Share

Menikahi Musuhku
Menikahi Musuhku
Penulis: Denny Lumban Gaol

Chapter 1 ALYSA

Chapter 1

ALYSA

"Kak Maud! Ayo! Aku sudah siap, nih," ujar Alysa Angelika.

Maudy tersenyum mendengar nada suara adiknya yang begitu ceria. 'Syukurlah! Sepertinya, kesehatannya semakin baik,' pikirnya. 

Perempuan bernama lengkap Maudy Angelia itu berharap adiknya akan segera pulih setelah demam tinggi kemarin. Dia sangat khawatir karena adiknya memang termasuk orang yang mudah sakit sejak kecil. Yang pasti, adiknya tidak boleh terlalu lelah.

Nah, setelah gajian sekaligus merayakan bonus bulanan yang didapatkannya, hari ini Maudy ingin membelikan Alysa pakaian yang disukainya sebagai hadiah ulang tahun. Kemudian, tentu saja mereka akan jalan-jalan berdua.

"Bawa ini!" Maudy memberikan botol minum berwarna biru muda ke tangan adiknya yang usianya berjarak sangat jauh darinya. Bayangkan saja, adiknya lahir saat dia sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sayangnya, nyawa mama mereka tidak tertolong saat itu. 

Alysa menerima botol minum itu lalu langsung keluar dari kontrakan. Gadis muda itu berdiri di depan pintu sambil menunggu Maudy. Sesekali diperiksanya kembali pakaian yang dikenakannya. Jarang sekali dia punya waktu dengan kakaknya yang selalu sibuk mencari nafkah demi dirinya yang sakit-sakitan. Untunglah, belum pernah sampai masuk rumah sakit.

Tiga bulan lalu adalah terakhir kalinya Alysa keluar rumah dengan berdandan cantik karena kakaknya tiba-tiba mengajaknya menonton bioskop karena Maudy akhirnya menjadi salah pegawai tetap perusahaan ternama. Sungguh, Maudy harus melalui proses panjang untuk mendapatkan itu. Mungkin sekarang, Maudy sudah bisa bernapas lega soal kebutuhan harian mereka berdua. Bisa dikatakan gaji Maudy sudah lebih dari cukup jika hanya untuk mereka berdua asalkan hidupnya tetap sederhana seperti ini. 

 Tidak mudah dan butuh waktu yang begitu lama untuk mendapatkan ini semua. Butuh lima bulan sebagai tenaga magang.

Selama bertahun-tahun sebelumnya, sejak papa mereka meninggal, Maudy yang masih duduk di tingkat tiga perkuliahan terpaksa cuti kuliah dan hanya mampu kerja serabutan. Terkadang, dalam sehari, dia bekerja di tiga tempat berbeda dan hanya mendapatkan waktu istirahat yang sangat sedikit. Setelah dua tahun cuti, dia pun akhirnya melanjutkan kuliah sambil bekerja. Setelah wisuda, dia bekerja di berbagai tempat dan tidak ada yang bertahan lama karena berbagai alasan. Salah satunya adalah tempat kerja yang terlalu jauh atau gaji yang tidak cukup untuk mereka berdua. Itulah awalnya Maudy membidik perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Akhirnya, dia mengawali karier di perusahaan itu setelah perjuangan yang cukup panjang. 

Karena tubuh Alysa yang lemah, mereka berdua selalu berpindah-pindah tempat tinggal atau kontrakan. Maudy ingin memastikan bahwa tempat tinggal mereka paling dekat dengan sekolah adiknya dan juga sebisa mungkin tidak terlalu jauh dari perusahaan.

 Situasi itu juga membuat Alysa hampir tidak pernah pergi ke mana-mana. Alysa terpaksa mengakui bahwa kakaknya sudah membuat keputusan yang terbaik karena dirinya dulu bisa pingsan hanya karena kelelahan sedikit saja.

Dengan menaiki angkutan umum berwarna kuning, mereka berhenti di supermarket terbesar di kota ini. 

"Pinggir, ya," seru Maudy sambil menyentuh lengan Alysa pelan dengan maksud agar adiknya segera bersiap untuk turun. Ternyata, tanpa peringatan itu pun, Alysa sudah menduga. Dia bahkan sudah menggenggam uang lima ribuan di tangannya.

"Aku yang bayar," bisiknya pada Maudy. 

Maudy tersenyum lembut. Dengan tatapan bermakna, dia menganggukkan kepala kepada adiknya.

