Rabu sore, pukul 18:25, Clara berdiri di depan jendela apartemennya, menatap jalanan di bawah. Mobil sedan hitam mengkilap—Mercedes S-Class—sudah terparkir lima menit lalu. Sopir berseragam berdiri di samping pintu belakang, menunggu dengan sabar.
Clara menarik napas dalam, memeriksa penampilannya di cermin untuk kesepuluh kalinya.
Gaun burgundy pas sempurna—tidak terlalu ketat, tidak terlalu longgar. Rambut disanggul rendah dengan beberapa helai tergerai natural di samping wajah. Makeup minimal—hanya sedikit eyeliner, lipstick warna mauve, dan bedak. Sepatu heels hitam dengan tinggi tujuh sentimeter—cukup untuk memberi kesan formal tapi tidak berlebihan.
Perhiasan: kalung mutiara sederhana (pinjaman dari Julia) dan anting mutiara kecil.
Ia terlihat... layak. Semoga.
Mengambil clutch hitam kecil, Clara keluar dari apartemen. Di lift, ia tutup mata sebentar, mengulang mantra yang ia buat sendiri sejak pagi:
Tenang. Percaya diri. Jangan biarkan mereka melihat ketakutanmu.
Sopir membukakan pintu ketika Clara mendekat. "Selamat malam, Nona Hartono."
"Terima kasih."
Interior mobil mewah itu sejuk dengan AC yang dingin sempurna. Kursi kulit lembut, aroma leather bercampur parfum lembut. Dan di kursi belakang, sudah duduk sosok yang membuat napas Clara tertahan sejenak.
Alex.
Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap dengan kemeja putih dan dasi burgundy—warna yang sama dengan gaun Clara. Itu disengaja. Koordinasi warna untuk menunjukkan mereka adalah "pasangan."
"Tepat waktu." Alex melirik jam tangannya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya. "Bagus."
Bukan "kamu cantik" atau "senang bertemu lagi." Hanya "tepat waktu."
Clara duduk di sampingnya—menjaga jarak sekitar dua puluh sentimeter. Cukup dekat untuk pasangan, cukup jauh untuk tidak terlihat dipaksakan.
Mobil melaju halus keluar dari kompleks apartemen. Alex masih sibuk dengan ponselnya—membaca email atau pesan, wajahnya tanpa ekspresi.
Keheningan di dalam mobil terasa berat. Clara tidak tahu harus memulai percakapan atau diam saja. Akhirnya, ia memilih aman:
"Apa yang perlu saya ketahui tentang kakek Anda?"
Alex tidak mengangkat pandangan dari ponsel. "Dia tidak suka basa-basi. Langsung ke inti. Tidak suka wanita yang terlalu banyak bicara atau terlalu pendiam. Tidak suka jawaban bertele-tele. Tidak suka kebohongan—tapi ironinya, seluruh hidup bisnisnya dibangun di atas kebohongan."
Jeda sebentar, Alex meletakkan ponselnya.
"Dia akan menguji Anda. Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar casual tapi sebenarnya jebakan. Jika dia tanya tentang keluarga Anda, jangan sebut masalah finansial Arta—fokus pada warisan dan reputasi ayah Anda. Jika dia tanya tentang pendidikan, jangan terlalu rendah hati—kakek saya menghormati prestasi."
"Dan jika dia tanya tentang... kita? Bagaimana kita bertemu?"
"Kita bertemu di lelang amal Sabtu lalu. Anda datang bersama klien bisnis—tidak sendirian seperti wanita yang sedang mencari jodoh. Saya yang mendekati Anda karena tertarik pada percakapan Anda tentang investasi seni. Kita mengobrol, bertukar kartu nama, lalu saya mengajak makan malam. Tiga kali makan malam dalam seminggu—cukup cepat tapi tidak terlalu cepat. Dan saya memutuskan Anda adalah wanita yang saya cari."
Cerita yang rapi. Terlalu rapi.
"Bagaimana jika dia tidak percaya?"
Akhirnya Alex menoleh—mata gelapnya menatap Clara langsung. "Maka tugas Anda membuat dia percaya." Ia mengulurkan tangannya. "Berikan tangan Anda."
Clara mengangkat tangan kanannya—bingung. Alex menggenggamnya—tidak lembut tapi juga tidak kasar, hanya... fungsional. Seperti memegang alat kerja.
