Share

Officially

Sabil melajukan mobilnya dengan sangat kencang, di tengah perjalanan Sabil mencari-cari ponselnya namun tak kunjung menemukannya. Padahal ia akan menghubungi Gavin, untuk bertanya apakah dia punya waktu luang.

Sekitar lima belas menit akhirnya Sabil sampai di XIGO, kantor Gavin. Saat menuju basement, Sabil melihat banyak wartawan terlantar di depan perusahaan. Ia tahu, ini pasti karena berita dating Gavin dengan seorang selebriti. Sabil pun tersenyum sinis saat memikirkannya.

Setelah selesai memarkir mobil, Sabil segera masuk, namun ia tiba-tiba berhenti saat menyadari penampilannya yang masih memakai kaos dan celana pendek. Hal itu membuatnya ragu harus melanjutkan atau tidak.

"Bodo amat deh, pakai kaya gini juga masih kelihatan cantik kok gue," ucap Sabil sangat percaya diri.

Kini sampailah Sabil di pintu masuk karyawan yang dijaga oleh tim keamanan.

"Selamat pagi mbak, maaf sebelumnya tapi saat ini yang boleh masuk ke kantor hanya karyawan saja," ucap salah satu pria muda megusir Sabil secara halus.

"Aduh selain karyawan ngga boleh masuk ya mas?" tanya Sabil memastikan.

"Iya mbak."

"Tapi saya ada urusan penting sama Pak Gavin, boleh ya masuk. Saya jamin dia juga ngga akan marahin kok kalau mas biarin saya masuk." Sabil memeperlihatkan wajah memohonnya.

"Mbak wartawan ya?" tuduh security tiba-tiba.

"Astaga, bukan mas bukan," jawab Sabil sedikit terkejut.

"Kok maksa banget mau masuk?" tanya security itu tak lagi ramah.

"Ya saya ada urusan penting," jawab Sabil yang tak terima karena security itu membentaknya.

"Dari tadi banyak wartawan yang mencoba menerobos masuk dengan berbagai cara, saya udah hafal mbak. Silahkan keluar,"

"Coba telepon resepsionisnya Pak Gavin deh, bilang saya mau ketemu pasti diizinin masuk."

"Kenapa ngga mbak aja yang telepon Pak Gavin?"

"Saya ngga bawa hp mas," ucap Sabil sudah gemas dengan drama ini.

"Tuh kan bohong pasti."

"Ya Allah mas, tinggal tap in kartunya aja biar saya bisa masuk. Sumpah deh saya ngga macam-macam," ucap Sabil semakin frustasi.

Tak menjawab lagi, security itu menarik pelan tubuh Sabil agar segera pergi.

"Mas, saya ada urusan penting sama calon suami saya," ucap Sabil yang membuat security itu menghentikan gerakannya.

"Calon suami?"

"Iyaaa," jawab Sabil nge-gas.

"Siapa calon suaminya?" tanya security itu polos.

"Gavin," jawab Sabil singkat.

"Ah yang benar?" tanya security itu disertai tawa tidak percaya.

"Ngga percaya?" tantang Sabil.

"Soalnya yang ramai diberita bukan mbak deh."

"Yang digosipin itu cuma hoax,"

"Jadi Pak Gavin ngga pacaran sama artis itu?" tanya security dengan tampang penasaran.

"Engga lah, pacarnya yang benar itu saya," ucap Sabil membanggakan diri.

"Sabil."

Sabil dan pria muda itu menoleh saat mendengar suara Gavin.

"Ngapain disini?"

"Ada yang mau aku bicarain sama kamu," jawab Sabil sambil melirik-lirik security yang berdiri di sampingnya.

"Kenapa ngga masuk aja?" tanya Gavin.

"Maaf pak, saya kira mbak ini wartawan jadi saya ngga izinin masuk," sahut pria itu takut-takut.

"Kenapa ngga coba tanya saya dulu sih? Udah lama kamu Bil?"

"Udah gapapa Vin, harusnya kamu kasih pujian ke mas ini. Luar biasa lho penjagaannya. Aku juga belum lama kok."

"Sekali lagi saya minta maaf pak, bu." Pria itu membungkukkan badannya kepada Gavin dan Sabil.

