Share

Jebakan Mantan

Malas untuk berdebat lagi, Gavin memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Ia menarik Sabil untuk keluar dari rumah keluarganya meninggalkan kekacuan yang ia buat.

Sesampainya di depan rumah Gavin, Sabil menepis genggaman tangan Gavin dengan kasar. Kini mereka berdiri saling berhadapan.

Plakk..

Sabil melayangkan tamparan keras ke pipi kiri Gavin, ia benar-benar tidak terima dengan kelancangan Gavin tadi.

"Menikah bulan depan kata lo? Bisa-bisanya ngomong kaya gitu? Udah gila ya lo?" bentak Sabil berapi-api, ia tidak peduli jika ada yang mendengar.

"Bil kita bukan orang asing," ujar Gavin dengan santainya.

"Ya terus? Kalau bukan orang asing bisa seenaknya ngajak nikah gitu? Vin, lo serius sama yang lo bilang tadi? Lo cuma mau meredam keluarga lo aja kan supaya ngga lanjutin perjodohan?" Sabil berbicara dengan sedikit halus kali ini.

"Engga, aku serius mau menikah sama kamu." Gavin masih dengan santainya menjawab pertanyaan Sabil.

"Udah gila nih orang," ucap Sabil menatap sinis pria di depannya.

"Sebenarnya ini syarat yang aku bilang ke kamu tadi siang."

"APA? Jadi gue harus nikah sama lo buat dapatin sponsor?" Sabil terkejut dengan rencana licik Gavin.

"Lo jebak gue ya Vin?" tanya Sabil lagi.

"Aku ngga jebak, aku cuma kasih pilihan."

"Lo tau kalau gue kesulitan cari sponsor dan memanfaatkan itu. Jahat lo Vin," ucap Sabil dengan lemah.

"Bil." Gavin mencoba mendekati Sabil, ia maju selangkah.

"Lo tau Vin gimana putus asanya gue akhir-akhir ini, gue berasa dibanting berkali-kali karena selalu menemui kesulitan kaya gini setelah diberi harapan. GUE SELALU DIBERI HARAPAN PALSU." Sabil berbicara dengan sangat pelan di awal, dan di kalimat terakhir ia benar-benar mengeluarkan emosinya.

Gavin yang melihat itu pun merasa hatinya ikut hancur, ia bisa merasakan keputusasaan Sabil. Ini memang rencananya sejak awal, saat mendengar kabar bahwa Sabil kesulitan mendapat sponsor, ia pun berencana untuk memberinya sponsor dengan memberikan syarat Sabil harus menikah dengannya. Ia tidak mau menyianyiakan kesempatan.

"Emang ya semua orang kaya tuh sama aja, bisa berbuat seenaknya karena punya uang dan kekuasaan. Gue ngga akan mau ya nikah sama lo, lo pikir gue akan tunduk sama lo karena lo kasih gue sponsor?"

Ketika Sabil memakinya tiada henti, Gavin justru hanya diam dan menatap Sabil dengan wajah santai.

"Satu tahun," ujar Gavin memotong makian Sabil, ia lalu melanjutkan "Jadi istri aku selama satu tahun."

Sabil melipat kedua tanganya di dada. "Pernikahan itu mainan ya buat lo?"

"Yaudah kalau gitu nikah serius gimana?" tanya Gavin berunsur candaan.

"Kenapa sih harus gue? Sama-sama nikah mendadak sama orang yang baru aja lo temui kenapa ngga terima aja nikah sama Mikha? Dia cantik, terkenal, atau kalau ngga sama Mikha ada kan teman dekat kamu sejak bayi itu, si Stella."

"Aku maunya kamu," jawab Gavin singkat.

Sabil menghela nafas panjang, ia tidak tahu harus bagaimana. Semua orang hanya ingin menikah dengan orang yang dicintainya, dan Sabil tidak mencintai Gavin walaupun laki-laki itu adalah mantannya, rasa itu sudah terkubur dalam.

Gavin dan Sabil berhenti berdebat, tak ada lagi makian Sabil. Ditengah kesunyian, terdengar langkah kaki seseorang yang membuat Sabil dan Gavin menoleh ke jalan depan rumah.

Gavin terlihat malas saat melihat kedatangan Deva, saudara tirinya. Deva pasti datang ke rumahnya untuk membuat keributan dengannya.

"Ngapain lo kesini?" tanya Gavin kasar.

"Santai kali Vin, gue tadinya mau cari udara segar aja tapi lihat lo ya gue sapa lah. Apalagi ada calon kakak ipar." Deva menatap Sabil dari atas ke bawah membuat Gavin geram.

Gavin menarik Sabil untuk menjauhkannya dari Deva.

"Gue kira lo ngga suka cewek, soalnya dari dulu ngga pernah kelihatan punya pacar. Ternyata punya ya, selera lo bagus juga. Yang ini ngga kalah lah sama Mikha."

"Gue ngga butuh pendapat lo." Gavin menarik Sabil untuk memasuki gerbang rumahnya.

