Share

Memanfaatkan Keadaan

Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit dan Gavin saat ini sedang sibuk bersiap untuk datang ke rumah keluarganya menghadiri acara yang dikatakan Sarah tadi pagi.

Tok...tok...tok

Mendengar suara ketukan pintu, Gavin berjalan ke arah pintu kamarnya masih sambil mengancingkan kemejanya. Setelah membuka pintu ia melihat Bi Santi disana.

"Mas Evan sudah datang mas, sama saya sekalian mau pamit," jawab Santi dengan lembut.

"Oh iya bi, sudah jam delapan Bi Santi boleh pulang. Terima kasih ya bi." Gavin berbicara dengan sangat ramah dan tulus pada Santi.

Setelah diizinkan pulang, Santi pun segera berjalan meninggalkan Gavin yang masih terdiam di depan kamarnya. Gavin menghela nafas beberapa kali, lalu tak lama ia menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu nya, tempat dimana Evan dan Sabil sudah menunggu.

Melihat Gavin yang berjalan menuruni tangga,

Evan refleks berdiri dari duduknya dan melihat itu tanpa sadar Sabil mengikutinya.

"Hai," sapa Gavin setelah berdiri tepat di depan Sabil.

Kening Sabil mengkerut, ia terkejut sekaligus bingung melihat Gavin menyapanya seperti ini. Terlebih laki-laki itu juga tersenyum manis padanya.

"Van, saya mau ke rumah papa dulu. Kamu pulang aja." Gavin menghampiri Evan setelah tadi menyapa Sabil dengan manis.

"Saya ngga perlu antar Bu Sabil pulang pak?"

"Ngga usah, biar saya aja," jawab Gavin yang membuat Sabil gelisah saat mendengarnya.

"Ya sudah pak, saya permisi pulang."

"Hati-hati Van, terima kasih ya sudah urus semuanya dengan baik."

"Sudah tugas saya pak," jawab Evan sambil tersenyum pada bosnya.

Akhirnya Evan pergi setelah berpamitan pada Gavin dan Sabil, kini hanya tinggal Gavin dan Sabil di rumah itu. Sabil menatap sekeliling, sejujurnya ia sedikit takut saat ini. Ia takut Gavin akan macam-macam dengannya.

Gavin dengan hati-hati melirik ke arah Sabil, dan saat melihat Sabil ia refleks tersenyum. Gavin tahu perempuan itu sedang gelisah dan berpikir yang tidak-tidak.

"Bil, aku ngga akan macam-macam," ucap Gavin yang tak tahan melihat perempuan yang dicintainya itu gelisah.

"Vin lo sebenarnya mau apa sih?" tanya Sabil penasaran.

"Aku butuh bantuan kamu."

"Bantuan apa sih? Ngomong yang jelas dong Vin jangan setengah-setengah." Sabil mulai tersulut emosi karena ketidakjelasan Gavin.

"Ayo ikut aku." Gavin meraih pergelangan tangan Sabil lalu menariknya.

"Vin kita mau kemana?" tanya Sabil saat Gavin terus berjalan dan menariknya untuk mengikutinya.

Saat sampai di depan rumah orang tuanya, Gavin akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari Sabil.

"Ini rumah papa aku." Gavin menjelaskan sebelum masuk ke rumah.

"Terus ngapain lo ajak gue kesini?" tanya Sabil heran.

"Lihat aja nanti, ayo masuk." Gavin lagi-lagi menarik paksa Sabil agar mengikutinya.

Sabil sebenarnya sangat kesal dengan Gavin, namun ia diam saja karena Gavin adalah satu-satunya harapannya saat ini.

Gavin dan Sabil berjalan menuju ke ruang makan keluarga, dan disana sudah ramai. Terlihat kedua keluarga itu sedang asyik berbicara sembari menunggu kedatangan Gavin dan kini Gavin sudah datang, mereka semua yang ada di meja makan menatap Gavin dengan penuh tanya karena ia tidak datang sendiri melainkan dengan seorang perempuan.

Sementara itu Sabil memutar matanya untuk melihat sekeliling dan ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sabil melihat Amy, musuh bebuyutannya ada disana sedang duduk bersama keluarganya.

"Gavin siapa itu?" tanya Sarah berpura-pura terlihat tenang, padahal ia sudah resah melihat Gavin malah membawa perempuan pada saat ingin pendekatan dengan keluarga Mikha.

"Kenalin oma ini Sabil, pacarku." Gavin meraih jari jemari Sabil dan menautkannya dengan miliknya.

Mendengar jawaban Gavin, Sarah terlihat marah sekaligus tidak enak pada keluarga Mikha.

"Gavin, kamu punya pacar?" tanya Meida, ibu tiri Gavin.

"Iya ma," jawab Gavin singkat.

"Kalau sudah punya kenapa kemarin kamu terima permintaan oma untuk bertemu dengan Mikha?" giliran Fendy bertanya pada putranya.

"Memangnya Gavin bisa menolak?"