"Hahaha santai aja mas," ucap Sabil yang sedikit merasa kasihan.

"Kenapa Bil? Mau kasih jawaban?" tanya Gavin setelah securitynya sudah menjauh.

"Lo mau keluar?"

"Engga, tadi mau jalan ke kantin tapi lihat kamu disini ya aku samperin."

"Yaudah lo makan dulu aja, gue bisa tunggu disini." Sabil merasa tidak enak menganggu waktu makan siang Gavin.

"Ikut ke kantin aja," ajak Gavin.

Sabil terdiam, jujur sebenarnya ia sangat lapar saat ini namun mengingat pakaiannya saat ini ia sedikit malu.

"Udah ayo." Gavin menarik tangan Sabil tanpa aba-aba.

"Vin tapi pakaian ku kaya gini," ucap Sabil sambil terus mengikuti Gavin.

"Kenapa? Ngga ada yang salah kok."

Sampailah mereka di kantin, dan Sabil melepas genggaman tangan Gavin karena merasa gugup.

"Pak silahkan duluan," ucap salah satu karyawan.

"Gapapa, lanjutin aja antriannya," jawab Gavin yang membuat Sabil kagum.

"CEO ngga keberatan buat antri, hmm beda dari yang lain" gumam Sabil yang bisa didengar oleh Gavin.

"Udah biasa, aku malah ngga suka diperlakukan bak raja," jawab Gavin yang direspon Sabil dengan anggukan kepala.

Lima menit kemudian, mereka mendapatkan makanannya dan mengambil tempat di dekat kaca agar jauh dari yang lain.

Saat sudah duduk, keduanya makan dengan tenang. Tak bicara apapun sejak sampai di tempatnya. Sabil makan sambil melihat sekitar, dan ia baru sadar banyak yang memperhatikannya.

Seketika ia merasa sangat malu karena pakaiannya yang tidak pantas, ia berusaha untuk mengabaikan namun tetap terganggu.

"Vin, gue mau nikah sama lo," ucap Sabil tiba-tiba yang membuat Gavin sangat terkejut hingga tersedak.

Buru-buru Gavin meminum air putihnya, sementara Sabil yang duduk di depannya merasa tidak enak karena membuatnya tersedak.

"Lo udah ngga minat ya karena berita dating lo sama Mikha udah kesebar?" tanya Sabil saat melihat reaksi Gavin.

"Ngga, bukan gitu. Kamu serius Bil?" Gavin berusaha tidak memperlihatkan kegembiraannya.

"Serius, gue akan lakuin apapun demi karir gue." Sabil berusaha menyembunyikan alasan sebenarnya ia menerima lamaran Gavin.

"Gue pasti kaya cewek gampangan kan?" ucap Sabil lagi dengan wajah sendu.

Mendengar Sabil mengatakan itu, rasa bersalah tiba-tiba mendatangi Gavin. Yang ia lakukan saat ini jelas melukai harga diri Sabil.

.

.

"Heh ngapain lo disini?" tanya Stella saat bertemu Sabil di depan lift.

"Hallo Stella, apa kabar?" Sabil mencoba bersikap ramah pada Stella.

"Ngga usah sok friendly deh lo, gue tanya lo ngapain disini pakai baju ngga jelas lagi." Stella melihat penampilan Sabil dari bawah ke atas.

"Oh gue? Gue kesini ketemu sama calon suami gue."

"Calon suami?" tanya Stella sangat terkejut.

"Eh santai aja dong, ngga usah teriak-teriak." Sabil memutar pandangan ke sekitar.

"Siapa yang lo maksud calon suami?" Stella mencengkram lengan Sabil.

"Orang yang lagi lo pikirin sekarang, itu jawabannya."

"Maksud lo Gavin?" Stella mencengkram semakin keras.

"Yaaap," jawab Sabil santai.

"Ngga, ngga mungkin. Kalian udah ngga pernah berhubungan masa tiba-tiba mau nikah, lo pikir gue percaya?"

"Bahkan setelah gue pergi bertahun-tahun lo belum berhasil dapatin Gavin?" Sabil memasang wajah mengejek.

.

.

Matahari sudah tenggelam, langit mulai gelap dan Sabil dengan perasaan kacaunya berada di depan pelatnas. Kemarahannya lah yang membawanya sampai kesini.

