Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / Bab 6 (Bagian 2) — Jejak Lama (Konsekuensi)

Share

Bab 6 (Bagian 2) — Jejak Lama (Konsekuensi)

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-10-15 18:34:12

Keesokan harinya Clara memutuskan tak menunggu. Email—meski kuat—bukan bukti transaksi. Ia perlu aliran uang, nomor rekening, nama perantara. Ia pergi ke kantor Arta yang sepi, menyusuri lorong-lorong yang dulu riuh. Hanya tersisa beberapa staf senior, salah satunya: Pak Budi, manajer keuangan yang setia pada mendiang ayahnya.

Di ruang kecil itu, Clara langsung membuka inti permintaannya. "Pak Budi, saya butuh semua catatan transaksi tiga tahun terakhir. Terutama pembayaran ke konsultan eksternal."

Pak Budi menunduk, lalu menarik napas. "Sebagian besar arsip memang ada pada Paman Robert. Tapi… ayahmu memang terkenal menyimpan salinan cadangan. Saya punya hard drive pribadi."

Sepuluh menit kemudian sebuah hard drive kecil terhubung ke laptop Clara. Folder demi folder dibuka—Excel, P*F, buku besar pembayaran. Angka-angka melompat di layar: termin pembayaran ke PT Arista Konsultan, jumlah miliaran, bertahap selama dua tahun terakhir.

Nomor rekening penerima yang tercatat membuat Clara berhenti menelan. Dia mencocokkan nomor itu dengan database pemeriksaan publik. Nama pemilik rekening mengarah ke perusahaan cangkang; alamatnya berada di gedung yang sama dengan salah satu kantor cabang A&A di Jakarta Selatan.

"Siapa yang merekomendasikan PT Arista ke Paman Robert?" tanyanya.

Pak Budi menggeleng. "Menurut Paman Robert, itu saran dari 'teman lama keluarga' yang sangat terpercaya. Dia tak mau menyebut nama."

Clara merasakan amarahnya menggelegak. Teman lama keluarga. Adam? Sinyal-sinyal itu semakin jelas. Ia mencetak beberapa dokumen penting, menyalin data ke flash drive, lalu berbisik, "Tolong jangan bilang siapa-siapa."

Pak Budi hanya mengangguk. "Saya percaya pada Anda, Nona Clara."

Malamnya Clara harus berakting. Ada jamuan makan malam dengan klien A&A—kontrak besar. Ia memilih gaun hitam sederhana, menutup rapat kegundahan. Alex menjemputnya tepat pukul tujuh; suasana di mobil tegang seperti biasa. Di meja makan, Alex berperan sempurna: tunangan perhatian, pandai menanggapi obrolan bisnis. Clara ikut berakting, menelan setiap sentuhan yang kini terasa seperti duri.

Di perjalanan pulang, tekadnya meledak. "Tuan Alex," katanya pelan. "Apakah A&A pernah mengakuisisi perusahaan dengan cara… tidak konvensional? Menggunakan perantara untuk melemahkan target sebelum akuisisi?"

Alex menatapnya, dingin. "Maksud Anda bagaimana 'tidak konvensional'?"

Clara memilih kata. "Misal, menanam firma yang hanya memberi saran merugikan, lalu membeli saat harga jatuh."

Ada jeda yang panjang. Alex menarik napas. "Kenapa Anda bertanya?"

"Aku menemukan dokumen—watermark A&A muncul di proposal beberapa konsultan. Dan ada email..." Suaranya tercekat.

Alex wajahnya menegang. Di rumah, ketika ia berjalan ke arah pintu, matanya tertuju pada Clara. "Jangan selidiki hal-hal yang bukan urusanmu, Clara," katanya pelan, tetapi setiap katanya penuh ancaman. "Fokus pada Arta dan peranmu. Jangan buat aku menyesal menerima tawaran itu."

Clara menolak mundur. Ia membuka email pribadinya dan mengetik cepat ke seseorang yang lama tak dihubungi: Dania Rahman, jurnalis investigasi yang pernah menulis tentang skandal besar dan mengenal ayahnya.

Subject: Perlu Bantuan — Urgent

Dania,

Aku butuh bantuan. Ada sesuatu yang besar di balik kehancuran Arta. Aku punya dokumen. Bisa kita ketemu besok pukul 14.00 di kafe dekat kantor lama ayahku?

—Clara

Sebelum sempat menyesal, ia tekan send. Risikonya besar—jika Alex tahu ia menghubungi wartawan, kontrak mereka bisa runtuh. Tapi Clara memilih tak diam.

Keesokan paginya Dania membalas singkat: Aku tertarik. Bertemu besok pukul 14.00. Hati-hati — A&A bukan lawan kecil.

