Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / Bab 7:Hidup di Sangkar Emas

Share

Bab 7:Hidup di Sangkar Emas

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-10-15 18:34:12

Pukul enam sore, Clara berdiri di tengah apartemennya yang nyaris kosong. Sebagian besar barang sudah dikemas oleh tim yang dikirim Sari—efisien, cepat, tanpa banyak bicara. Mereka membawa kotak demi kotak—pakaian, buku, dokumen—keluar menuju truk kecil yang parkir di bawah.

Yang tersisa hanya tas ransel hitam di punggung Clara, berisi laptop, beberapa dokumen penting Arta Group, foto ayahnya dalam bingkai kecil, dan dompet. Barang-barang yang tidak bisa ia percayakan pada orang lain.

Ponselnya berdering. Sari.

"Nona Clara, mobil sudah tiba. Kami tunggu di lobi."

"Saya turun sebentar lagi."

Clara berjalan keliling apartemen kecil itu—satu kamar tidur, dapur mungil, ruang tamu yang juga jadi ruang kerja. Tiga tahun ia tinggal di sini. Tiga tahun yang penuh pergulatan, air mata, dan keputusan sulit.

Sekarang ia meninggalkan semuanya untuk pindah ke dunia yang bahkan tidak ia kenal.

Mengambil napas terakhir, Clara keluar, mengunci pintu, dan turun dengan lift yang bunyinya berdecit—bunyi familiar yang anehnya membuat dadanya sesak.

Di lobi, Sari menunggu dengan senyum profesional. Wanita berusia empat puluhan itu mengenakan blazer abu-abu dan rok pensil—rapi, efisien, seperti ekstensi dari Alex sendiri.

"Sudah siap, Nona?"

Clara mengangguk.

Mobil yang sama—Mercedes hitam—sudah standby. Sopir yang sama membukakan pintu. Clara masuk, kali ini sendirian. Sari duduk di depan bersama sopir.

Perjalanan memakan waktu empat puluh menit—meninggalkan kawasan apartemen sederhana menuju area elite di pusat kota. Gedung-gedung pencakar langit bermunculan, jalanan lebih bersih, mobil-mobil yang lewat semua mewah.

Akhirnya mobil berhenti di depan Skyline Residences—apartemen mewah empat puluh lima lantai dengan fasad kaca biru mengilap. Lobi marmer hitam dengan air mancur modern di tengahnya, petugas keamanan berseragam rapi, dan suasana yang... dingin. Sangat dingin.

"Tuan Alex tinggal di lantai empat puluh," kata Sari sambil mengantar Clara masuk. "Penthouse. Anda akan menempati kamar di lantai dua—lantai kamar tamu."

Lift khusus untuk penthouse—tidak berhenti di lantai lain. Card access yang Sari scan sebelum lift bergerak. Naik halus tanpa suara, angka berubah cepat: 10... 20... 30... 40.

Ting. Pintu terbuka langsung ke dalam apartemen.

Clara melangkah keluar—dan berhenti, terpesona.

Ruang tamu seluas setengah apartemen lamanya. Langit-langit tinggi lima meter, dinding kaca dari lantai hingga atap menampilkan pemandangan kota yang berkilauan seperti lautan lampu. Furnitur minimalis—sofa putih besar, meja kaca hitam, rak buku built-in, dan... tidak ada sentuhan personal. Tidak ada foto, tidak ada tanaman, tidak ada warna-warni. Hanya hitam, putih, abu-abu, dan kaca.

Seperti kantor, bukan rumah.

"Lantai pertama adalah area umum," jelas Sari sambil berjalan. "Ruang tamu, dapur, ruang makan. Tuan Alex jarang ada di sini—dia biasanya langsung naik ke kamar atau ruang kerjanya."

Mereka naik tangga internal—anak tangga marmer dengan pegangan stainless steel. Lantai dua lebih sempit, koridor dengan tiga pintu.

"Ini kamar Anda." Sari membuka pintu paling ujung.

Kamar itu... besar. Sangat besar. Kasur king size dengan sprei putih bersih, lemari walk-in, meja kerja di sudut, sofa kecil menghadap jendela, dan kamar mandi en-suite dengan bathtub besar.

"Barang-barang Anda akan tiba sekitar pukul delapan malam. Tim akan mengatur semuanya—Anda tidak perlu repot." Sari memberikan card access. "Ini untuk lift dan pintu utama. Jangan sampai hilang—tidak ada duplikat."