Namun saat sudah berdiri di tempat yang ia pikirkan sejak tadi, ia merasa tidak berdaya. Ingin meluapkan amarah namun Sabil takut jika hal itu membuat semua orang percaya bahwa yang dikatakan oleh pelatihnya memang benar, ia memiliki attitude yang buruk.

"Gue harus bisa tahan diri, jangan buat kekacauan yang akan bikin gue kelihatan lebih buruk," ucap Sabil pelan.

"Bil," panggil seseorang yang baru saja keluar dari asrama putra.

"Ngapain disini?" tanya pria itu sambil menghampiri Sabil.

"Gapapa Ran, mampir aja." Sabil memasang senyum untuk menyembunyikan kekacauannya.

"Ehm Bil, soal berita yang beredar tadi siang, gue tahu kok itu semua ngga benar," ucap Randy berusaha memberi dukungan untuk Sabil.

"Lo ngga perlu ngomong kaya gitu kalau cuma mau hibur gue Ran, lo sendiri juga tahu di masa-masa akhir gue disini gue sering debat sama Coach Teo mungkin itu sebabnya gue dibilang ngga punya attitude."

"Kita semua tahu lo debat sama Coach Teo juga bukan tanpa alasan, gue ngga berusaha hibur lo tapi gue tahu semua kenyataannya dan karena itu gue yakin kalau apa yang dibiliang Coach Teo itu sama sekali ngga benar. Bahkan anak-anak juga ngerasa kaget sama berita itu, semua percaya sama lo Bil, tapi kita juga ngga bisa nglakuin apa-apa."

Mendengar semua yang dikatakan Teo, seketika air mata Sabil menetes. Ia merasa sangat beruntung karena ternyata masih banyak yang percaya padanya.

"Kalian percaya sama gue aja udah bikin gue merasa lebih baik," ucap Sabil sambil menghapus air matanya yang tak bisa berhenti mengalir.

"Kok malah nangis sih Bil." Randy tertawa dan menepuk-nepuk pundak Sabil.

.

.

Malam hari saat jam menunjukkan pukul delapan, Sakha mengetuk pintu kamar Sabil dengan semangat menggebu-gebu. Membuat Sabil yang baru terlelap sebentar, langsung terbangun.

"Kenapa sih Kha?" tanya Sabil dengan setengah sadar.

"Ada tamu tuh," jawab Sakha terlihat sangat senang.

"Tamu siapa?"

"Pacar mu mbak,"

"HAHH???!"

"Kenapa deh kaget gitu?" tanya Sakha heran.

"Mau ngapain sih Gavin?" gumam Sabil yang membuat Sakha penasaran.

Tanpa merapikan penampilannya, Sabil keluar dan menuju ke ruang tamu dan benar saja Gavin sudah duduk disana menghadap ibunya.

"Nduk, kamu kok ngga pernah bilang kalau punya pacar?" tanya Winda saat Sabil sudah sampai.

Sabil mengambil tempat di samping Winda.

"Di datangin pacarnya kok ngga dandan-dandan dulu to nduk, malah pasang wajah ngantuk begitu," ucap Winda menggoda anaknya.

"Saya ngga kasih kabar juga bu, jadi Sabil ngga ada persiapan. Gimanapun penampilannya tetap terlihat cantik," jawab Gavin yang langsung membuat Sabil malu-malu.

"Cie cieee ihiw," goda Sakha sangat kegirangan.

"Emang udah cantik dari sananya anak Bu Winda, ngomong-ngomong kalian udah berapa tahun?" tanya Winda yang membuat Gavin dan Sabil refleks saling menatap.

"Baru satu tahun kok bu," jawab Sabil akhirnya setelah berdiskusi melalui kontak mata dengan Gavin.

"Oh lumayan udah lama, udah ada rencana menikah?" tanya Winda dengan mata berbinar.

"Rencananya bulan ini bu," jawab Gavin tegas.

Jawaban Gavin sontak membuat Winda dan Sakha sangat terkejut.

"Nduk kamu hamil to?" tanya Winda tanpa basa-basi yang gantian membuat Sabil dan Gavin yang terkejut.

"Astagfirullah engga bu engga," jawab Sabil membantah keras yang ditertawakan oleh Gavin dan Sakha.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status