Sarah sudah sangat berapi-api saat ini, ia berdiri dan menghampiri Gavin dan Sabil.

"Benar kamu pacarnya Gavin?" tanya Sarah dengan menatap Sabil dengan tajam.

Gavin menatap Sabil yang berdiri di sampingnya, ia takut jika Sabil menyangkal.

"Benar... Oma," jawab Sabil ragu-ragu saat mengatakan oma.

Sabil hanya mengikuti alur, ia sekarang paham, Gavin butuh bantuannya untuk ini.

"Kamu butuh uang berapa?" tanya Sarah yang sangat melukai harga diri Sabil.

"Oma!! Sabil bukan perempuan seperti itu," sentak Gavin yang tidak terima Sabil diperlakukan buruk oleh omanya.

"Gavin, kamu jangan asal pilih dong. Berasal dari keluarga mana dia? Kamu harus menikah dengan orang yang sepadan"

"Oma ngga tahu siapa Sabil? Dia bukan perempuan sembarangan, dia bahkan jadi kebanggaan negara ini. Oma tahu, sama seperti Amy kakaknya Mikha, Sabil adalah atlet bulutangkis dan tentunya dia juga punya banyak penghasilan sendiri, dia ngga memanfaatkan aku sedikit pun." Gavin menggenggam tangan Sabil dengan lebih kuat, ia merasa bersalah karena membuat Sabil di hina keluarganya.

"Gavin, Om Anwar sama tante padahal sudah sreg lho sama kamu. Kami senang sekali kalau punya menantu seperti kamu, apalagi Mikha, dia sudah sangat suka sama kamu." Indah, mama dari Amy dan Mikha bergabung dengan Sarah untuk berbicara dengan Gavin

"Kamu bisa semakin bersinar jika menikah dengan Mikha, kamu tahu sendiri kan dia populer dan itu bisa membantu memajukan perusahaan kamu." Indah bicara lagi, ia dengan tidak tahu malu membujuk Gavin.

"Ngga sopan sekali ya," sahut Sabil tepat saat Indah berhenti bicara. "Disini ada pacarnya lho bu, tapi ibu dengan santainya bujuk pacar saya untuk jadi menantu ibu?" lanjut Sabil yang menyulut emosi Indah dan Sarah, sedangkan Gavin sedang menahan senyum saat mendengar ucapan Sabil.

"Hei, baru jadi pacar jangan kurang aja ya kamu!" Sarah memperingatkan dengan kasar.

"Maaf Bu Sarah, Pak Fendy dan Bu Meida. Saya tidak terima penghinaan ini, kemarin Bu Sarah bilang cucunya mau dijodohkan dengan anak saya, tapi apa ini? Ternyata dia sudah punya perempuan pilihannya." Anwar tidak terima dengan semua yang terjadi.

Semua orang yang ada di ruang makan ikut berdiri saat melihat Anwar berdiri. Fendy pun tak bisa berkata-kata dengan kelakuan putranya.

"Saya minta maaf Pak Anwar, saya akan bicara baik-baik dengan Gavin. Dia pasti akan menikahi Mikha," ujar Sarah begitu percaya diri.

"Maaf oma tapi aku ngga akan menikahi siapapun kecuali Sabil," bantah Gavin yang membuat suasana semakin runyam.

"Gavin dengarkan oma saja, pilihan oma pasti yang terbaik." Fendy akhirnya membuka suara.

"Selama ini aku udah nurutin semua yang papa dan oma minta, tapi untuk urusan cinta aku ngga bisa lagi pa. Tolong hargai keputusanku."

Mikha sudah menangis tersedu-sedu sejak tadi, dan Amy pun merangkul adiknya itu untuk menenangkannya. Namun mata Amy sejak tadi tertuju pada Sabil, ia melemparkan tatapan kebencian.

"Gavin, Mikha sampai menangis seperti ini lho. Dia sangat mencintai kamu," ucap Meida yang sudah berdiri di samping Mikha, ikut menenangkannya.

"Putusin dia atau--" ucap Sarah yang langsung dipotong oleh Gavin. "Atau apa oma? Atau apa? Aku udah dewasa oma, capek diatur terus. Aku cuma cinta sama Sabil." Gavin menaikkan nada bicaranya.

"Terserah kamu lah, oma tahu kalian pasti ngga akan lama. Belum ada pembicaraan serius juga kan? Seiring berjalannya waktu, kamu pasti akan ditunjukkan kalau kamu salah pilih orang," ejek Sarah berlagak tahu semua hal.

"Aku sudah ada pembicaraan serius dengan Sabil, aku sudah melamar dia," balas Gavin yang semakin membuat suasana menjadi kacau.

Sabil yang sejak tadi diam menunduk langsung mengangkat kepalnya saat mendengar ucapan Gavin. Laki-laki itu pun menoleh padanya, menatapnya dengan tatapan tajam sekaligus tatapan penuh harap.

"Kita akan menikah bulan depan." Gavin mengatakannya masih dengan menatap Sabil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status