja, Bu."Meski masih sedikit pusing, Aira menutupinya. Dia segera masuk ke kamar mandi dan bersandar di pintu sambil memejamkan mata. Bergerak secara tiba-tiba seperti barusan membuat penglihatannya sedikit berbayang. Untung saja dia hafal letak pintu ini. Jadi, tidak perlu membuka mata untuk sampai di sana."Ibu