Kamis pagi, Clara terbangun dengan alarm yang berbunyi terlalu keras—pukul enam, dua jam lebih awal dari biasanya. Tapi tidur semalam hanya tiga jam, terputus-putus, dipenuhi mimpi tentang lampu kamera yang menyilaukan dan pertanyaan wartawan yang tidak bisa ia jawab.
Hari ini. Konferensi pers.
Hari di mana kebohongan mereka akan diumumkan ke dunia.
Ia bangkit dengan kepala pusing—efek kurang tidur dan terlalu banyak kopi kemarin. Kamar terasa asing meski ia sudah tinggal di sini hampir seminggu. Terlalu besar, terlalu bersih, terlalu... bukan miliknya.
Ponsel berbunyi—pesan dari Sari:
"Selamat pagi, Nona Clara. Stylist akan tiba pukul 12:00 untuk persiapan. Mohon sudah siap di lantai satu. Konferensi pers dimulai pukul 16:00 di Hotel Imperial Ballroom A. Mobil berangkat pukul 15:00."
Clara menatap pesan itu—timeline yang ketat, tidak ada ruang untuk ragu atau mundur.
Ia balas:
"Terima kasih. Saya akan siap."
Turun ke lantai satu, Clara menemukan Alex sudah duduk di meja makan—mengenakan kaus abu-abu dan celana training, rambut sedikit basah, wajah tanpa ekspresi seperti biasa tapi ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya.
Ia juga tidak tidur nyenyak.
"Kau sudah sarapan?" tanya Alex tanpa mengangkat kepala dari tablet di depannya.
"Belum."
"Makan. Kau akan butuh energi hari ini." Alex mendorong piring dengan roti panggang dan telur ke arah Clara. "Aku sudah buat."
Clara duduk—menatap makanan di depannya. Telur orak-arik yang tidak terlalu sempurna, roti yang sedikit gosong di pinggir. Sangat berbeda dari sarapan hotel mewah yang ia bayangkan akan selalu ada di hidup Alex Anggara.
"Terima kasih," katanya pelan, mengambil garpu.
Mereka makan dalam diam—hanya suara garpu menyentuh piring dan sesekali Alex menyesap kopi. Clara mencoba menelan makanan tapi rasanya seperti karton di lidah. Perut terlalu kencang untuk menerima apa pun.
"Nervous?" tanya Alex tiba-tiba—masih tidak menatap Clara, mata pada tablet.
"Sedikit."
"Bohong." Kali ini Alex menatapnya—mata gelap yang terlalu tajam, terlalu bisa membaca. "Kau sangat nervous. Tanganmu gemetar sejak duduk."
Clara meletakkan garpu—menutup tangan di pangkuan supaya tidak terlihat gemetar.
"Aku... tidak terbiasa dengan sorotan publik seperti ini."
"Aku tahu." Alex meletakkan tablet-nya—tubuh sedikit condong ke depan, postur yang lebih serius. "Dengarkan aku baik-baik, Clara. Hari ini akan berat. Wartawan akan mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman. Keluargaku akan hadir dan mengamati setiap gerakan kita. Media sosial akan meledak dengan komentar—positif dan negatif. Kau harus siap."
"Bagaimana caranya siap untuk sesuatu yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya?"
Alex terdiam—seperti berpikir. Lalu ia bangkit, berjalan ke samping Clara, menarik kursi dan duduk lebih dekat—jarak yang biasanya ia jaga sekarang dihapuskan.
"Kita akan latihan. Sekarang."
"Latihan?"
"Role play. Aku akan jadi wartawan. Kau jawab pertanyaanku seolah ini konferensi pers sungguhan." Alex sudah masuk ke mode direktur—efisien, langsung ke inti. "Siap?"
Clara mengangguk—meski tidak yakin apa-apa.
Alex mengubah postur—menyilangkan kaki, satu tangan di dagu, mata menyipit sedikit. "Nona Clara, rumor mengatakan Anda mendekati Tuan Alex karena perusahaan keluarga Anda sedang bangkrut. Apa tanggapan Anda?"
Pertanyaan langsung menohok. Clara membuka mulut—menutup lagi. Otaknya mencari kata-kata yang tepat tapi tidak menemukan apa-apa.
"Aku..."
"Terlalu lama." Alex memotong—tidak kejam, hanya faktual. "Kalau kau ragu lebih dari tiga detik, itu akan terlihat seperti kau menyembunyikan sesuatu. Coba lagi. Dan kali ini, tatap mataku ketika menjawab."
Clara menarik napas—menatap mata Alex. "Perusahaan Arta memang sedang mengalami kesulitan, tapi hubungan saya dengan Alex tidak ada kaitannya dengan bisnis. Kami bertemu karena ketertarikan personal, bukan kepentingan finansial."
Alex mengangguk. "Lebih baik. Tapi 'ketertarikan personal' terlalu umum. Spesifik membuat cerita lebih meyakinkan. Coba lagi."