Sebenarnya, Alysa adalah anak yang cerdas, namun perlakuan hati-hati Maudy dan keluarganya dari dulu yang membatasi aktivitas adiknya itu membuatnya seperti tidak mengenal dunia luar. Maudy menyadari itu, tetapi fisik Alysa yang lemah membuat mereka tetap harus memperlakukan Alysa secara khusus walaupun dengan diam-diam dan mencari-cari alasan yang bisa diterima Alysa. Namun, gadis itu sepertinya jadi tidak punya keinginan untuk mengenal dunia luar kecuali bersama Maudy, kakaknya.

Saat masih kuliah, papa mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Maudy pun menjadi orang tua sekaligus segalanya bagi Alysa. 

Maudy menatap dunia di balik jendela angkutan umum. Dihelanya napas dalam-dalam. Maudy ingin mengenalkan Alysa pada dunia yang sebenarnya. Bagaimana pun, nantinya adiknya mungkin harus bisa hidup mandiri dan membentuk keluarga sendiri.

Setelah jalan-jalan, dia juga ingin membawa adiknya itu ke psikolog agar adiknya bisa hidup normal. Mungkin, sudah saatnya juga memikirkan tempat yang tepat untuk melatih kebugaran tubuh adiknya. Bukankah di tempat kerja baru ini, gajinya lumayan tinggi? Dia akan memanfaatkan untuk adiknya dan menyisihkan sebagian untuk tabungan masa depan mereka. 

Maudy dan Alysa sudah berdiri dengan menundukkan kepala dan pundak dengan maksud segera turun. Ternyata, mobil tidak segera menepi. Ada beberapa polisi lalu lintas memberi instruksi supaya bus mini itu berhenti agak jauh ke depan sana. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mereka turun juga. Alysa menggenggam tangan Maudy kuat-kuat. Dia bisa merasakan bahwa tangan adiknya gemetar dan keringat dingin. Pada akhirnya, Alysa tidak berani menatap supir dan menyerahkan ongkos mereka. Maudy segera menyerahkan gantinya tanpa menanyakan apa-apa pada Alysa. Segera dipapahnya adiknya ke arah gerbang masuk supermarket. 

"Aku tidak apa-apa, kok, Kak," kata Alysa sambil mendorong tangan kakaknya pelan. Dengan berat hati, Maudy melepaskan tangannya. 

"Ayo, jalan, Kak," kata Alysa tersenyum. "Aku di belakang Kakak!"

"Baiklah," jawab Maudy. Dia merasa harus mempercayai dan mengizinkan adiknya menjadi sosok yang lebih mandiri. Akan tetapi, baru saja dia membalikkan badan, adiknya sudah ambruk tidak sadarkan diri.

Mendengar suara sesuatu terjatuh, Maudy segera membalikkan badan dengan perasaan tidak enak. Betapa terkejutnya dia melihat adiknya tergeletak begitu saja.

"Alysa? Ka...kamu kenapa? Bangun, Dek!" Maudy mengangkat tubuh Alysa secepat mungkin dengan perasaan kacau. "Alysa! Alysa!" Maudy semakin kalut karena adiknya tidak juga siuman. 

Dia menatap orang-orang yang mulai berkerumun dengan panik.

 "Tolong! Tolonglah kami! Siapa yang bisa membawa kami ke rumah sakit terdekat. Tolonglah kami!" Maudy menangis sambil meminta tolong. Tangannya tidak berhenti mengusap wajah Alysa dengan harapan adiknya segera siuman.

Untuk sesaat, orang-orang hanya saling berpandangan dan berbisik. Tangisan Maudy pecah karena kalut.

"Tolong panggilkan taksi atau becak atau apa saja!" Kali ini, Maudy minta tolong langsung pada dua orang yang berdiri paling dekat dengan mereka. Sepasang kekasih itu sedang menatap mereka sambil menunjukkan ekspresi iba.

"Ah, baik!" Si perempuan segera meminta tas ransel yang disandang oleh si laki-laki lalu pria yang berbaju biru itu langsung berlari menembus kerumunan.

Tindakan yang paling tepat memang adalah menunjuk orang secara langsung. Namun, sebelum laki-laki yang dimintai tolong itu kembali, seorang laki-laki lain yang mengenakan setelan jas warna hitam lengkap langsung mengangkat tubuh Alysa. Maudy tidak sempat memperhatikan wajahnya karena laki-laki itu langsung berdiri dan berjalan cepat.

"Ikuti aku. Mobilku di dekat sini," kata laki-laki itu. 