Saat Clara menyimpan ponsel, pintu kamar terbuka. Alex berdiri di ambang, wajahnya dingin. "Saya pikir sudah bilang—jangan sentuh iPad saya. Tampaknya Anda juga membaca email saya."

Clara terkesiap. "Bagaimana Anda tahu?"

Alex melangkah masuk, menutup pintu. "Sistem keamanan kantor dan perangkat saya mengirim ringkasan aktivitas ke telepon saya. Ada akses tak dikenal ke iPad kemarin pagi. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan itu." Ia menatap Clara—tidak menghakimi, hanya menimbang.

Clara ingin berbohong, tapi kata-kata macet. Alex menurunkan suaranya. "Anda benar. Keluarga saya memang merencanakan kehancuran Arta Group." Matanya sulit dibaca. "Tapi ada yang Anda tidak tahu: saya tidak setuju."

"Kalau begitu kenapa tidak menghentikan?" Clara menyela, suaranya menahan amarah.

Alex menunduk. Untuk pertama kalinya ia terdengar lelah. "Kakek saya mengendalikan banyak hal. Pilihannya bukan sederhana. Kalau saya menentang keras, bukan hanya A&A yang rugi—kakek saya bisa menghancurkan siapa pun yang menghalangi, termasuk Anda."

Clara merasakan lumpuh sebentar. "Jadi apa yang sekarang Anda mau? Membantu? Menghalangi? Atau pura-pura tak tahu saja?"

Alex mengangkat bahu, ekspresi sulit ditebak. "Saya tidak akan menghentikan Anda. Tapi lakukan dengan hati-hati. Jika kakek saya tahu, risikonya besar. Bukan hanya perusahaan—itu tentang hidupmu juga, Clara."

Ia lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Clara dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Di tengah kamar yang berantakan, dokumen-dokumen itu kini seperti bom waktu—bukti yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan semua pihak.

Clara menatap tumpukan kertas, napasnya mantap. Perang ini baru saja dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 9: Pengkhianatan di Dalam

    Clara tidak tidur semalaman. Video di USB drive itu berputar terus di kepalanya—wajah Alex yang dingin, anggukan tanpa keraguan, rencana metodis untuk menghancurkan Arta. Tapi ada juga pesan terakhirnya: Aku akan menyelesaikan ini. Pukul enam pagi, Clara turun ke dapur. Alex sudah ada di sana, berdiri di depan jendela besar dengan secangkir kopi di tangan. Punggungnya tegap, tapi ada ketegangan di bahunya—sesuatu yang jarang Clara lihat. "Kau tidak tidur," kata Alex tanpa berbalik. "Kau juga," balas Clara. Keheningan melingkupi mereka. Alex akhirnya berbalik, menatap Clara dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa ia juga bergumul dengan sesuatu. "Aku sudah menonton videonya," kata Clara, suaranya datar. "Aku tahu kau terlibat penuh sejak awal." Alex mengangguk perlahan. "Ya." "Lalu kenapa sekarang kau berpura-pura membantu?" tanya Clara, amarahnya mulai meluap. "Kenapa kau memberi USB itu kalau kau tahu itu bisa menghancurkanmu?"

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 8: Masuk Zona Terlarang

    Clara tidak membuang waktu. Ia meraih kunci mobilnya—sedan tua warisan ayahnya yang masih ia simpan di parkiran basement apartemen—dan melaju ke rumah Pak Budi di pinggiran kota. Jalan masih sepi, pukul enam pagi, kabut tipis menyelimuti jalanan. Rumah Pak Budi adalah rumah sederhana di kompleks perumahan lama. Ketika Clara mengetuk pintu, istri Pak Budi membukanya dengan wajah pucat dan mata sembab. "Nona Clara..." suaranya bergetar. "Pak Budi... dia pergi sejak subuh. Ada telepon, lalu dia langsung keluar. Dia bilang ada urusan penting. Tapi dia tidak pernah pergi sepagi ini." Clara merasakan cengkeraman dingin di dadanya. "Bu, apa Ibu dengar siapa yang menelepon?" Ibu Budi menggeleng. "Suaranya pelan. Tapi saya dengar Pak Budi bilang 'Baik, saya akan ke sana.' Dia terdengar... takut." Clara menahan napas. Ia harus menemukan Pak Budi sebelum terlambat. "Bu, kalau Pak Budi hubungi, tolong beritahu saya segera." Ia menulis nomor ponselnya di secarik kertas. Ibu Budi menerim