"Paling juga nanti dia nyerah kaya mama lo," ucap Deva yang membuat Gavin menghentikan langkahnya.

Gavin sudah berusaha mengabaikan adik tirinya itu, namun jika ada yang menyebut mamanya Gavin tak bisa tinggal diam. Ia pun berjalan mendekati Deva.

Gavin menarik kerah baju Deva. "Jangan berani-berani rendahin mama gue!"

"Gue ngga ngrendahin, gue cuma ngomong kenyataannya." Deva menyeringai.

"Lo ngga tahu apa-apa jadi jangan sok tahu banyak hal." Gavin masih mencengkram kerah baju Deva.

Sementara itu Sabil hanya diam di tempatnya tadi, ia tak ingin melerai karena tidak mau dianggap ikut campur.

"Vin, apa lo ngga ada rencana buat nyusul nyokap lo ke Bali? Gue prihatin banget lo hidup disini sendirian, kesepian, apalagi lihat bokap lo yang udah bahagia sama keluarga barunya, gue akui lo kuat banget bisa bertahan sampai sekarang." Deva terus berbicara untuk memancing emosi Gavin.

"Lo ngomong apa sih? Mending lo itu perbaiki diri supaya terlihat pantas jadi anak konglomerat, biar ngga jadi bahan gunjingan orang masa anak konglomerat kerjaannya judi, mabuk-mabukan, suka main cewek, malu-maluin." Gavin melepas cengkramannya dari Deva.

Deva tertawa medengar ejekan Gavin. "Udah ah Vin, gue niatnya mau cari udara segar malah ribut sama lo. Buruan deh lo nikah, terus lo jaga baik-baik istri lo biar ngga bernasib sama kaya Nyonya Rania."

Bugg...

Tanpa aba-aba Gavin melayangkan tinjuan di wajah sebelah kanan Deva, ia selalu marah setiap Deva menyebut nama mamanya dengan wajah yang terlihat mengejek. Ia tak bisa terima itu.

"Sialan lo." Deva menatap Gavin dengan sorot mata penuh kebencian, ia pun balas melayangkan tinjuan di pipi kiri Gavin.

Sabil masih berdiri di tempatnya, namun ia tidak setenang tadi. Ia terlihat khawatir dengan dua saudara yang bertengkar hebat itu, terutama Gavin. Dua orang itu sudah adu tinjuan lalu saling mendorong hingga darah keluar di wajah mereka.

Kini Deva sudah terkapar di jalan, dan Gavin yang masih dipenuhi emosi terus menghajar adik tirinya itu. Sabil merasa ia tidak bisa diam saja, ia pun menghampiri Gavin yang masih meninju wajah Deva tanpa henti.

"Vin udah berhenti," jerit Sabil sembari menarik Gavin agar berdiri dan menghentikan tinjuannya.

Deva dengan sisa tenaganya mendorong Gavin agar menyingkir darinya, dengan bantuan Sabil akhirnya Deva pun terbebas dari Gavin. Pria itu terduduk di jalanan, sementara Deva dengan menahan sakit yang luar biasa berusaha untuk berjalan kembali ke rumah.

Sebelum pergi, Deva meludah tepat di sebelah Gavin yang masih terduduk. Melihat itu, Gavin bangkit dan bersiap menghajar Deva lagi.

"Vin udah Vin, jangan!!!" Sabil berusaha menahan Gavin dengan sekuat tenaga.

Beruntung Sabil berhasil menahan Gavin, jika tidak Deva bisa dibuat patah tulang olehnya.

Gavin menepis tangan Sabil yang melingkar di lengannya dengan kasar, lalu ia berjalan masuk ke rumahnya.

Sampai di dalam rumah, Gavin duduk di sofa dan menyandarkan kepalanya sembari menutup mata. Ia berusaha menenangkan diri sampai lupa telah meninggalkan Sabil.

"Vin," panggil Sabil ragu-ragu.

Gavin membuka matanya saat mendengar suara Sabil.

"Oh iya aku harus antar kamu pulang." Gavin baru saja akan berdiri namun ditahan oleh Sabil.

"Ngga usah Vin, lo lagi ngga baik-baik aja. Gue bisa pulang sendiri."

"Ngga, aku antarin. Ayo." Gavin sudah berdiri dan berjalan untuk mengambil kunci mobil.

Namun lagi-lagi Sabil menahannya. "Gue bantu obatin dulu ya."

"Kotak P3K nya dimana?" tanya Sabil saat Gavin masih terdiam.

"Ada di rak dekat dapur," jawab Gavin berusaha menahan sakit.

Sabil pun buru-buru mengambilnya, tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan apa yang ia cari. Setelah menemukannya, Sabil segera membawanya pada Gavin.

"Kenapa kamu ngga tanya apa-apa soal kejadian tadi?" tanya Gavin saat Sabil sedang sibuk membersihkan lukanya.

"Buat apa tanya?" tanya Sabil yang tetap melanjutkan aktivitasnya.

"Kamu sama sekali udah ngga ada rasa ke aku ya Bil?" tanya Gavin lagi yang membuat Sabil tiba-tiba berhenti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status