"Kami bertemu di lelang amal dan... dan saya tertarik pada cara dia berbicara tentang seni. Cara dia melihat investasi bukan hanya dari angka tapi dari nilai budaya."
"Bagus." Sudut bibir Alex terangkat sedikit—hampir senyum. "Itu meyakinkan. Lanjut. Pertanyaan berikutnya: Apakah Anda dan Tuan Alex sudah merencanakan pernikahan? Kapan? Di mana?"
"Kami... masih membicarakannya"
"Terlalu ragu. Pasangan yang serius punya rencana. Coba lagi."
Clara menggeleng frustrasi mulai merayap. "Alex, bagaimana aku bisa menjawab kalau kita belum pernah membicarakan detail ini?"
"Karena seharusnya kita sudah." Alex bangkit berjalan ke meja kerja di sudut ruangan, mengambil folder, kembali dan meletakkannya di depan Clara. "Buka."
Clara membuka—di dalamnya, timeline lengkap: tanggal pernikahan (enam bulan dari sekarang), venue (hotel atau gereja—tiga opsi), jumlah tamu (sekitar dua ratus orang), bahkan sketsa cincin pernikahan.
"Kau... kapan kau membuat ini?"
"Semalam. Setelah kakek menelepon menanyakan detail yang sama." Alex duduk lagi kali ini lebih dekat, menunjuk-nunjuk dokumen. "Kita akan menikah tanggal lima belas November. Venue masih diperdebatkan kakek ingin gereja besar, aku prefer hotel yang lebih privat. Kita akan kompromikan nanti. Tamu sebagian besar dari keluarga dan partner bisnis. Resepsi tidak terlalu mewah tapi tetap bermartabat."
Clara membaca timeline itu—detail yang begitu spesifik, begitu... nyata.
"Kau benar-benar memikirkan semua ini."
"Aku harus." Alex menatapnya—serius. "Kalau kita tidak punya cerita yang konsisten, orang akan mencari celah. Dan keluargaku sangat ahli mencari celah."
Clara menelan ludah—menyadari betapa dalamnya ia telah masuk ke dunia yang rumit ini.
"Baik. Aku akan hafalkan semua ini."
"Bagus." Alex menutup folder. "Sekarang, latihan lagi. Aku akan tanya pertanyaan yang lebih personal. Siap?"
Clara mengangguk.
"Apa yang membuat Anda jatuh cinta pada Tuan Alex?"
Pertanyaan itu membuat Clara berhenti bernapas sejenak. Jatuh cinta. Kata-kata yang seharusnya tidak ada dalam kontrak mereka.
"Aku..." Ia menatap Alex mencari jawaban di wajah dingin itu. "Aku tertarik pada... kejujurannya. Cara dia tidak berpura-pura menjadi orang lain. Cara dia... menerima aku apa adanya."
Keheningan.
Alex menatapnya tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Bukan analisis. Bukan penilaian. Lebih seperti... terkejut?
"Itu..." Suaranya pelan sangat pelan. "Itu jawaban yang baik."
"Meyakinkan?" tanya Clara mencoba ringan meski jantung berdegup tidak teratur.
"Sangat." Alex berdiri cepat, seperti ingin menjauh. "Kau akan baik-baik saja hari ini. Aku... aku harus ke kantor sebentar. Ada dokumen yang harus ditandatangani sebelum konferensi pers."
Ia berjalan menuju lift dengan gerakan terburu yang tidak biasa untuk Alex yang selalu tertata dengan rapih
"Alex." Clara memanggilnya.
Ia berhenti—tidak menoleh.
"Bagaimana dengan kau? Apa jawabanmu kalau wartawan tanya kenapa kau jatuh cinta padaku?"
Keheningan panjang. Terlalu panjang.
"Karena kau membuat aku percaya bahwa mungkin aku masih bisa merasakan sesuatu," jawab Alex akhirnya—sangat pelan, Clara nyaris tidak mendengar. "Tapi aku tidak akan bilang itu pada wartawan."
Lift terbuka. Alex masuk. Pintu tertutup.
Clara duduk sendirian kata-kata Alex menggema di kepalanya.
"Karena kau membuat aku percaya bahwa mungkin aku masih bisa merasakan sesuatu."
Apakah itu bagian dari latihan? Atau... sesuatu yang lain?
Pukul dua belas siang, Vivienne dan tim stylist tiba dengan membawa koper besar berisi gaun, makeup kit, alat styling rambut. Lantai satu penthouse berubah menjadi salon dadakan.
"Clara, sayang!" Vivienne memeluknya hangat, wangi parfum mahal. "Hari besar! Kau siap?"
"Sejujurnya? Tidak."
Vivienne tertawa. "Tidak ada yang siap untuk hari pertama jadi sorotan publik. Tapi kita akan buat kau terlihat sangat siap."