Clara menerima kartu itu—plastik hitam dingin dengan logo Skyline Residences bertuliskan nama: Clara Hartono – Resident.

"Tuan Alex ada di rumah?"

"Belum. Dia ada rapat hingga pukul sembilan malam. Tapi dia meninggalkan pesan—Anda bebas menggunakan fasilitas apa pun di lantai satu. Dapur sudah diisi penuh. Jika butuh sesuatu, hubungi saya." Sari memberikan kartu namanya. "Nomor saya aktif dua puluh empat jam."

"Terima kasih."

Sari tersenyum—tipis, profesional—lalu keluar, menutup pintu dengan lembut.

Clara berdiri sendirian di kamar yang terlalu besar, terlalu bersih, terlalu... asing.

Ia meletakkan tas ranselnya di sofa, lalu berjalan ke jendela. Pemandangan kota dari lantai empat puluh menakjubkan—lampu-lampu berkilauan seperti bintang jatuh ke bumi, langit senja yang bergradasi dari oranye ke ungu gelap.

Indah. Tapi dingin.

Clara memeluk dirinya sendiri—tiba-tiba merasa sangat kecil di dunia yang terlalu besar ini.

Pukul tujuh malam, perut Clara berbunyi—baru menyadari ia belum makan sejak makan siang ringan sebelum konferensi pers. Ia turun ke lantai satu, menuju dapur.

Dapur itu seperti dapur majalah desain interior—kabinet hitam mengilap, countertop marmer putih, peralatan stainless steel yang sepertinya tidak pernah disentuh. Kulkas besar double door.

Clara membuka kulkas—penuh. Sayuran segar, buah, daging, susu, jus, bahkan dessert. Seperti supermarket kecil.

Tapi... terlalu rapi. Terlalu teratur. Seperti tidak ada yang pernah masak di sini.

Clara mengambil beberapa bahan—telur, roti, selada, tomat—membuat sandwich sederhana. Ia tidak tahu di mana piring, jadi membuka kabinet satu per satu hingga menemukan piring keramik putih bersih.

Sambil makan di meja makan besar—sendirian di ujung meja yang bisa menampung dua belas orang—Clara merasa seperti tamu yang tidak diundang.

Ponselnya berbunyi. Pesan dari Julia, asisten setianya di Arta Group:

"Clara, bagaimana kabarmu? Semua orang di kantor sudah lihat berita pertunangan. Paman Robert... dia terlihat sangat marah. Hati-hati."

Clara menatap pesan itu, perutnya bergejolak. Paman Robert pasti tidak menyangka Clara benar-benar menemukan jalan keluar. Dan kemarahan Paman Robert... selalu berbahaya.

Ia mengetik balasan:

"Aku baik-baik saja. Tolong jaga kantor. Jangan biarkan Paman Robert membuat keputusan besar tanpa persetujuanku."

Kirim.

Suara lift terbuka—Clara tersentak, berbalik.

Alex melangkah keluar—setelan masih rapi meskipun sudah pukul delapan malam lebih, dasi sedikit longgar, rambut agak berantakan—tanda hari yang panjang.

Mata mereka bertemu. Alex berhenti sejenak—seperti terkejut melihat Clara di meja makan—lalu melanjutkan berjalan menuju dapur.

"Kau sudah pindah."

"Ya." Clara bangkit, mengambil piringnya. "Terima kasih sudah... mengatur semuanya."

Alex tidak menjawab. Ia membuka kulkas, menatap isinya tanpa mengambil apa pun, lalu menutupnya lagi. Ia mengambil segelas air putih dari dispenser, meminumnya dalam satu tegukan.

Keheningan canggung.

"Kau sudah makan?" tanya Clara—percobaan membuat percakapan normal.

"Belum."

"Aku bisa buatkan sesuatu—"

"Tidak perlu." Alex meletakkan gelas, menatap Clara. "Aku tidak lapar."

Atau tidak mau repot, tambah Clara dalam hati.

Alex berjalan melewatinya menuju tangga. "Kamarku di lantai tiga. Jangan naik ke sana tanpa izin. Dan kalau aku tidak ada di lantai satu, berarti aku tidak ingin diganggu."

Aturan jelas. Batas jelas.

"Mengerti."

