Share

Lima

Keona beberapa kali menatap jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Bready mengatakan akan datang menjemput, namun tiga puluh menit berlalu dari waktu yang dijanjikan. Sedikit khawatir karena Bready baru saja akan menjalani harinya setelah satu minggu berada di rumah sakit. Keona coba menghubungi beberapa kali, namun tetap berakhir dengan suara operator memenuhi indera pendengarannya.

Akhirnya Keona menyambar kunci audi, ia akan pergi sendiri saja. Jika terlambat, mungkin saja ia tidak dapat mengikuti mata kuliah pertama. Keona sungguh tidak menyukai seseorang yang mengingkari janji, dan seseorang yang tidak tepat waktu. Sekalipun Bready, ia tetap tak akan suka. Saat memasuki lift beberapa orang memperhatikannya, namun Keona tidak terlalu peduli untuk membalas tatapan mereka.

Keona menghembuskan napas kasar bersamaan dengan pintu lift terbuka. Terlihat wajah Bready Alan Daguen dan beberapa orang yang sedang menunggu lift terbuka. Tanpa perduli Keona berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari Bready.

Bready mempercepat langkah, panggilannya tidak di dengar. Keona pasti kesal karena ia terlambat. "Yona." Panggilnya untuk ke sekian kali. Keona seakan tuli dan tetap berjalan cepat menuju mobilnya. "Yona, kepalaku sakit saat mengejar langkahmu!" Teriak Bready akhirnya.

Keona berhenti dan berbalik. "tidak ada yang memintamu mengejar ku!" Semua orang disekitar mereka memperhatikan interaksi yang tidak biasa. Keona dapat merasakannya.

Bready kembali berlari dan menghadang gadis berkemeja putih dihadapannya. "Ikut aku!"

"Tidak."

"Kumohon."

Dengan wajah kesal Keona berbalik. "Hanya karena sekarang adalah hari pertamamu beraktivitas!"

Senyuman terukir di wajah Bready, ia segera mengikuti langkah Keona, dan membukakan pintu mobil. Mobil melaju cepat, Bready tahu jika Keona pasti terburu karena keterlambatan yang ia lakukan. Sesekali mata tajamnya melirik Keona yang memfokuskan diri pada ponsel. Selalu ada cerita yang dibagikan oleh Keona, namun hari ini ia mengatup rapat bibir mungilnya.

"Yona?" Panggil Bready.

"Hmm," gumam Keona yang masih sibuk dengan benda bernama ponsel. Bercerita dengan Erick cukup efektif saat jengah melihat wajah Bready.

"Apa ponselmu lebih menarik dari wajah tampanku?" Keona memutar bola mata mendengar ucapan Bready, begitu percaya diri. "Apa,-" ucapan Bready terputus oleh dering ponsel. "Ooohhh sial!" Umpatnya.

Keona menghadap penuh ke arah Bready. Ia tersenyum menyaksikan wajah kesal si pemarah yang menurutnya sangat tampan. Pria dengan segala kesempurnaan, terkadang cukup menyebalkan untuk menjadikan Keona bahan lelucon hingga mereka berhari-hari tidak bertemu karena Keona marah padanya.

"Begitu pagi untuk mengacaukan hari seseorang!"

"..."

"Kau dapat mengatakan pada mereka datang ke kantor setelah jam istirahat."

"..."

"Ada lagi yang ingin kau sampaikan? Kau membuang waktuku!"

"..."

Keona memiringkan kepala, alis rapinya terangkat satu dan senyum culas menghiasi wajah sempurnanya. Bready selalu mengatakan jika ia tidak menyukai wajah itu. Bagai penyihir jahat di film Brave, Keona speechless karena Bready mengetahui film animasi pemeran utamanya seorang wanita berambut keriting dan berwarna orange. Setelah bertanya, ingatannya kembali bahwa Keona pernah mengajak Bready untuk menonton.

"Hey, jangan menatapku seperti penyihir jahat." Kibasan tangan Bready membuat Keona menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi mobil.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Keona setelah dering ponsel memotong ucapan Bready. Uluran tangan terlihat melintasi mata Bready, tidak begitu mengganggu. Keona menghapus gelombang di dahinya. "Dahimu akan berkerut lebih dulu sebelum umurmu bertambah, berhenti melakukannya."

Bready meraih jemari bercat kuning di dahinya, kuku cantik Keona beberapa hari lalu berwarna hitam pekat dan sekarang berganti menjadi kuning cerah. Tidak mengherankan itulah tuntutan pekerjaan Keona. Kecupan lembut memenuhi kulit punggung tangan bening Keona, Bready pelakunya dan Keona selalu bahagia karenanya.