  • Menikahi Pewaris Dingin    Bab 7: Alat & Sekutu

    Clara duduk di sudut kafe yang redup, jauh dari jendela. Pukul 13:50. Sepuluh menit lagi Dania Rahman akan tiba. Di hadapannya, tiga folder cokelat berisi fotokopi dokumen: laporan keuangan Arta, email dari iPad Alex, dan daftar perusahaan cangkang. Semuanya disalin dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak digital. Ponselnya bergetar. Pesan dari Alex: Saya ada rapat sampai sore. Jangan lupa—acara makan malam pukul delapan. Jangan terlambat. Singkat, dingin, seperti biasa. Tapi Clara merasakan ada yang berbeda sejak percakapan tadi malam. Alex tidak menghentikannya—tapi juga tidak membantu. Ia hanya membiarkan Clara berjalan di tepi jurang, mengawasi dari kejauhan. Dania masuk tepat pukul 14:00. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam besar. Rambutnya dipotong pendek, tatapannya tajam seperti pisau bedah. Ia pernah mengungkap skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi—dan selamat dari berbagai ancaman. "Clara," sapa D

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 6 (Bagian 2) — Jejak Lama (Konsekuensi)

    Keesokan harinya Clara memutuskan tak menunggu. Email—meski kuat—bukan bukti transaksi. Ia perlu aliran uang, nomor rekening, nama perantara. Ia pergi ke kantor Arta yang sepi, menyusuri lorong-lorong yang dulu riuh. Hanya tersisa beberapa staf senior, salah satunya: Pak Budi, manajer keuangan yang setia pada mendiang ayahnya. Di ruang kecil itu, Clara langsung membuka inti permintaannya. "Pak Budi, saya butuh semua catatan transaksi tiga tahun terakhir. Terutama pembayaran ke konsultan eksternal." Pak Budi menunduk, lalu menarik napas. "Sebagian besar arsip memang ada pada Paman Robert. Tapi… ayahmu memang terkenal menyimpan salinan cadangan. Saya punya hard drive pribadi." Sepuluh menit kemudian sebuah hard drive kecil terhubung ke laptop Clara. Folder demi folder dibuka—Excel, P*F, buku besar pembayaran. Angka-angka melompat di layar: termin pembayaran ke PT Arista Konsultan, jumlah miliaran, bertahap selama dua tahun terakhir. Nomor rekening penerima yang tercatat membuat Clara

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 6(Bagian 1): Jejak Lama

    Clara menghabiskan tiga hari berikutnya dengan mata nyaris tak pernah tutup. Apartemen mewah Alex tiba-tiba terasa seperti kurungan: dingin, rapi, dan menilai setiap geraknya. Setelah Alex mundur ke kamar lantai bawah dan mengunci diri dengan rutinitasnya yang kaku, Clara menyelinap ke lantai dua membawa tumpukan dokumen Arta Group—dokumen yang ia minta dikirim oleh asisten pribadinya. Lantai kamar jadi medan kerja: laporan keuangan, surat ancaman dari kreditur, notulen rapat direksi. Yang paling menggerogoti adalah barisan surat peringatan bank tentang penyitaan aset. Ia menyortirnya kronologis, mencari pola. Keruntuhan Arta terasa terlalu cepat, terlalu terencana. Nama-nama konsultan di notulen menarik perhatiannya: PT Arista Konsultan, CV Mitra Bisnis Sejahtera, beberapa firma yang terdengar generik. Dia cek satu per satu. Hasilnya seperti tamparan — kebanyakan hanya perusahaan cangkang: alamat di gedung kosong, tidak ada jejak operasional. Yang aneh, semua itu terdaftar dalam jan

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 5: Ko-Eksistensi yang Penuh Ketegangan

    Pagi pertama sebagi penganti baru. Alex turun tepat pukul 06:30 untuk ritual paginya - secangkir kopi hitam pahit. Namun, saat Clara turun di pukul 07:00, ia mendapati dapur sudah bersih dan rapi, seolah tak ada seseorang sebelumnya. Tidak ada remah, tidak ada tetesan air. Alex telah membersihkan jejaknya, meninggalkan Clara tanpa sapaan pagi, ataupun kebiasaan baru ala pasangan baru lainnya. Clara yang lapar, membuka kulkas. Kosong, kecuali air mineral mahal. Ia menoleh ke arah Alex yang duduk di meja, fokus pada laporan keuangan. "Tidak ada bahan makanan untuk penghuni lantai dua, Tuan Alex?" tanyanya, sengaja menyuntikkan sarkasme. Alex bahkan tidak mendongak, matanya menempel pada deretan angka. "Saya punya juru masak yang datang pukul 18:00. Sebelum itu, Anda bertanggung jawab atas makanan Anda sendiri. Dan jangan pernah sentuh mug biru ini." Clara melihat mug keramik biru polos di samping Alex. Benda itu, satu-satunya yang personal, adalah simbol yang tidak boleh ia sentuh.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status