Alex berhenti di tangga, berbalik sedikit. "Besok pagi, pukul tujuh, aku akan sarapan. Jika kau mau ikut, datang tepat waktu. Jika tidak, atur sarapanmu sendiri. Aku tidak suka menunggu."

Lalu ia naik—langkah tegap, menghilang di lantai atas.

Clara berdiri sendirian di ruang makan yang terlalu besar, merasa seperti penghuni bayangan di rumah orang lain.

Ini akan menjadi hidupnya untuk enam bulan ke depan—berbagi ruang dengan pria yang tidak ingin berbagi kehidupan.

Malam itu, Clara berbaring di kasur besar yang terlalu lembut, menatap langit-langit yang terlalu tinggi. Suara kota terdengar samar dari balik jendela kaca tebal—hiruk pikuk yang diredam hingga hanya jadi bisikan.

Ponselnya berbunyi. Bukan pesan—panggilan dari nomor tidak dikenal.

Clara ragu, tapi akhirnya mengangkat. "Halo?"

"Clara." Suara Paman Robert—dingin dan marah. "Apa yang kau lakukan?"

"Apa maksud Paman?"

"Jangan pura-pura bodoh!" suaranya meninggi. "Pertunangan dengan Alex Anggara? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan? Kau menghindariku! Kau mengkhianati kesepakatan dengan Tuan Hendra!"

"Tidak ada kesepakatan," balas Clara, suaranya lebih tenang daripada yang ia rasakan. "Aku tidak pernah setuju menikah dengan Tuan Hendra. Itu keinginan Paman, bukan keinginanku."

"Kau tidak punya pilihan! Perusahaan—"

"Perusahaan akan baik-baik saja." Clara duduk di tepi ranjang. "Aku akan menyelesaikan masalah Arta Group dengan cara sendiri. Tanpa menjual diriku."

Paman Robert tertawa—tawa pahit dan penuh amarah. "Kau pikir Alex Anggara peduli padamu? Dia menggunakanmu, Clara. Sama seperti semua pria kaya lainnya. Dan ketika dia selesai—"

"Itu urusanku," potong Clara. "Bukan urusan Paman."

"Kau akan menyesal. Tuan Hendra tidak akan diam. Aku tidak akan diam. Kita sudah keluarkan uang banyak untuk—"

Clara menutup telepon sebelum Paman Robert selesai bicara. Tangannya gemetar—bukan karena takut, tapi karena amarah.

Kami sudah keluarkan uang banyak.

Apa maksudnya? Uang untuk apa?

Sebelum ia sempat memikirkannya lebih jauh, ada ketukan di pintu—pelan tapi jelas.

Clara bangkit, membuka pintu.

Alex berdiri di sana—sudah berganti pakaian menjadi kaos hitam polos dan celana kain abu-abu. Rambut basah—baru selesai mandi.

"Aku dengar suaramu dari bawah," katanya tanpa basa-basi. "Ada masalah?"

"Paman Robert menelepon."

Alex mengangguk—seperti sudah menduga. "Dia mengancam?"

"Lebih seperti... marah. Dia bilang mereka sudah mengeluarkan banyak uang. Aku tidak tahu apa maksudnya."

Ekspresi Alex berubah—rahang mengeras, mata menyipit sedikit. "Kemungkinan besar mereka sudah bayar uang muka untuk... transaksi pernikahanmu dengan Tuan Hendra. Atau lebih buruk—sudah ada kesepakatan bisnis yang melibatkan pernikahan itu."

Perut Clara bergejolak. "Apa maksud Anda?"

"Pernikahan bisnis sering melibatkan lebih dari sekadar janji verbal. Ada kontrak, ada transfer aset awal, ada kesepakatan yang mengikat secara hukum." Alex menatapnya langsung. "Jika Paman Robertmu sudah menandatangani sesuatu atas namamu tanpa sepengetahuanmu, kita akan ada masalah."

"Tapi aku belum menandatangani apa pun!"

"Itu tidak selalu penting di dunia mereka." Alex bersandar ke kusen pintu. "Besok, aku akan minta pengacaraku menyelidiki. Sementara itu, jangan angkat telepon dari Paman Robert atau Tuan Hendra lagi. Semua komunikasi harus melalui pengacara."

Clara mengangguk—kepalanya pusing dengan semua kemungkinan buruk yang tiba-tiba terbuka.