"Tetap seperti ini, mempercayaiku dengan sepenuh hatimu." Terdengar suara yang sarat akan rasa bersalah, memancing Keona untuk memicingkan mata.

"Apa yang kau lakukan Bre?" Keona penuh selidik.

"Tidak ada." Menatap Keona yang memicingkan mata membuatnya merasa gemas, jamari Bready mengacak puncak kepalanya.

"Bre!" Teriak Keona garang.

Tawa terdengar disela alunan instrumen piano memenuhi segala sisi mobil Bready. Kebersamaan seperti ini sangat berharga bagi Bready. Ia ingin mendapatkan banyak hal seperti tadi hingga Keona sendiri pergi meninggalkannya setelah sadar.

"Ada apa?" Mata hijau Keona kembali menatap Bready karena perubahan raut wajahnya.

"Tidak, hanya teringat sesuatu." Ia kembali menekuri kegiatannya. "Jadi, apa kegiatanmu setelah belajar?"

Hembusan napas lelah terdengar. "Kegiatan yang membosankan, berada di hadapan kamera dengan blitz yang sangat menyilaukan." terdengar seperti keluhan.

"Kau ingin berhenti melakukannya?" Bready sungguh serius bertanya.

"Tidak, aku menyukainya. Tentu saja jika berhenti maka aku akan menjadi gelandangan." Keona meringis karena imajinasi gilanya.

"Daddy mu sangat kaya, tidak mungkin membiarkanmu menjadi gelandangan," ujar Bready sengaja menekan kata Daddy. "Lagipula aku mampu menghidupimu hingga kapan pun. Dapat membeli apapun yang kau inginkan dan dapat mengirimmu kemanapun kau ingin berlibur."

"Ucapanmu mengarah seakan aku wanita penganut materialisme," ucap Keona.

Bready tertawa. "Baiklah, baiklah. Silahkan turun Nona, kita telah sampai di tempat bermainmu. Aku akan menjemputmu nanti, kabari aku jika kau selesai." Bready berusaha merengkuh pundak mungil di sampingnya namun ia kalah gesit.

Keona menjulurkan lidah ke arahnya. Sungguh gadis nakal.

"Hey, aku menginginkan sesuatu!" Namun yang di dapat Bready adalah bantingan keras pintu mobil. "Baiklah jika kau memaksa."

Bready beringsut turun membiarkan pintu mobil terbuka dan segera mencekal lengan mungil Keona. Menurut Keona pria ini gila karena setelah lengan, Bready kini mencekam bahunya memaksa untuk melihat mata kelam tersebut.

"Apa yang kau lakukan?"

"Kau melupakan kecupan selamat tinggalmu gadis kecil." Bready melakukannya. "Selamat tinggal." Lalu pergi begitu saja.

Langkah lebar Bready meninggalkan Keona yang mematung. Bukan, bukan karena terkejut akan kecupan hangat Bready di dahinya. Keona lebih takut karena para pecinta Bready menatap bagai singa kelaparan pada Keona dari segala arah.

"Ya Tuhan, tabahkan aku."

Seseorang memperhatikan interaksi intens keduanya, terlihat mereka bagai sepasang kekasih yang serasi, bahkan sangat serasi. Tetapi hatinya sendiri yang mengatakan tidak akan mundur setelah mengklaim sesuatu sebagai miliknya.

Tidak akan.

---

"Kau terlalu lama Nona," cerca Erick saat Keona mendaratkan bokong di kursi mobil yang nyaman.

"Baru saja usai."

Keona memijat pangkal hidung, terlihat sedikit pusing, lelah, atau hanya ingin. Entahlah Erick tidak dapat menganalisanya walaupun mereka berteman sejak usia delapan tahun. Ia hanya diam fokus mengemudi, membiarkan putri tidur sedikit tertidur. Sesekali matanya menyapu wajah Keona, cantik, kaya, dan memesona. Jangan lupakan kesombongan dan ketajaman ucapannya.

Jika di pikirkan tidak ada cela untuk Keona merasa buruk, namun beberapa kejadian di masa silam membuatnya perlahan berubah menjadi pemurung dan membatasi diri untuk orang lain. Bahkan Erick turut merasakan imbasnya. Erick tidak tahu kapan ia akan melihat kembali tawa bahagia Keona yang sesungguhnya, bukan paksaan saat berada di depan kamera. Belasan tahun bekerjasama, ia sangat ingin Keona mendapatkan kebahagiaan.