"Di restoran nanti, saya akan pegang tangan Anda seperti ini beberapa kali. Jangan tersentak. Jangan kaget. Lakukan seolah itu hal yang natural." Ia melepas tangan Clara. "Dan ketika kakek saya tidak melihat, jangan sentuh saya."
Dingin. Sangat dingin.
Tapi Clara mengangguk. "Mengerti."
"Satu hal terakhir." Alex menatap ke depan lagi, suaranya turun sedikit. "Kakek saya akan bilang sesuatu yang menyinggung—tentang keluarga Anda, tentang Arta Group, mungkin bahkan tentang ayah Anda. Jangan bereaksi. Jangan marah. Tersenyum dan terima sebagai nasihat orang tua. Dia menguji mental Anda."
"Saya bisa handle."
"Kita akan lihat."
Mobil berhenti di depan Le Jardin—restoran mewah dengan taman hijau luas di depannya, lampu-lampu taman berkilauan seperti kunang-kunang. Valet langsung membukakan pintu.
Alex keluar lebih dulu, lalu—mengejutkan Clara—mengulurkan tangannya untuk membantu Clara turun.
Sudah mulai akting, Clara menyadari.
Ia terima tangan Alex—hangat dan kuat—dan turun dengan anggun. Sesaat, ketika kaki Clara hampir tersandung di ujung gaunnya, Alex langsung melingkarkan lengan di pinggangnya—cepat, refleks, menstabilkan.
"Hati-hati," bisiknya di telinga Clara—terlalu dekat, napasnya terasa di kulit.
Clara mengangguk, mencoba mengabaikan debaran jantung yang tiba-tiba tidak terkontrol.
Mereka masuk ke restoran dengan tangan Alex tetap di pinggang Clara—posesif tapi tidak kasar. Beberapa tamu yang sedang makan di area utama menoleh—bisikan halus, tatapan penasaran. Alex Anggara dengan wanita baru.
Private dining room lantai tiga adalah ruangan dengan dinding kaca di tiga sisi, menampilkan taman yang diterangi lampu lembut. Meja bundar besar sudah disiapkan—tatanan sempurna dengan piring porselen putih, gelas kristal, dan bunga mawar putih di tengah.
Dan di kursi menghadap pintu, duduk seorang pria tua.
Adam Anggara terlihat lebih menakutkan secara langsung daripada di foto-foto. Usia tujuh puluh lima tahun tapi postur masih tegap, rambut putih disisir rapi, mata tajam di balik kacamata bingkai emas, dan aura... aura kekuasaan yang membuat ruangan terasa lebih kecil.
Ia tidak bangkit ketika mereka masuk. Hanya menatap—mata bergerak dari Alex ke Clara, menilai, membedah, menganalisis.
"Kakek." Alex melepas tangan dari pinggang Clara, melangkah duluan, mencium kening kakeknya—ritual hormat yang jelas sudah dilakukan ribuan kali.
"Alex." Suara Adam dalam dan tegas. "Akhirnya kau datang. Dan ini..." mata beralih ke Clara, "...wanita misterius yang membuat cucuku bersedia menikah?"
Clara melangkah maju, mengulurkan tangan dengan senyum yang ia latih berjam-jam di depan cermin—hangat tapi tidak berlebihan, hormat tapi tidak pengecut.
"Selamat malam, Tuan Adam. Saya Clara Hartono. Senang bertemu dengan Anda."
Adam menatap tangan Clara—tidak menyambutnya segera. Dua detik. Tiga detik. Empat detik yang terasa seperti jam.
Akhirnya, ia menyambut—genggaman kuat, menguji. "Hartono. Dari Arta Group yang hampir bangkrut itu?"
Langsung tembakan pertama.
Clara mempertahankan senyumnya. "Ya, Tuan. Perusahaan kami mengalami kesulitan, tapi kami sedang restrukturisasi. Warisan ayah saya terlalu berharga untuk dibiarkan hilang."
"Restrukturisasi." Adam melepas tangannya, duduk kembali. "Kata yang bagus untuk kebangkrutan lambat."
Alex menarik kursi untuk Clara—persis di samping kursinya sendiri, posisi yang menunjukkan mereka adalah satu unit. Clara duduk dengan punggung tegak, tangan dilipat rapi di pangkuan.