"Terima kasih," kata Maudy sambil berlari mengejar. 

Sepanjang perjalanan, Maudy menggengam tangan adiknya dengan cemas. Beberapa kali dia harus mengusap air mata yang terjatuh tiba-tiba meskipun ditahannya. 

Tidak beberapa lama, mereka sudah tiba di rumah sakit terdekat. Maudy masih terus menggenggam tangan adiknya yang dingin sambil terus berdoa. 

***

"Apa? Jantung? Dan harus operasi?" seru Maudy dengan ekspresi tidak percaya.

Maudy serasa bermimpi di siang bolong mendengar perkataan dokter. Dipegangnya kertas hasil pemeriksaan dokter dengan tangang gemetar.

"Alysaku! Bagaimana bisa...," isak Maudy dengan air mata yang terus berjatuhan. dokter yang terlihat sudah berumur itu menyerahkan kotak tisu. "Terima kasih!" kata Maudy disela isak tangisnya.

Hatinya hancur sudah. Selama ini, mereka hanya hidup berdua dan saling mengandalkan. Bagi Maudy, hanya Alysa kekuatannya. Dia keluarga satu-satunya yang dia punya.

"Dana lima puluh juta itu hanya untuk operasi sementara agar adik Anda bisa melewati masa kritis ini segera. Untuk berikutnya nanti, jantung yang sudah rusak itu tidak dapat lagi dipertahankan. Kita harus mendaftarkan Alysa segera untuk calon pasien transplantasi jantung. Jika ada donor yang sesuai, operasi pencangkokan jantung dapat dilaksanakan. Akan tetapi, butuh biaya sangat besar untuk itu," kata dokter menjelaskan. 

"Jika masih ada kemungkinan adik saya sehat, saya ingin mengambil jalan itu, Dok. Be.. berapa?" Suara Maudy tercekat saat mengucapkan pertanyaan itu. Lima puluh juta saja sudah membuat Maudy berpikir keras dari mana kira-kira dapat uangnya, apalagi untuk transplantasi jantung? Mungkin ratusan?

"Anda setidaknya harus menyediakan sembilan belas hingga dua puluh...."

"Dua puluh? Hanya dua puluh juta dokter?" Mata Maudy membelalak tidak percaya. Akan tetapi, suatu kesalahan besar baginya karena memotong perkataan dokter.

"Maaf, Nona Maudy. Maksud saya dua puluh miliar rupiah," kata dokter dengan nada menyesal. Tatapan iba dokter spesialis itu padanya lebih mirip seperti ungkapan maaf karena bukan dia yang menentukan itu atau bisa juga artinya dia tidak bisa membantu apa-apa soal itu.

"Haha!" Maudy tertawa sumbang. "Tentu saja, Dok. Tidak mungkin juta. Baik. Terima kasih atas informasinya, Dok. Dana lima puluh juta akan saya usahakan secepatnya," kata Maudy. Dia keluar dari ruangan dokter dengan tubuh lunglai. 

Di ruang tunggu, gadis itu terduduk sambil menelungkupkan Kepala ke atas sandaran kursi di depannya. 

Dia ingin menangis sepuasnya sekarang, namun dia juga harus segera mendapatkan dana untuk operasi adiknya. Dia tidak punya waktu untuk menangis. Tapi, dari mana? Di tempat kerja barunya saja, dia baru bekerja selama satu bulan. Siapa yang akan meminjaminya lima puluh juta apalagi dua puluh miliar? 

Ah, kepala Maudy rasanya hampir pecah. Besok, dia harus kembali bekerja. Kapan dia akan punya waktu untuk mencari uang itu?

Dengan cepat Maudy mengambil ponsel dan mulai melihat satu per satu kontak yang ada. Dia mulai menghubungi orang-orang yang kemungkinan bisa meminjamkan uang padanya. Sebenarnya, Maudy tidak yakin mereka punya uang sebanyak itu untuk dipinjamkan padanya karena kawan-kawannya kebanyakan adalah orang-orang seperti dirinya. Namun, siapa yang tahu? 

Total uang yang dimilikinya sekitar tujuh juta rupiah jika menjual barang yang kurang perlu. Itu karena dia sudah membayar biaya kamar Alysa di hari pertama. Dia harus mendapatkan empat puluh tiga juta lagi malam ini. Bisakah?

(Bersambung)

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cici Regina Nainggolan
menarikkk......
goodnovel comment avatar
Johannes Pandiangan
ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status