Alex menatapnya sejenak lagi—tatapan yang sulit dibaca. "Kau tidak sendiri di sini, Clara. Itu bagian dari kesepakatan kita. Aku akan lindungi kepentinganku—dan itu termasuk melindungi tunanganku dari ancaman eksternal."

Kata-kata itu seharusnya menenangkan. Tapi cara Alex mengucapkannya—dingin, faktual, seperti membaca kontrak—membuat Clara merasa lebih kesepian daripada sebelumnya.

"Terima kasih."

Alex mengangguk sekali, lalu berbalik. "Tidur yang cukup. Besok akan sibuk."

Ia menghilang ke lantai tiga—kembali ke dunianya sendiri yang tidak bisa Clara sentuh.

Clara menutup pintu, bersandar ke daun pintu, menutup mata.

Tiga hari lalu, ia adalah Clara Hartono yang putus asa, nyaris dijual ke pria tua busuk.

Sekarang, ia adalah Clara Hartono—tunangan Alex Anggara, penghuni penthouse mewah, wanita dengan cincin berlian dua miliar di jari.

Tapi kenapa ia merasa lebih terjebak daripada sebelumnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 125: Wajah yang Sama dan Rahasia Abu

    Pesan dari kepala keamanan itu menghantam Alex dan Clara seperti kejutan listrik (Bab 124). Ny. Marissa di Yayasan. Bersama seseorang yang sangat mirip Alex. "Siapa lagi?" desis Alex, amarahnya kembali memuncak. Dia sudah mengira dia menang total. Clara segera meraih lengan Alex. "Kita tidak boleh menembus. Itu panti asuhan. Anak-anak ada di sana. Kita pergi sekarang. Kita hadapi dia di tempat yang paling dia benci: tempat kau membangun moral." Mereka bergerak cepat. Alex, Clara, dan tim keamanan kecil mereka menuju Yayasan Anggara-Clara (YAC). Yayasan itu sunyi. Mereka menemukan Ny. Marissa berdiri di tengah halaman, tepat di samping patung Jangkar yang dibuat anak-anak. Di sampingnya berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan pakaian sederhana. Wajahnya memang memiliki garis rahang yang sama tajamnya dengan Alex, tetapi matanya lebih tua, lebih lelah. Dia bukan Elang. Dia bukan Alex. Dia adalah... "Ayah," bisik Alex, suaranya benar-benar hancur. Pria di samping Ny. Marissa a

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 124: Jejak Abu

    Kepanikan menyebar di penthouse Alex di Berlin . Berita kaburnya Ny. Marissa sudah sampai ke media, dan ancaman pembongkaran Warisan membuat Alex dan Clara tegang. "Dia kabur?" desis Alex, matanya memancarkan kemarahan dingin. "Dia tidak punya apa-apa lagi. Pengakuan Elang sudah direkam. Dokumen Warisan sudah ditandatangani Clara. Apa lagi yang dia miliki?" Ben, yang masih pucat setelah mengurus pelarian di Kroasia, menggeleng. "Dia mengancam akan membakar semuanya, Tuan. Dia bilang dia akan membongkar rahasia abu Warisan." Clara langsung teringat kata-kata Ben. "Abu? Alex, waktu kita di gudang, dia menyebut Warisan Anggara yang busuk. Dia tidak hanya mengancam dokumen. Dia mengancam bukti fisik yang disembunyikan Ayahmu." Alex berjalan mondar-mandir. Wajahnya keras. "Ayahku menyimpan rahasia kotor tentang bagaimana dia membangun Warisan. Jika itu terungkap, bukan hanya reputasi yang hancur, tapi semua aset Warisan yang sah bisa dibatalkan." Alex berhenti, menatap Clara. "Kau pu

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 123: Hukuman yang Tertunda dan Pembongkaran Warisan

    Di kabin jet pribadi Alex yang mewah, udara terasa tebal oleh pengakuan gila yang baru saja mereka dengar di Amsterdam .Clara duduk di seberang Alex. Elang, saudara kembar Alex, tertidur pulas karena kelelahan, bersandar di bahu Ben.Clara menatap Alex, mengabaikan kemewahan jet itu. Dia memproses kata-kata Elang: Alex sengaja ingin ditembak."Kau gila," bisik Clara, suaranya tercekat. "Kau mempertaruhkan nyawamu hanya untuk membuktikan aku mencintaimu?"Alex bersandar, matanya dingin. Dia tidak menyangkal."Aku perlu tahu," ujar Alex, lugas. "Kau melanggar semua aturanku, bekerja dengan Vega, menembakiku. Aku butuh kepastian. Aku butuh tahu apakah kau akan melindungiku, bahkan jika itu berarti kau harus melanggar hukum. Rompi anti peluru itu adalah taruhan terakhirku.""Itu bukan cinta," balas Clara, suaranya sedikit meninggi. "Itu kontrol yang keji. Itu keposesifan yang sakit.""Itulah caraku mencintai, Nyonya Anggara," potong Alex, tidak ada penyesalan. "Kau tahu itu. Sekarang, pe