"Perusahaan Arta didirikan kakek saya enam puluh tahun lalu," kata Clara, suaranya tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. "Tiga generasi membangunnya dengan integritas dan kerja keras. Kondisi saat ini memang sulit, tapi fondasi yang baik tidak mudah hancur."
Adam mengangkat alis—mungkin terkejut, mungkin terkesan. "Kau punya nyali bicara seperti itu di depan saya."
"Saya tidak bermaksud kurang ajar, Tuan Adam. Hanya ingin Anda tahu bahwa saya tidak datang ke sini sebagai wanita putus asa yang mengharap belas kasihan. Saya datang sebagai tunangan Alex—dan saya menghormati keluarga Anggara sebagaimana saya menghormati keluarga saya sendiri."
Keheningan. Alex melirik Clara—tatapan cepat yang tidak terbaca.
Lalu Adam tertawa—tawa pelan tapi nyata. "Menarik. Sangat menarik." Ia menatap Alex. "Kau pilih wanita yang punya tulang punggung. Bagus. Aku bosan dengan wanita-wanita lemah yang hanya tahu mengangguk."
Pelayan datang dengan wine merah—botol tua yang mungkin harganya lebih mahal dari sewa apartemen Clara setahun. Adam mengangkat gelasnya.
"Untuk pertunangan yang... tidak terduga."
Mereka menyentuhkan gelas. Clara menyesap wine-nya sedikit—cukup untuk sopan, tidak cukup untuk membuatnya kehilangan kendali.
Makanan datang—appetizer berupa foie gras dengan truffle, lalu soup, lalu hidangan utama lamb chop yang disajikan sempurna. Clara makan perlahan, memastikan tata kramanya tidak ada yang salah.
Adam berbicara sambil makan—pertanyaan demi pertanyaan yang terdengar santai tapi Clara tahu itu adalah ujian.
"Kau kuliah di mana, Clara?"
"Universitas Indonesia, jurusan Manajemen Bisnis. Lulus cum laude."
"Prestasi?"
"Magang di tiga perusahaan berbeda selama kuliah. Setelah lulus, bekerja di Arta Group—mulai dari staff biasa, naik ke manajer, sekarang direktur operasional meskipun... perusahaan tidak dalam kondisi terbaik."
"Paman-mu yang mengelola sekarang?"
Jebakan. Clara merasakan Alex sedikit menegang di sampingnya.
"Paman Robert membantu mengelola sejak ayah saya meninggal. Tapi saya tetap terlibat aktif dalam keputusan-keputusan penting." Setengah kebenaran—lebih aman daripada kebohongan penuh atau kebenaran pahit.
Adam mengangguk perlahan. "Ayahmu meninggal tiga tahun lalu. Kecelakaan mobil?"
"Ya, Tuan."
"Tragis." Tapi nada suaranya datar—tidak ada simpati nyata. "Dunia bisnis keras. Orang-orang yang tidak cukup hati-hati... sering berakhir tragis."
Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuat Clara merinding. Seolah Adam tahu lebih banyak tentang kematian ayahnya daripada yang seharusnya diketahui orang asing.
Tapi sebelum Clara bisa merespons, Alex memotong.
"Kakek, Clara dan saya ingin membicarakan rencana pernikahan."
Perubahan topik yang disengaja. Adam menatap cucunya, lalu tersenyum tipis.
"Kapan?"
"Enam bulan dari sekarang. Pernikahan sederhana—hanya keluarga dan teman dekat. Tidak perlu resepsi besar."
Adam meletakkan sendok dan garpunya dengan suara keras—tanda tidak setuju. "Kau pewaris A&A Group. Pernikahan kau harus megah. Mengundang semua mitra bisnis, media, publik figur. Ini bukan hanya tentang kau dan gadis ini—ini tentang citra keluarga Anggara."
"Citra keluarga Anggara sudah kuat tanpa perlu pernikahan sirkus," balas Alex—nada suaranya tetap tenang tapi ada ketegangan di rahangnya.
"Citra harus dijaga terus-menerus." Adam beralih menatap Clara. "Kau setuju denganku, kan, Clara? Wanita mana yang tidak ingin pernikahan mewah?"
Jebakan lagi. Jika Clara setuju, ia terlihat materialistis. Jika tidak setuju, ia terlihat tidak menghormati tradisi keluarga Anggara.
Clara menatap Alex sekilas—mencari petunjuk. Alex mengangguk hampir tidak terlihat—isyarat untuk menjawab dengan diplomatis.