"Putri tidur, bangunlah. Bangunlah." Erick mencoba membangunkan Keona karena telah sampai. Gedung pemotretan cukup dekat untuk di jangkau, dan jalan raya sedang bersahabat pada mereka.

Keona mengerjapkan mata, memandang wajah Erick tepat di depan wajahnya membuat telapak tangannya refleks mendorong wajah pria itu hingga membentur dashboard.

"Oh, sialnya kau Yona!" Umpat Erick memegangi kepala yang seakan gegar otak.

"Hanya kau yang aku perbolehkan mengumpat ku maka teruslah mengumpat!" Balas Keona sarkas. Ia segera turun meninggalkan Erick.

"Itu hanya karena orang tuamu mengadopsi ku dan memberikan segalanya tanpa perbedaan di antara kalian! Ya, hanya itu." Erick bersedekap kesal. "Jika tidak, aku akan menerkam mu!" Erick terkejut karena Keona berbalik menunjuk tepat ke wajahnya, serta mata mereka bertemu. Sedikit mengherankan karena kaca mobil dilapisi dengan pelapis hitam pekat tak tertembus. "Dasar kau pemeran penyihir jahat di snow white!" Erick segera berlari menyusul Keona yang berjalan begitu angkuh.

'Ayolah Keona, kau tidak setegar karang saat menahan ombak, dan kau tidak sekeras tebing saat diterpa badai.' Eric tertawa sumbang seraya memerhatikan Keona yang memiliki akting luar biasa. Ia melihat Mhilea menyambut si angkuh dengan bahagia.

"Keona, senang bertemu denganmu dalam waktu singkat." Wanita paruh baya menerjang Keona dengan pelukan.

Dengan senyum seadanya Keona menjawab. "Aku juga, jadi di mana tempatku?" Tanpa basa-basi, khas Keona.

"Ruangan dengan pintu berwarna merah, kau akan senang saat membukanya."

"Oh, aku tidak sabar, sampai jumpa Mhilea."

Keona melihat Erick membukakan pintu untuknya, sedikit merunduk hingga membuat Keona kesal.

"Go to hell!" Erick hanya menyeringai mendengar ucapan kasar Keona dan ikut melangkah masuk.

Mata Keona memendar melihat beberapa pakaian tergantung di sana, bahkan terdapat lingerie. Mata tajam Keona kini menyorot pada Erick meminta penjelasan.

"Aku tidak tahu kau membencinya." tunjuk Erick pada dua lingerie berwarna cerah, kuning dan hijau muda membuat mata sedikit memicing saat melihat.

"Aku tidak akan memakainya." Putus Keona tak ingin bantahan.

"Kau harus, Yona." Erick coba melunak.

"Tidak!" kali ini Keona berkecak pinggang dengan mata melebar sempurna. "Kau saja yang gunakan dan silahkan berfoto sesukamu, jangan lupakan suntik hormonmu dua hari lagi!" Keona tersenyum jahat karena yakin akan menyakiti harga diri Erick.

Terlihat Erick gemas namun tidak mampu melakukan apapun. "Keona! Kau!" Ucapan Erick terhenti saat seorang wanita muncul.

"Hey! Apa yang terjadi?" Michae berlari menghampiri sepasang manusia yang bersitegang, berusaha menengahi.

Michae mengenal Keona, beberapa kali bertemu dan menata penampilan Keona membuatnya bahagia dapat bertemu seorang manusia yang memiliki kecantikan luar biasa. Ia masih menatap Keona dan Erick bergantian. Dua manusia yang selalu bersama, namun sering kali terlibat pertengkaran.

"Erick, apa masalahnya?" Tatapan Michae menyiratkan tidak mengerti akan situasi yang terjadi. Jika meminta pada Keona, ia yakin gadis keras kepala itu tidak ingin disalahkan.

"Hanya karena lingerie," ucap Erick seakan mengatakan pada Keona 'kau begitu keterlaluan'.

Michae menghembuskan napas, "baiklah-baiklah, kau tidak akan menggunakannya." Dua tangan wanita berusia dua puluh tiga tahun ini turut berbicara.

"Harusnya aku membawa Michae padaku!" sarkas Keona lagi pada Erick.

Erick hanya menatap geram, namun tetap Keona lah juaranya. Bagaimanapun, Erick tetap mencintai gadis angkuh pemeran penyihir di film Snow White.

Mereka memang selalu bertengkar, tapi akan selalu Erick pastikan mereka akan selalu bersama. Ya, Erick akan selalu menjaga Keona dengan segala kemampuan yang ia miliki. Karena ada banyak hal yang keluarga Keona berikan untuk keberlangsungan anak yang hidup sebagai yatim piatu seperti dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status