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 122: Pengakuan dan Kekalahan

    Jeritan Elang mengguncang koridor laboratorium yang gelap. Pengakuan yang dibaca Elang dari pikiran Ny. Marissa: Pembunuhan Ayah Alex. Ny. Marissa terdiam, wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Senjatanya jatuh ke lantai logam, menimbulkan suara denting yang nyaring. Pengawalnya terkejut, tidak mengerti apa yang terjadi. Alex, yang baru saja bangkit dari lantai setelah melindungi Clara, menatap ibunya. Ekspresinya bukan lagi amarah posesif, melainkan keterhancuran dan kepastian yang dingin. "Kau membunuhnya," desis Alex, suaranya nyaris tak terdengar, tetapi mengandung kekuatan yang mematikan. "Tidak! Elang bohong! Anak itu gila!" teriak Ny. Marissa, mencoba menyangkal sambil menutupi telinganya. Elang menjerit lagi, memegang kepalanya sendiri. "Dia berbohong! Dia takut! Dia melihat racun di gelas Ayah... dia senang... dia ingin Warisan Anggara sendiri!" Clara segera berlari ke sisi Elang, meraih Elang dan menariknya mundur dari jangkauan Ny. Marissa. "Tar

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 121: Perangkap Elang

    Keheningan yang mencekam meliputi laboratorium di Amsterdam. Alex masih menodongkan pistol ke kaki Elang, Saudara Kembar yang baru saja dia temukan. Elang, meskipun ketakutan, terlihat lebih syok karena Alex bisa merasakan apa yang dibacanya. Clara tidak gentar. Dia tahu, Alex tidak akan menembak adiknya, karena Elang adalah satu-satunya senjata mereka melawan Ny. Marissa. "Anda tidak akan menembaknya," kata Clara, suaranya mantap. "Anda membutuhkannya hidup dan utuh. Saya tahu itu." Alex menyeringai, senyum dingin dan posesif. "Kau benar. Tapi aku akan menembak kakinya jika kau mencoba kabur atau bernegosiasi tanpa seizinku. Sekarang, kita bekerja sebagai tim. The Anchor and The Dark Queen. Dan aku yang memegang kendali." Alex menurunkan pistolnya sedikit, tetapi matanya tidak lepas dari Clara. "Elang, dengarkan aku," ujar Alex, beralih ke adiknya. "Aku Alex. Aku saudaramu. Aku di sini untuk melindungimu dari Ibu kita. Kau tidak perlu takut padaku. Tapi jika kau ingin tet

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 120: Gerbang Amsterdam

    Jet tempur Alex mendarat mulus di hanggar rahasia dekat Amsterdam. Udara Belanda terasa sejuk dan lembap. Clara dan Alex melangkah keluar, dikelilingi oleh tim keamanan Alex yang sigap. Mereka berdua sama-sama berbahaya, tetapi kendali kini sepenuhnya di tangan Alex. Clara mengenakan setelan gelap baru yang disediakan oleh Alex. Dia terlihat elegan, tetapi mata Alex terus mengawasinya, membaca setiap gerak-gerik dan niat pemberontakan. "Kita akan menyusup melalui terowongan bawah tanah," ujar Alex, nadanya datar. "Laboratorium tempat Elang berada adalah fasilitas lama, dan aku punya cetak biru rahasianya. Kau akan tetap berada di sisiku. Setiap langkah, setiap detik." "Mengapa tidak memberitahu polisi tentang rencana Ny. Marissa?" tanya Clara, suaranya pelan. Alex menatap Clara dengan tatapan membekukan. "Hukum tidak bisa menangkap Ny. Marissa. Dia terlalu licin. Kita butuh pengakuan darinya, dan hanya Elang yang bisa memaksanya bicara. Aku akan mendapatkan pengakuan itu, lalu ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status