Dua jam berikutnya Clara duduk di kursi sementara tangan-tangan ahli bekerja. Rambut dicatok dengan gelombang lembut, makeup diaplikasikan layer demi layer foundation yang membuat kulit terlihat flawless, eyeshadow nude yang membuat mata terlihat lebih besar, blush on yang memberi kesan segar, lipstick merah marun yang bold tapi tidak menor.
"Sekarang, gaun." Vivienne mengangkat gaun dari hanger navy gelap dengan potongan elegan, kerah sedang, lengan tiga perempat, rok selutut yang pas tapi tidak ketat. "Profesional, feminin, kuat. Sempurna untuk debut publik."
Clara mengenakan gaun itu zip di belakang ditarik perlahan oleh asisten Vivienne. Ketika ia berbalik menghadap cermin besar...
Wanita di sana terlihat berbeda. Lebih percaya diri, lebih... layak berdiri di samping Alex Anggara.
"Sempurna," bisik Vivienne bangga dengan karyanya. "Sekarang aksesori."
Kalung mutiara sederhana. Anting mutiara kecil. Dan sebuah cincin berlian tiga karat yang Alex berikan kemarin, sekarang melingkar di jari manis kiri Clara, berkilau di bawah lampu.
"Kau siap," kata Vivienne tapi bukan pernyataan, lebih seperti afirmasi. "Ingat kau bukan Clara yang sendirian lagi. Kau Clara, tunangan Alex Anggara. Berjalan dengan kepala tegak. Senyum dengan percaya diri. Dan kalau ragu, lihat Alex. Dia akan jadi jangkarmu."
Pukul tiga siang, Alex turun dari lantai tiga sudah mengenakan setelan abu-abu gelap dengan kemeja putih dan dasi navy yang matching dengan gaun Clara. Rambut disisir sempurna, wajah bersih, aroma cologne yang familiar.
Ia berhenti ketika melihat Clara mata bergerak dari atas ke bawah, berhenti sejenak di wajah.
"Kau..." Ia berhenti mencari kata. "Kau terlihat baik."
Bukan "cantik." Bukan "sempurna." Hanya "baik."
Tapi cara Alex mengatakannya dengan nada yang sedikit lebih lembut dari biasanya membuat kata sederhana itu terasa lebih bermakna.
"Terima kasih. Kau juga."
Vivienne dan tim berpamitan meninggalkan Clara dan Alex sendirian di ruang tamu yang terlalu besar.
"Mobil sudah siap," kata Alex tapi ia tidak langsung bergerak. Ia melangkah lebih dekat sangat dekat mengulurkan tangan. "Kita harus mulai terbiasa. Dari sekarang sampai konferensi pers selesai, kita pasangan. Mengerti?"
Clara menatap tangan yang terulur telapak besar, jari panjang, sedikit callus di bagian telapak dari angkat beban. Tangan yang kuat tapi entah kenapa, tidak menakutkan.
Ia letakkan tangannya di telapak Alex jari-jari langsung menggenggam, hangat dan stabil.
"Mengerti."
Mereka turun bersama tangan tetap bertautan di lift, di lobi gedung, sampai masuk ke mobil Mercedes hitam yang sudah standby. Di dalam mobil, Alex tidak melepas tangan Clara genggaman melonggar tapi tidak lepas sepenuhnya.
"Gugup?" tanyanya mata menatap lurus ke depan.
"Sangat."
"Aku juga."
Clara menoleh terkejut. "Kau? Tapi kau selalu"
"Terlihat tenang?" Alex tersenyum tipis—tidak mencapai mata. "Itu karena aku harus. Tapi di dalam..." Ia menarik napas. "Di dalam, aku juga takut membuat kesalahan yang akan menghancurkan semua ini."
Pengakuan itu kerentanan langka dari Alex membuat Clara menggenggam tangannya lebih erat.
"Kita tidak akan membuat kesalahan," katanya lebih untuk meyakinkan diri sendiri maupun Alex. "Kita sudah latihan. Kita sudah punya cerita. Kita akan baik-baik saja."
Alex menatapnya dengan tatapan panjang yang membuat Clara tidak bisa bernapas.
"Kau tahu apa yang paling berbahaya dari semua ini?" tanyanya pelan.
"Apa?"
"Semakin lama kita akting... semakin sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang pura-pura."
Kata-kata itu menggantung di udara berat, penuh implikasi.
Sebelum Clara bisa menjawab, mobil berhenti.
Hotel Imperial.
Wartawan sudah berkumpul di depanmobil kamera, mic, flash yang menyilaukan bahkan dari dalam mobil.
"Ini dia," kata Alex suara kembali datar, terkontrol. "Kau siap?"
Clara menarik napas—dalam, perlahan.
"Siap."
Pintu mobil dibuka oleh valet. Alex keluar pertama—langsung disambut flash kamera. Ia berbalik, mengulurkan tangan untuk membantu Clara turun.
Clara menerima tangan itu melangkah keluar ke dunia yang terlalu terang, terlalu bising, terlalu nyata.
Dan pertunjukan pun dimulai.