Clara tidak tidur semalaman. Video di USB drive itu berputar terus di kepalanya—wajah Alex yang dingin, anggukan tanpa keraguan, rencana metodis untuk menghancurkan Arta. Tapi ada juga pesan terakhirnya: Aku akan menyelesaikan ini. Pukul enam pagi, Clara turun ke dapur. Alex sudah ada di sana, berdiri di depan jendela besar dengan secangkir kopi di tangan. Punggungnya tegap, tapi ada ketegangan di bahunya—sesuatu yang jarang Clara lihat. "Kau tidak tidur," kata Alex tanpa berbalik. "Kau juga," balas Clara. Keheningan melingkupi mereka. Alex akhirnya berbalik, menatap Clara dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa ia juga bergumul dengan sesuatu. "Aku sudah menonton videonya," kata Clara, suaranya datar. "Aku tahu kau terlibat penuh sejak awal." Alex mengangguk perlahan. "Ya." "Lalu kenapa sekarang kau berpura-pura membantu?" tanya Clara, amarahnya mulai meluap. "Kenapa kau memberi USB itu kalau kau tahu itu bisa menghancurkanmu?"
Clara tidak membuang waktu. Ia meraih kunci mobilnya—sedan tua warisan ayahnya yang masih ia simpan di parkiran basement apartemen—dan melaju ke rumah Pak Budi di pinggiran kota. Jalan masih sepi, pukul enam pagi, kabut tipis menyelimuti jalanan. Rumah Pak Budi adalah rumah sederhana di kompleks perumahan lama. Ketika Clara mengetuk pintu, istri Pak Budi membukanya dengan wajah pucat dan mata sembab. "Nona Clara..." suaranya bergetar. "Pak Budi... dia pergi sejak subuh. Ada telepon, lalu dia langsung keluar. Dia bilang ada urusan penting. Tapi dia tidak pernah pergi sepagi ini." Clara merasakan cengkeraman dingin di dadanya. "Bu, apa Ibu dengar siapa yang menelepon?" Ibu Budi menggeleng. "Suaranya pelan. Tapi saya dengar Pak Budi bilang 'Baik, saya akan ke sana.' Dia terdengar... takut." Clara menahan napas. Ia harus menemukan Pak Budi sebelum terlambat. "Bu, kalau Pak Budi hubungi, tolong beritahu saya segera." Ia menulis nomor ponselnya di secarik kertas. Ibu Budi menerim
Clara duduk di sudut kafe yang redup, jauh dari jendela. Pukul 13:50. Sepuluh menit lagi Dania Rahman akan tiba. Di hadapannya, tiga folder cokelat berisi fotokopi dokumen: laporan keuangan Arta, email dari iPad Alex, dan daftar perusahaan cangkang. Semuanya disalin dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak digital. Ponselnya bergetar. Pesan dari Alex: Saya ada rapat sampai sore. Jangan lupa—acara makan malam pukul delapan. Jangan terlambat. Singkat, dingin, seperti biasa. Tapi Clara merasakan ada yang berbeda sejak percakapan tadi malam. Alex tidak menghentikannya—tapi juga tidak membantu. Ia hanya membiarkan Clara berjalan di tepi jurang, mengawasi dari kejauhan. Dania masuk tepat pukul 14:00. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam besar. Rambutnya dipotong pendek, tatapannya tajam seperti pisau bedah. Ia pernah mengungkap skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi—dan selamat dari berbagai ancaman. "Clara," sapa D
Keesokan harinya Clara memutuskan tak menunggu. Email—meski kuat—bukan bukti transaksi. Ia perlu aliran uang, nomor rekening, nama perantara. Ia pergi ke kantor Arta yang sepi, menyusuri lorong-lorong yang dulu riuh. Hanya tersisa beberapa staf senior, salah satunya: Pak Budi, manajer keuangan yang setia pada mendiang ayahnya. Di ruang kecil itu, Clara langsung membuka inti permintaannya. "Pak Budi, saya butuh semua catatan transaksi tiga tahun terakhir. Terutama pembayaran ke konsultan eksternal." Pak Budi menunduk, lalu menarik napas. "Sebagian besar arsip memang ada pada Paman Robert. Tapi… ayahmu memang terkenal menyimpan salinan cadangan. Saya punya hard drive pribadi." Sepuluh menit kemudian sebuah hard drive kecil terhubung ke laptop Clara. Folder demi folder dibuka—Excel, P*F, buku besar pembayaran. Angka-angka melompat di layar: termin pembayaran ke PT Arista Konsultan, jumlah miliaran, bertahap selama dua tahun terakhir. Nomor rekening penerima yang tercatat membuat Clara
Clara menghabiskan tiga hari berikutnya dengan mata nyaris tak pernah tutup. Apartemen mewah Alex tiba-tiba terasa seperti kurungan: dingin, rapi, dan menilai setiap geraknya. Setelah Alex mundur ke kamar lantai bawah dan mengunci diri dengan rutinitasnya yang kaku, Clara menyelinap ke lantai dua membawa tumpukan dokumen Arta Group—dokumen yang ia minta dikirim oleh asisten pribadinya. Lantai kamar jadi medan kerja: laporan keuangan, surat ancaman dari kreditur, notulen rapat direksi. Yang paling menggerogoti adalah barisan surat peringatan bank tentang penyitaan aset. Ia menyortirnya kronologis, mencari pola. Keruntuhan Arta terasa terlalu cepat, terlalu terencana. Nama-nama konsultan di notulen menarik perhatiannya: PT Arista Konsultan, CV Mitra Bisnis Sejahtera, beberapa firma yang terdengar generik. Dia cek satu per satu. Hasilnya seperti tamparan — kebanyakan hanya perusahaan cangkang: alamat di gedung kosong, tidak ada jejak operasional. Yang aneh, semua itu terdaftar dalam jan
Pagi pertama sebagi penganti baru. Alex turun tepat pukul 06:30 untuk ritual paginya - secangkir kopi hitam pahit. Namun, saat Clara turun di pukul 07:00, ia mendapati dapur sudah bersih dan rapi, seolah tak ada seseorang sebelumnya. Tidak ada remah, tidak ada tetesan air. Alex telah membersihkan jejaknya, meninggalkan Clara tanpa sapaan pagi, ataupun kebiasaan baru ala pasangan baru lainnya. Clara yang lapar, membuka kulkas. Kosong, kecuali air mineral mahal. Ia menoleh ke arah Alex yang duduk di meja, fokus pada laporan keuangan. "Tidak ada bahan makanan untuk penghuni lantai dua, Tuan Alex?" tanyanya, sengaja menyuntikkan sarkasme. Alex bahkan tidak mendongak, matanya menempel pada deretan angka. "Saya punya juru masak yang datang pukul 18:00. Sebelum itu, Anda bertanggung jawab atas makanan Anda sendiri. Dan jangan pernah sentuh mug biru ini." Clara melihat mug keramik biru polos di samping Alex. Benda itu, satu-satunya yang personal, adalah simbol yang tidak boleh ia sentuh.