"Saya menghormati tradisi keluarga Anggara, Tuan Adam," kata Clara hati-hati. "Tapi saya juga percaya bahwa pernikahan adalah tentang komitmen dua orang, bukan seberapa besar pestanya. Jika Alex merasa pernikahan sederhana lebih sesuai dengan nilai-nilai kami, saya mendukung sepenuhnya."
Kami—kata kunci yang menunjukkan Clara dan Alex adalah satu tim.
Adam menatap mereka berdua—analisis cepat. Lalu ia tertawa lagi, kali ini lebih keras.
"Pintar. Kau pintar, gadis." Ia menunjuk Clara dengan garpu. "Tahu cara menjawab tanpa menyinggung tapi tetap mempertahankan posisi. Alex, kau pilih yang benar."
Clara tidak tahu apakah itu pujian atau ancaman terselubung.
Dessert datang—crème brûlée dengan es krim vanilla. Adam tidak menyentuh dessertnya. Ia hanya menatap mereka—terutama Clara.
"Satu pertanyaan terakhir, Clara."
"Ya, Tuan?"
"Kenapa kau mau menikah dengan Alex? Jujur. Jangan beri aku jawaban romantis yang dibuat-buat."
Ruangan seolah membeku. Bahkan pelayan yang sedang menuang air berhenti sejenak.
Clara menatap Alex—pria di sampingnya yang wajahnya seperti topeng sempurna tanpa emosi. Lalu ia menatap Adam.
"Karena Alex adalah pria pertama yang tidak mencoba mengubah saya." Suaranya keluar lebih lembut dari yang ia maksudkan—tapi mungkin itu yang membuatnya terdengar tulus. "Dia menerima saya apa adanya—dengan semua kekurangan, dengan perusahaan yang hampir bangkrut, dengan beban warisan yang berat. Dia tidak meminta saya menjadi orang lain. Dan itu... itu adalah hal paling berharga yang pernah saya terima dari siapa pun."
Keheningan total.
Adam menatapnya lama—terlalu lama. Clara tidak berkedip, mempertahankan kontak mata meskipun setiap insting berteriak untuk menunduk.
Akhirnya, Adam mengangguk perlahan. "Baiklah. Aku percaya padamu—untuk saat ini." Ia bangkit—tanda makan malam berakhir. "Konferensi pers besok. Jangan mengecewakan saya."
Alex bangkit, membantu Clara berdiri. "Kami tidak akan, Kakek."
Adam berjalan keluar lebih dulu—langkah tegap untuk pria seusianya. Ketika pintu tertutup, Clara merasakan seluruh tubuhnya lemas seketika. Kaki hampir tidak sanggup menopang.
Alex meraih lengannya—stabil. "Bernapas. Kau terlalu tegang."
Clara mengambil napas panjang—satu, dua, tiga kali. "Bagaimana saya tadi?"
"Mengejutkan." Alex melepas lengannya, melangkah sedikit menjauh—kembali ke jarak aman mereka. "Jawaban terakhirmu... hampir membuatku percaya itu nyata."
"Itu... improvisasi."
"Improvisasi yang baik." Alex menatapnya—untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang lebih lembut di matanya. "Kakek saya menyukaimu. Itu tidak mudah dicapai."
Mereka berjalan keluar bersama—Alex tidak memegang tangan atau pinggang Clara lagi karena tidak ada yang perlu diyakinkan. Di dalam mobil, keheningan kembali—tapi kali ini tidak seberat tadi.
"Besok," kata Alex ketika mereka hampir tiba di apartemen Clara, "pukul tiga siang, kau harus sudah ada di hotel Imperial. Konferensi pers pukul empat. Stylist akan standby untuk final touch penampilanmu."
"Baik."
Mobil berhenti. Sopir membukakan pintu. Clara turun, lalu menoleh ke Alex yang masih duduk di dalam.
"Terima kasih... untuk malam ini."
Alex tidak menjawab. Hanya menatap—tatapan yang tidak bisa Clara baca. Lalu ia mengangguk sekali, dan mobil melaju pergi.
Clara berdiri di trotoar, menatap lampu belakang mobil yang menjauh hingga hilang di tikungan. Lalu ia menengadah—langit malam penuh bintang meskipun polusi cahaya kota.
Besok.
Besok hidupnya akan berubah total.
Tidak ada jalan mundur lagi.