Deru mesin Rolls-Royce Phantom meluncur lembut di jalanan perbukitan menuju luar kota. Hujan belum berhenti, justru kian deras, menghantam atap dan jendela seperti gemuruh ribuan jarum. Angin meniup tajam, membelokkan dedaunan, menerpa tubuh mobil yang berjalan menembus malam.
Di dalam kabin, Jocelyn dan Sebastian duduk berhadapan. Hening. Tak ada percakapan sejak mobil meninggalkan vila. Hanya detak jam dashboard dan suara hujan yang tak kunjung usai. Jocelyn menatap keluar. Pepohonan di pinggir jalan tampak seperti siluet monster dalam lukisan buruk. Sesekali kilat menyambar di langit, menyibak kegelapan. Tapi setiap kali cahaya menyelinap masuk ke dalam mobil, ada sesuatu yang aneh di cermin langit-langit… Wajahnya—atau sesuatu yang menyerupainya—tampak bergerak satu detik lebih lambat. Sekilas, seperti pantulan yang malas mengikuti gerakannya. Jocelyn menoleh cepat ke arah cermin. Kosong. Sebastian memperhatikannya sekilas. “Kau pucat.” “Aku baik-baik saja,” gumam Jocelyn, walau ia sendiri tak yakin. Mobil melewati tikungan tajam. Hutan mulai rapat di kiri dan kanan jalan. Tidak ada lampu jalan, hanya sinar dari lampu mobil yang menyapu tanah basah dan batang pohon yang menjulang seperti penjaga. “Bagaimana bisa hujan deras datang secepat ini?” tanya Sebastian lirih. Jocelyn tidak menjawab. Matanya kembali menatap cermin. Dan sekali lagi, ia melihat bayangannya—bergerak lebih lambat… dan kali ini, tersenyum. Tersenyum lebar. “Berhenti!” katanya tiba-tiba. “Apa?” sopir di depan kaget. “Berhenti! Berhenti sekarang!” bentaknya lebih keras. Sopir menarik rem perlahan, suara gesekan ban dengan jalanan basah mengisi udara. Mobil berhenti di pinggir jalan yang sepi. Kilat menyambar, kali ini begitu dekat hingga seluruh interior mobil tersinari putih menyilaukan. “Ada apa?” tanya Sebastian. “Aku… aku melihat sesuatu,” jawab Jocelyn pelan. Sebastian mencondongkan tubuh. “Jocelyn, kau gemetar.” “Aku tahu apa yang kulihat. Itu—itu bukan aku di cermin…” Kepala sopir menoleh dari balik kursinya. “Apa saya harus keluar dan cek keadaan sekitar, Nyonya?” “Tidak, tetap di sini—” kata Sebastian bersamaan dengan petir yang tiba-tiba menyambar. BRAKKKK!! Cahaya putih menyilaukan meledak dari langit, menghantam atap mobil dengan kekuatan yang brutal. Seluruh mobil bergetar hebat. Sistem elektronik langsung mati—lampu padam, mesin berhenti, layar digital gelap total. “Apa yang terjadi?!” jerit Jocelyn, memegang lengan kursinya erat. Sopir mencoba menyalakan kembali mesin. Tak ada suara. Hanya bunyi hujan dan desing telinga yang masih berdenging akibat petir. “Mobil ini... disambar?” kata Sebastian, masih setengah tak percaya. Baru saja ia selesai bicara, sesuatu membelah udara—suara jerit… dari dalam cermin. Mereka berdua menoleh serempak ke arah langit-langit mobil. Cermin kecil di atas kepala mereka bergetar sendiri, dan dalam sekejap, retak membentuk pola menyerupai jaring laba-laba. Di balik pantulannya, wajah mereka… berubah. Menyeringai. Bergerak sendiri. Sopir mencoba membuka pintu, tapi saat itu, dari arah kiri— DUAARRRR! Sebuah pohon besar tumbang, menghantam langsung ke sisi depan mobil, mendorongnya ke arah kiri dan menjatuhkannya ke dalam parit kecil. Suara logam beradu dan kaca pecah saling bersahutan. Jocelyn berteriak. Sebastian berusaha menarik tubuhnya melindungi. Segalanya terasa seperti diputar cepat—guncangan, cahaya, suara—lalu… Gelap. Tak ada waktu. Tak ada ruang. Jocelyn merasa tubuhnya melayang di ruang kosong tanpa arah. Ia ingin membuka mata, tapi yang ia rasakan hanyalah berat, seolah dirinya tenggelam di dalam air es yang tak berujung. Lalu suara… samar. Seperti gemericik cermin pecah. Seperti suara langkahnya sendiri, namun bukan ia yang berjalan. Satu suara muncul. Suara dirinya sendiri, tapi lebih rendah. “Apa ini… tubuhku?” Di sisi lain, Sebastian—dalam kegelapan yang sama—merasakan dadanya berat dan sesak. Tapi ia mendengar detak jantung… dua. Bukan satu. Dan suara nafas… bukan miliknya. Ia mencoba bicara. Tapi suaranya… tinggi. “Jocelyn…?” Detik berikutnya, cahaya putih menyambar kembali—menyilaukan dan memekakkan—dan kesadaran mereka terputus. Sirene ambulans meraung dari kejauhan. Lampu merah dan biru menari di pepohonan. Beberapa warga dan petugas berkerumun di pinggir jalan, menyoroti bangkai mobil hitam mewah yang remuk dan terbalik di parit. Petugas medis bergegas membuka pintu, memeriksa kondisi korban. “Masih hidup. Jantungnya lemah. Cepat pasang oksigen!” Mereka mengangkat satu per satu tubuh dari dalam. Seorang wanita dengan luka di pelipis, dan seorang pria dengan darah di sudut bibir. Tak ada yang sadarkan diri. Petugas polisi mengangguk. “Ini pasangan pengantin Grey-Hartfeld.” Petugas medis mengonfirmasi. “Yang wanita—membisikkan sesuatu tadi…” “Apa?” “Dia bilang… ‘Kenapa aku di tubuh ini?’ Polisi mengerutkan kening. Jocelyn terbangun pertama kali di ranjang rumah sakit, lampu putih menyilaukan. Seluruh tubuhnya terasa aneh—berat di tempat yang salah, ringan di bagian yang seharusnya kuat. Ia melihat tangannya. Jari-jari panjang, kuku dipotong pendek. Nafasnya tercekat. Ia bangkit terburu, menatap cermin kecil di sudut ruangan. Yang menatap balik…adalah wajah Sebastian. Di ruangan lain, Sebastian terbangun sambil terengah. Ia memegangi dadanya, merasakan rambut panjang jatuh ke pipi. “Tidak…” Ia menoleh ke arah kaca lemari. Yang menatap balik adalah mata Jocelyn—penuh kebingungan dan ketakutan—namun kini, milik dirinya sendiri. “APA YANG TERJADI?!” Jeritan mereka bergema di dua ruangan berbeda. Dan dunia mereka… tak akan pernah sama lagi.Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b